1. Alternatif Usaha
2.Administrasi Negara
3. Strukturasi
4. Kontruksi Sosial
5. Teori Pengembangan Sumber Daya
6. strategi pembelajaran pendidikan
7.Seragam Kepramukaan
8. RUU Pramuka
9. Contoh RPP
10. Kelas Dalam Pendidikan
11. Psikologi Pendidikan dan Bimbingan Peserta Didik
12. Komunikasi
13. Kedudukan Wanita Batak
14. PPGD
15. Ekonomi Dualistik
16. Pertentangan Lima Buku Filsafat
17. Pengembangan Pendidikan Masyarakat
18. Pengetahuan dan Nilai
19. Kebudayaan
20. Filsafat Pendidikan
21. Anak Jalanan
22. Pengantar Ilmu Filsafat
23. Pengangguran di Perkotaan
24. Penelitian Kualitatif
25. Fenomenologi Menurut Husserl
26. Sistem dalam Keluarga
27. Patrilinealisme Politik di Pedesaan
28. Prinsip-prinsip pokok P3K
29. Faktor yang Mempengaruhi Pembelajaran
30. Monografi desa
31. Model Kurikulum
32. Media dan Alat Peraga Pembelajaran
33. Media Pembelajaran Berbasis TIK
34. Mazhab Frankfut dan Chicago
35. Manusia dan Pendidikan
36. Logika
37. Konflik Cosser
38. Letak Geografis
39. Layanan Informasi untuk Pemberdayaan Masyarakat
40. Kota dan Masyarakat Industri
41. Konflik Dahrendrof
42. Ketrampilan Berbahasa
43. Ketrampilan Membaca
44. Kekuasaan, Wewenang, dan Kemimpinan
45. Penanaman Nilai Sosial
46. Interaksi Sosial
47. Ilmu Politik
48. Ilmu Komunikasi
49. Ilmu Hukum
50. Ilmu Geografi
51. Ilmu Ekonomi
52. Ilmu Antropologi
53. Identitas Manusia dalam Pendidikan
54. Hasil Observasi
55. Filsafat Manusia
56. Filsafat Ketuhanan
57. Filsafat Ilmu
58. Mencari Kebijaksanaan Hidup
59. Filsafat Pengetahuan
60. Desa yang Mengalami Kemajuan Teknologi
61. Masalah Sosiologi Pendidikan di Kampus
62. Clean Goverment and Good Governance
63. Negara Kesejahteraan dan Politik Figur
64. Wawasan Nusantara
65. Pokok Persoalan Filsafat
66. Analisis Lagu Me, Myself, and I
67. Bee Movie dalam Pemikiran Karl Marx
68. Agama dan Filsafat
69. Fenomenologi dan Metodologi
70. Ilmu Sejarah
71. Mengenal Kawasan Filsafat
72. Pendidikan dan Politik Negara
73. Sejarah Pemerintahan Desa
74. Pramuka
75. Aliran Filsafat
[INDEX] Tugas Blog Filsafat Pendidikan Mona Carolina Nim 2290150019 Pendidikan Sosiologi
Selasa, 27 Desember 2016
Alternatif Usaha
Wiraswasta
Selain dalam bidang pertanian yang merupakan penghasilan utama dalam mata pencaharian pada masyarakat desa citorek, masyarakat yang sebagian besar bermatapencaharian itu sebagai petani berupaya mencari penghasilan lain dari sektor non-pertanian. Beberapa dari mereka bekerja sebagai tukang ojek, pengrajin meubel, pedagang, usaha bengkel, dan beberapa jenis pekerjaan lainnya. Sebagian masyarakat juga mengerjakan pekerjaan tersebut sebagai pekerjaan sampingan. Jadi, selain dapat memenuhi kebutuhan makan kesehariannya, petani subsisten ini memperoleh penghasilan dari pekerjaan sampingannya di sektor non-pertanian. Bahkan, hasil kerajinan mereka tersebut telah didistribusikan sampai ke luar Jawa, tepatnya Sumatera. Dari semua itu dapat kita lihat bahwa terdapat persaingan yang sangat tinggi dalam hal pola strategi nafkah yang terjadi pada masyarakat citorek.
Berdagang salah satu pilihan alternatif selain pertanian dan pertambangan emas, dapat dilihat persaingan yang sangat tinggi dengan mendirikan warung-warung yang berdekatan yang pasti menimbulkan konflik laten di antara masing-masing individu yang berusaha berdagang.
Selain menjual kebutuhan sehari-hari seperti toko kelontong, ada beberapa masyarakat juga yang terkena pengaruh arus modernisasi dengan menjual barang-barang yang bermerek (branded) yang diimpor dari berbagai negara seperti merek Zoya, Elzatta, Rabbani yang bahannya diimpor dari negara luar tetapi dibuat di Indonesia, pakaian selain sebagai kebutuhan sekunder juga dapat sebagai semacam prestise untuk menunjukkan gengsi seseorang.
Toko emas pun tak luput dari strategi pola nafkah yang digeluti oleh masyarakat, sebagai pemilik penambang emas sudah tentu menjadi penjual emas pula, bahkan potensi penjualan emas dari Citorek sudah menyebar ke daerah-daerah sekitarnya seperti Rangkasbitung, Leuwiliang, Antam.
Semua usaha yang dilakukan oleh mereka semata-mata hanya untuk menambah penghasilan dan pendapatan demi penghidupan keluarganya, tetapi pertanian tetap menjadi sektor utama mata pencaharian masyarakat desa citorek.
Administrasi Negara
Administrasi Negara
1 . apa yang di maksud dengan administrasi negara?
2 . sebutkan unsur-unsur administrasi negara?
3 . apa yang di maksud dengan administrasi sebagai ilmu, dan administrasi sebagai seni?
JAWABAN!!!
1 . administrasi negara adalah rangkaian kegiatan yang di lakukan aparatur negara/aparatur pemerintah untuk mencapai tujuan negara secara efisien.
2 . organisasi: kesatuan-kesatuan sosial atau pengelompokkan manusia yang di bentuk kembali secara sadar/sengaja untuk mencapai tujuan tertentu.
Manajemen: adalah sesuatu yang di kerjakan melalui usaha orang lain.
Komunikasi/ tata hubungan: penyampaian warta/message dari suatu orang kepada orang lain untuk mencapai tujuan tertentu.
Informasi/ tata usaha: aktivitas yang berupa menghimpun,mencatat,menggandakan mengelola mengirim,menyimpan dan semacamnya dari suatu data.
Personalia/ kepegawaian: kegiatan yang berkenan dengan recruitment,menematkan,mengembanggkan dan memberhentikan pegawai
Finansial/keuangan: kegiatan yang berkenan dengan penerimaan,pengolahan,pengeluaran uang.
Materia/perbekalan: kegiatan untuk mengadakan,menyediakan,menyimpan dan mengeluarkan barang-barang dan lain-lain.
Humas: kegiatan pengenalan aktivitas administrasi kepada lingkungan sekitarnya.
3 . administrasi sebagai ilmu: pengertian ilmu administrasi terkumpulnya sekelompok pengetahuan teratur yang mengandung sistem,asas,prosedur,teknik,dan pedoman kerja sama itu. Jadi ilmu administrasi adalah sistem pengetahuan, dengan pengetahuan tersebut manusia dapat mengerti hubungan-hubungan,meramalkan akibat-akibat, dan mempengaruhi hasil-hasil pada sesuatu keadaan dimana orang-orang berkerja sama untuk tujuan bersama.
Administrasi sebagai seni: administrasi sebagai ilmu (science) atau ilmu terapan, karena kemanfaatannya dapat di rasakan apa bila prinsip-prinsip, rumus-rumus, dalil-dalil di terapkan untuk meningkatkan mutu pelbagai kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.
Administrasi sebagai seni (art): merupakan karya seseorang yang di praktekkannya dengan baik yang di peroleh nya dari pengalaman tanpa sebelumnya mempelajari teori-teori administrasi.
Strukturasi
TEORI STRUKTURASI DARI ANTHONY GIDDENS
Dr. Argyo Demartoto, M.Si.
Teori strukturasi merupakan teori yang menepis dualism (pertentangan) dan mencoba mencari likage atau pertautan setelah terjadi pertentangan tajam antara struktur fungsional dengan konstruksionismefenomenologis. Giddens tidak puas dengan teori pandangan yang dikemukakan oleh struktural-fungsional, yang menurutnya terjebak pada pandangan naturalistik. Pandangan naturalistik mereduksi aktor dalam stuktur, kemudian sejarah dipandang secara mekanis, dan bukan suatu produk kontengensi dari aktivitas agen. Tetapi Giddens juga tidak sependapat dengan konstruksionisme-fenomenologis, yang baginya disebut sebagai berakhir pada imperalisme subjek. Oleh karenanya ia ingin mengakiri klaim-klaim keduanya dengan cara mempertemukan kedua aliran tersebut.
Giddens menyelesaikan debat antara dua teori yang menyatakan atau berpegang bahwa tindakan manusia disebabkan oleh dorongan eksternal dengan mereka yang menganjurkan tentang tujuan dari tindakan manusia Menurut Giddens, struktur bukan bersifat eksternal bagi individu-individu melainkan dalam pengertian tertentu lebih bersifat internal. Terkait dengan aspek internal ini Giddens menyandarkan pemaparannya pada diri seorang subjek yang memiliki sifatnya yang otonom serta memiliki andil untuk mengontrol struktur itu sendiri.
Giddens (2011) memaparkan, struktur tidak disamakan dengan kekangan (constraint) namun selalu mengekang (constraining) dan membebaskan (enabling). Hal ini tidak mencegah sifat-sifat struktur system sosial untuk melebar masuk kedalam ruang dan waktu diluar kendali actor-aktor individu, dan tidak ada kompromi terhadap kemungkinan bahwa teori-teori sistem sosial para aktor yang dibantu ditetapkan kembali dalam aktivitasativitasnya bisa merealisasikan sistem-sistem itu.
Manusia melakukan tindakan secara sengaja untuk menyelesaikan tujuan-tujuan mereka, pada saat yang sama, tindakan manusia memiliki unintended consequences (konsekuensi yang tidak disengaja) dari penetapan struktur yang berdampak pada tindakan manusia selanjutnya. Manusia menurut teori ini yaitu agen pelaku bertujuan yang memiliki alasan-alasan atas aktivitas-aktivitasnya dan mampu menguraikan alasan itu secara berulangulang.
Tidak menutup kemungkinan alasan yang diuraikan oleh manusia secara berulang-ulang tersebut memiliki tujuan-tujuan yang didasarkan atas apa yang hendak ia perlukan pada dimensi ruang dan waktu yang berbeda-beda. Bisa dikatakan tindakan dari seorang agen tak jarang pula untuk mempengaruhi struktur di mana mereka tengah menjalankan kiprahnya. Aktivitas-aktivitas sosial manusia ini bersifat rekursif dengan tujuan agar aktivitas-aktivitas sosial itu tidak dilaksanakan oleh pelaku-pelaku social tetapi diciptakan untuk mengekspresikan dirinya sebagai aktor atau pelaku secara terus menerus dengan mendayagunakan seluruh sumberdaya yang dimilikinya. Pada dan melalui akivitas-aktivitasnya, agen-agen mereproduksi kondisi-kondisi yang memungkinkan dilakukannya aktivitas-aktivitas itu.
Tindakan manusia diibaratkan sebagai suatu arus perilaku yang terus menerus seperti kognisi, mendukung atau bahkan mematahkan selama akal masih dianugerahkan padanya (Giddens, 2011:4).
Menurut Barker (2011) Strukturasi mengandung tiga dimensi, yaitu sebagai berikut: Pertama, pemahaman (interpretation / understanding), yaitu menyatakan cara agen memahami sesuatu. Kedua, moralitas atau arahan yang tepat, yaitu menyatakan cara bagaimana seharusnya sesuatu itu dilakukan. Ketiga, Kekuasaan dalam bertindak, yaitu menyatakan cara agen mencapai suatu keinginan.
Kasus yang mendukung konsepsi subjek sebagai agen aktif dan mengetahui banyak hal secara konsisten telah dikemukakan Giddens, yang merupakan serang kritikus Foucault yang paling lantang karena ia menghapus agen dari dari retetan sejarah. Giddens mengambil pandangan Garfinkel (1967), berpendapat bahwa tatanan sosial dibangun di dalam dan melalui aktivitas-aktivitas sehari-hari dan memberikan penjelasan (dalam bahasa) tentang aktor atau anggota masyarakat yang ahli dan berpengalaman. Sumber daya yang diambil oleh sang aktor, dan dibangun olehnya adalah karaker sosial, dan memang struktur sosial (atau pola aktivitas teratur) menyebarkan sumber daya dan kompetensi secara sosial, yang berbeda dengan menjadi subjek aksi dengan segala macam individu, beroperasi untuk menstrukturkan apa itu aktor. Sebagai contoh, pola-pola harapan tentang apa yang dimaksud dengan menjadi key person, dan praktik yang terkait dengan etnisitas, mengkonstuksi seaorang key person sebgai subjek yang sepenuhnya berbeda.
Subjektivitas yang dititik beratkan pada etnisitas pada gilirannnya memberdayakan kita untuk bertindak bedasarkan fakta sosial tertentu. Sejalan dengan itu, masalah-masalah mengenai bagaimana seorang aktor bias memperngaruhi keadaan atau bahkan kualitas lingkungan tak pelak turut menjadi kajian kotemporer yang juga bisa dikaji secara mikro kemudian menjadi makro.
Sekadar untuk menekankan saja bahwa teori strukturasi terpusat pada cara agen memproduksi dan mereproduksi struktur sosial melalui tindakan mereka sendiri. Aktivitas-aktivitas manusia yang teratur tidak diwujudkan oleh aktor-aktor individual, melainkan terus-menerus diciptakan dan diulang oleh mereka melalui cara mereka mengekspresikan diri sebagai aktor. Jadi, di dalam dan melalui aktivitas, agen mereproduksi sejumlah kondisi yang memungkinkan aktivitas-aktivitas semacam itu. Setelah dibentuk sebagai seorang key person oleh sejumlah harapan dan praktik yang dipadukan dengan kesadaran bersama, setelah belajar dan menginternalisasikan nilai serta aturan, maka kita bertindak sesuai dengan aturan-aturan itu, mereproduksi aturan itu lagi. Di mana aturan yang mengikat tersebut kembali menjadikan masyarakat di sekitarnya turut melembagakan kekangan walaupun pada akhirnya munculnya kuasa mampu menembus peraturan yang mereka buat sendiri.
1. Mengklarifikasi Ranah Agen, Agensi
Konsep agensi umunya diasosiasikan dengan kebebasan, kehendak bebas, tindakan kreativitas, orisinilitas dan kemungkinan perubahan melalui aksi agen bebas. Bagaimanapun juga kita perlu membedakan antara istilah metafisis atau mistis agensi bebas di mana agen membentuk dirinya sendiri (yaitu mewujudkan dirinya sendiri dari ketiadaan) dengan konsep agensi sebagai sesuatu yang diproduksi secara sosial dan diberdayakan oleh sumber daya sosial yang disebarkan secara bervariasi, yang memunculkan berbagai tingkat kemampuan untuk bertindak pada ruang-ruang tertentu.
Sebagai contoh, identitas suatu kaum terikat dengan struktur yang mewarnainya yang didahului oleh hasil nilai dan diskursus sosial yang memungkinkannya melakukan aktivitas-aktivitas tersebut sebagai seorang agen. Kemudian ada perbedaan antara konsepsi di mana tindakan diciptakan oleh agen yang bebas karena tidak ditentukan dengan agensi sebagai suatu kapasitas untuk bertindak yang dibentuk secara sosial. Kebebasan yang mengarah pada kekuaasan subjektif dikaji secara khas.
Pandangan bahwa agen itu bebas dalam arti tidak ditentukan tidak dapat dipertahankan akrena dua alasan:
1. Terdiri dari apa saja tindakan manusia yang tidak ditentukan atau tidak dipengaruhi? Tindakan seperti ini ialah sesuatu yang diciptakan secara spontan dari ketiadaan suatu bentuk metafisis dan mistis ciptaan orisinal.
2. Subjek ditentukan, dipengaruhi dan diproduksi, oleh kekuatan sosial yang ada di luar dirinya sendiri sebagai individu. Giddens menyebutnya sebagai Dualitas Struktur (Barker, 2011: 191).
Hambar rasanya bila menjadi seorang agen tidak memiliki pantauan akan suatu lingkungan yang didasarkan akan sifatnya yang aktif. Untuk menunjangnya Giddens mencoba memaparkan Model straitifikasi agen atau pelaku yang digambarkan pada skema berikut (Giddens, 2011:6)
Monitoring refleksif aktivitas merupakan ciri terus menrus tindakan sehari-hari dan melibatkan perilaku tidak hanya individu namun juga perilaku orang-orang lain. Intinya, aktor-aktor tidak hanya senantiasa memonitor arus aktivitas-aktivitas dan mengharapkan orang lain berbuat sama dengan aktivitasnya sendiri; mereka juga secara rutin memonitor aspek-aspek, baik sosial maupun fisik konteks tenpat bergerak dirinya sendiri. Yang dimaksudkan dengan rasionalisasi tindakan ialah bahwa para aktor juga secara rutin dan kebanyakan tanpa banyak percekcokan memperthankan suatu “pemahaman teoritis” yang terus-menerus atas dasar-dasar aktivitasnya. Pemahaman seperti ini hendaknya tidak disamakan dengan pemberian alasan-alasan secara diskursif atas butir-butir perilaku tertentu, maupun tidak disamakan dengan kemampuan melakukan spesifikasi terhadap alasan-alasan seperti itu secara diskursif. Namun demikian, agen-agen lain yang cakap mengharapkan dan merupakan kriteria kompetensi yang diterapkan dalam perilaku sehari-hari bahwa actor biasanya akan mampu menjelaskan sebagian besar atas apa yang mereka lakukan, jika memang maksud-maksud dan alasan-alasan yang menurut para pengamat normalnya hanya diberikan oleh aktor-aktor awam baik Motivasi tindakan ketika beberapa perilaku tertentu itu membingungkan atau bila mengalami kesesatan atau fraktur dalam kompetensi yang kenyataannya mungkin memang kompetensi yang diinginkan. Jadi kita biasanya tidak akan menanyai orang lain mengapa ia melakukan aktivitas yang sifatnya konvensional pada kelompok atau budaya yang ia sendiri menjadi anggotanya. Kita biasanya juga tidak meminta penjelasan bila terjadi kesesatan yang nampak mustahil bisa dipertanggungjawabkan oleh agen bersangkutan. Namun jika Freud memang benar, fenomena seperti itu mungkin memiliki dasar pemikiran tertentu, kendati jarang disadari baik oleh pelaku seperti itu atau orang lain yang menyaksikannya (Giddens, 2011:7).
Pembedaan antara monitoring refleksif dan rasionalisasi tindakan dengan motivasinya. Jika alasan-alasan mengacu pada keinginan-keinginan yang mengarahkannya. Akan tetapi, motivasi tidaklah secara langsung dibatasi oleh kesinambungan tidakan-tindakan seperti halnya rasionalisasi atau monitoring refleksifnya. Motivasi mengacu pada potensi tindakan bukan pada model pelaksanaan tindakan secara terus menerus oleh agen yang bersangkutan. Motif-motif cenderung memiliki perolehan langsung atas tindakan hanya dalam keadaan-keadaan yang relatif tak biasa, situasisituasi yang dalam beberapa sisi terputus dari rutinitas. Kebanyakan motifmotif memasok seluruh rencana atau program ‘proyek-proyek’ dalam istilah Schutz, tempat dilakukannya gugusan perilaku. Kebanyakan perilaku sehari-hari tidak dimotivasi secara langsung (Giddens, 2011: 7).
Menginduksi pernyataan di atas dapat ditarik benang merah bahwa sifat-sifat khusus agen ialah sebagai berikut:
1. Agen tidak hanya memonitor terus menerus aliran dan aktivitasaktivitas mereka dan mengharapkan pihak lain bertindak seperti dirinya. Mereka juga secara rutin memonitor aspek-aspek fisik dan sosial dari konteks tempat mereka bergerak.
2. Dengan rasionaliasi tindakan secara rutin dan berlalu tanpa tumpang tindih, maka hal itu mengukuhkan pemahaman teoritis secara terus menerus dari landasan aktiitas mereka. Aktor selalu mampu menjelaskan banyak hal dari apa yang mereka lakukan, jika mereka bertanya.
3. Pertanyaan sering menjadi tujuan dan alasan filosof yang biasanya untuk membantu menjelaskan bagi aktor awam yang tengah menghadapi beberapa situasi yang membingungkan atau ketika ada semacam perubahan atau keretakan kompetensi yang mungkin secara nyata menjadi sesuatu yang diharapkan.
4. Monitoring refleksif dan rasionalisai tindakan dibedakan bedasarkan motivasi (Susilo, 2008: 415-416).
Guna memfokuskan klarifikasi mengenai agensi, perlulah sekiranya dibuat batasan mengenai agensi manusia yang diluruskan di bawah ini:
1. Agensi manusia menekankan hubungan antara aktor dan kekuasaan. Tindakan bergantung pada kemampuan individu untuk membuat sebuah perbedaan dari kondisi peristiwa atau tingkatantingkatan kejadian sebelumnua. Seorang agen akan berhenti menjadi agen jika ia kehilangan kemampuan untuk membuat sebuah perbedaan dalam melatih beberapa jenis kekuasaan. Banyak kasus yang menarik dari analisis sosial yang terfokus pada margin yang dapat kita artikan sebagai tindakan, yaitu saat kekuasaan individu dibatasi oleh jarak keadaan-keadaan khusus. Tetapi ini menjadi kepentingan pertama untuk mengenali keadaankeadaan pengekangan sosial yang membuat individu tidak memiliki pilihan yang tidak sama dengan disintegrasi tindakan. Tidak memiliki pilihan bukan berarti bahwa tindakan telah digantikan oleh reaksi (yang membuat seseorang mengambik taktik ketika gerakan teratur dibuat di depan mata sendiri).
2. Sebagian aliran teori sosial terkemuka tidak mengenal pembedaan, utamanya yang berhubungan dengan objektivitisme dan structural. Mereka menyatakan bahwa kekangan beroperasi seperti kekuatan alam, seolah-olah tidak memiliki pilihan yang sama dengan yang digerakkan tanpa perlawanan dan tidak mampu dipahami oleh tekanan-tekanan mekanis.
3. Agen tidak bebas untuk memilih bagaimana membentuk dunia sosial, tetapi dibarasi oleh pengekangan posisi historis yang mereka tidak pilih.
4. Baik tindakan aktor maupun struktur akan melibatkan tiga aspek yakni makna, norma dan kekuasaan (Susilo, 2008: 416).
Lagi, kata Giddens setiap manusia merupakan agen yang betujuan (purposive agent) karena sebagai individu, ia memiliki dua kencenderungan, yakni memiliki alasan-alasan untuk tindakan-tindakannya dan kemudian mengelaborasi alasan-alasan ini secara terus menerus sebagai bertujuan, bermaksud dan bermotif (Susilo, 2008: 413). Sedangkan gensi mengacu pada perbuatan, kemampuan atau tindakan otonom untuk melakukan apa pun.
2. Struktur, Strukturasi
Apa yang hendak kita bahas dalam sub bab ini ialah inti dari teori strukturasi yakni konsep-konsep struktur, sistem dan dualitas struktur. Gagasan strukturasi (atau ‘struktur sosial’) tentu saja sangat penting dalam tulisan-tulisan kebanyakan penulis fungsionalis dan telah memberikan andilnya pada tradisi strukturalisme, namun tampaknya tidak ada konsep yang paling cocok dengan tuntunan-tuntunan teori sosial. Para penulis fungsionalisme dan para pengkritiknya telah memberikan memberikan perhatian besar pada gagasan fungsi dibandingkan dengan gagasan struktur, dan dengan demikian struktur lebih cenderung digunakan sebagai gagasan yang diterima begitu saja. Namun tak diragukan lagi terdapat gagasan tentang bagaimana struktur biasanya dipahami oleh kaum fungsionalis dan bahkan oleh mayoritas analis sosial-sebagao suatu ‘pemolaan’ hubungan atau fenomena-fenomena sosial. Kondisi ini kerap dianggap sebagai pencitraan visual, yang sama dengan kerangka atau morfologis organisme atau penyangga suatu bangunan. Konsepsi-konsepsi seperti itu berhubungan denga dualisme subjek dan objek sosial.
Di sini struktur ternyata sebagai sesuatu yang bersifat eksternal bagi tindakan manusia, sebagai sumber yang mengekang kekuasaan subjek yang disusun secara mandiri. Sebagaimana yang dikonseptualisasikan dalam pemikiran strukturalis dan post-strukturalis, gagasan struktur ternyata lebih menarik. Dalam hal ini struktur secara khas dianggap bukan sebagai pembuat pola kehadiran seorang melainkan sebagai titik simpang antara kehadiran dan ketidakhadiran. Kode-kode dasar harus disimpulkan dari manifestasi-manifestasi yang merekat (Giddens, 2011: 20). Sehingga batas-batas antara keduanya bisa diidentifikasi dengan jelas pada pembahasan selanjutnya.
Dua ide tentang struktur tersebut sekilas tampak tidak ada kaitannya satu sama lain, namun nyatanya masing-masing berhubungan dengan aspek-aspek penting dari struktur hubungan-hubungan sosial, aspek-aspek yang dalam teori strukturasi dapat dipahami dengan menganalisis perbedaan antara konsep struktur dengan sistem. Dalam menganalisis hubungan-hubungan sosial, kita harus mengakui dimensi sintagmatig, suatu pola hubungan sosial dalam ruang dan waktu yang melibatkan urutan sebenarnya dari mode-mode pengembangan struktur yang secara reikursif diimplikasikan dalam proses-proses reproduksi. Dalam tradisi strukturalis, biasanya terdapat ketaksaan (ambiguity) perihal apakah struktur mengacu secara terbuka pada suatu matriks transformasi di dalam seperangkat aturan-aturan transformasi yang menentukan matriks tersebut. Paling idak dari makna dasarnya, saya mempeelakukan matriks sebagai sesuatu yang mengacu pada aturan-aturan dan sumber daya-sumber daya seperti itu.
Hanya saja tidak tepat bila menyebutnya sebagai aturan-aturan yang tertransformasi, sebab semua aturan bersifat transformative. Oleh karena itu, struktur dalam analis sosial lebih mengacu pada sifat-sifat struktur yang membuka kemungkinan pemberian batas-batas ruang dan waktu dalam sistem-sistem sosial, sifat-sifat demikian memberi kemungkinan munculnya praktek-praktek sosial serupa dalam berbagai rentang ruang dan waktu serta memberinya suatu bentuk ‘sistematik’.
Menyatakan bahwa struktur merupakan urutan sesungguhnya dari suatu hubungan tranformatif berarti bahwa sistem sosial, sebagai praktek sosial yang dereproduksi tidak memiliki struktur namun memperlihatkan sifat-sifat struktual. Ia menunjukkan bahwa struktur itu ada, sebagaimana keberadaan ruang dan waktu. Sifat-sifat struktural ini hanya muncul di dalam berbagai tindakan isntan serta menjadi jejak-jejak memori yang memberi petunjuk akan perilaku agen-agen manusia yang telah banyak memiliki pengetahuan. Pada gilirannya , kita bisa saja menganggap bahwa sifat-sifat struktural tersebut sebagai sesuatu yang secara hirarki diorganisasikan bedasarkan luasnya ruang dan waktu tempat pengorganisasian tindakan-tindakan tersebut secara rekursif. Sifat-sifat struktural yang muncul dalam sebuah totalitas reproduksi sosial demikian menurut Giddens disebut sebagai prinsip-prinsip struktural. Dengan praktek-praktek sosial yang memiliki perluasan ruang waktu terbesar dalam totalitas seperti itu bisa diacu sebagai institusi.
Anggap saja aturan-aturan kehidupan sosial sebagai teknik-teknik atau prosedur-prosedur yang bisa digeneralisasikan yang diterapkan dalam pembuatan atau reproduksi praktek-praktek sosial. Aturan-aturan yang dirumuskan yang diberi ekspresi verbal sebagai kanon hukum, aturan-aturan birokratis, aturan-aturan permainan dan sebagainya merupakan kodifikasi intepretasi atas aturan-aturan bukannya aturan-aturan itu sendiri.
Aturan-aturan tersebut hendaknya tidak dianggap sebagai sebuah penggambaran umum melainkan sebagai jenis-jenis khusus yang dirumuskan, bedasarkan formulasi lahirnya, yang terwujud dalam berbagai kualitas khusus (Giddens, 2011: 27).
Sejauh ini pertimbangan-pertimbangan tersebut hanya menawarkan pendekatan awal pada persoalan itu. Bagaimana kaitan rumus dengan praktek-praktek yang dijakankan aktor-aktor sosial dan jenis rumus apa yang paling menyedot perhatian kta dalam mencapai tujuan-tujuan umum analisis sosial? Tentang pertanyaan di atas kita bisa mengatakan bahwa kesadaran atas aturan-aturan sosial yang diungkapkan dulu dan paling banyak dalam kesadaran praktis, merupakan inti ‘jangkauan pengetahuan’ (knowledge ability) yang terutama memberikan karakter pada agen-agen manusia. Sebagai aktor-aktor sosial, seluruh manusia telah banyak dipelajari berkaitan dengan pengetahuan yang dimiliki diterapkannya dalam memproduksi dan mereproduksi perjumpaan-perjumpaan social sehari-hari. Kumpulan pengetahuan seperti itu sifatnya praktis bukannya teoritis. Pengetahuan tentang prosedur atau penguasaan teknik-teknik melakukan aktivitas sosial dengan demikian bersifat metodologis.
Maksudnya pengetahuan seperti itu tidak menetapkan seluruh situasi yang mungkin ditemui seoang aktor dan juga tidak bisa dilakukan olehnya. Namun pengetahuan memnerikan kapasitas umum untuk menanggapi dan mempengaruhi garis kontinum yang tak terhingga dari keadaan-keadaan sosial.
Jenis-jenis aturan yang paling penting bagi teori sosial terkunci dalam reproduksi praktek-praktek yang dilembagakan, yakni praktek-praktek yang paling dalam mengendap dalam ruang dan waktu. karakteristik utama aturan-aturan yang relevan dengan pertanyaanpertanyaan umum analisis sosial bisa diuraikan sebagai berikut (Giddens, 2011: 28) :
Intensif tak diucapkan informal dengan sangsi ringan
: : :
Dangkal diskursif diformalkan dengan sanksi berat
Dengan menggunakan aturan-aturan yang bersifat intensif, digunakanlah rumus yang biasa digunakan sehari hari, yang masuk dalam pembangunan bentuk kehidupan sehari-hari. Aturan-aturan bahasa memiliki sifat seperti ini. Begitu juga misalnya prosedur-prosedur yang dimanfaatkan oleh aktor dalam mengorganisasikan giliran bicara dalam percakapan atau interaksi. Prosedur-prosedur itu bisa diperbandingkan dengan aturan-aturan yang lebih abstrak yakni hukum yang dikodifikasi paling berpengaruh untuk menata aktivitas sosial. Namun kebanyakan prosedur yang tampak remeh dalam kehidupan sehari-hari memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap generalitas perilaku sosial. Kategori lainnya kurang lebih bersifat pemaparan diri. Kebanyakan aturan yang diimplikasikan dalam produksi dan reproduksi ialah praktek-praktek sosial hanya secara diam-diam dipahami oleh aktor-aktor, mereka mengetahui cara terus melakukan sesuatu. Rumusan diskursif suatu aturan merupakan intepretasi atas aturan itu, dan sebagaimana yang telah dikemukakan mungkin dengan sendirinya mengubah bentuk penerapannya. Diantara aturan-aturan yang tidak dirumuskan secara diskursif namun di komodifikasi secara formal, jenis kasusnya ialah kasus hukum. Hukum tentu saja mrupakan salah satu jenis aturan sosial yang disertai kuat dan dalam masyarakat modern secara formal telah ditetapkan tingkatan-tingkatan retribusinya (Giddens, 2011: 29-30).
Aturan yang muncul dalam interaksi sosial menjadi pedoman yang digunakan agen-agen atau pelaku-pelaku untuk melakukan reproduksi hubungan-hubungan sosial yang melintasi batasan waktu dan ruang. Aturan muncul dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1. Aturan sering dipikirkan dalam hubungan dengan permainan (games) atau sebgai konsep yang diformalkan. Bahkan ia dikidifikasijan sebagai bentuk hukum yang secara karakteristik menjadi pokok persoalan dari sebuah keragaman tentang permohonan yang sunguh-sungguh.
2. Aturan sering diperlakukan tunggal, seolah-olah ia dapat dihubungkan dengan contoh-contoh khusus atau bagian dari tindakan. Tetapi menjadi tidak benar jika dikenalkan dengan analogi pada beroperasinya kehidupan sosial, yang makna praktikpraktik dilanggengkan dalam kebersatuan dengan kerangka yang terorganisasi secara longgar.
3. Aturan tidak dapat dikonsepkan lepas dari sumber daya, yang menunjukkan cara dengan jalan mana hubungan transformative benar-benar bergabung dengan reproduksi dan produksi praktikpraktik sosial. Kemudian, sifat-sifat struktural menggambarkan bentuk dominasi dan kekuasaan.
4. Aturan secara tidak langsung menjadi prosedur metodis interaksi sosial, seperti yang telah dibuta oleh Garfinkel. Secara tipikal, aturan silang-menyilang dengan praktik-praktik dalam kontekstualisasi pertemuan terkondisikan. Pertimbangan untuk tujuan khusus yang Garfinkel identifikasi secara kronis dilibatkan dengan bukti terwakili dari aturan. Ia penting untuk membentuk aturan-aturan itu. Harus ditambahkan bahwa setiap agen social yang kompeten merupakan ahli teori sosial pada tingkatan kesadaran diskursif dan ahli metodologis pada tingkatan kesadaran diskursif dan praktis.
5. Ada dua aspek aturan dan penting membedakannya secara konseptual, sejak sejumlah penulis filosofis cenderung mengganggapnya sama. Pada satu sisi, aturan berhubungan dengan aturan makna dan pada sisi lain pemberian sanksi cara bertingkah laku sosial (Giddens, 1984:18).
Kemudian, pembedaan struktur sebagai istilah umum dengan struktur dalam pengertian jamak ialah keduanya berasal dari sifat struktural sistem sosial. Struktur mengacu tidak hanya pada aturan-aturan yang disiratkan dalam produksi dan reproduksi sistem-sitem sosial namun juga pada sumberdaya-sumberdaya. Ketika Giddens menjelaskan sumber daya, ia menyatakan bahwa individu menciptakan masyarakat dengan tidak sekadar melakukan garukan melalui cara yang sederhana, tetapi lebih dahulu menggambarkan sumber-sumber yang telah ada sebelumnnya.
Adapun tiga jenis sumber daya yang dmaksudkan ialah:
a. Makna-makna (sesuatu yang diketahui, stok pengetahuan
b. Moral (sistem nilai)
c. Kekuasaan (pola-pola dominasi dan pembagian kepentingan.
Sumber daya juga terdiri atas dua hal yakni sumber daya autoritatif dan sumber daya alokatif. Sumber daya autoritatif diturunkan dari koordinasi aktivitas agen. Sumber daya alokatif merupakan lingkaran control produk material atau tentang aspek dari dunia material.
Sebagaimana yang biasa digunakan dalm ilmu sosial, struktur cenderung digunakan bersama aspek yang lebih mantap pada sistem sosial. Aspek paling penting dari struktur ialah aturan dan sumberdaya yang secara rekursif dilibatkan dalam institusi-institusi.ditilik dari definisinya, institusi-institusi merupakan ciri yang lebih mantab pda kehidupan sosial. Yang dimaksud dalam sifat-sifat struktural ialah aspek kelembagaannya, dengan memberikan soliditas sepanjang ruang dan waktu. Kasus yang selalu muncul ialah bahwa ruang dan waktu memiliki identitasnya yang berbeda.
Arti penting dalam pengertian struktur ialah bisa dikatakan sebagai pelengkap penjelasan mengenai agen. Menurut Giddens struktur terkait dengan hal-hal berikut:
1. Struktur merupakan sifat-sifat terstuktur yang mengikat ruang dan waktu dalam sistem sosial. Sifat-sifat ini mungkin menjadi praktik sosial yang sama terlihat berlangsung melebihi rentang ruang-waktu yang meminjamkan kepadanya dalam bentuk sistemik.
2. Struktur merupakan keteraturan yang sebenarnya dari hubungan transformative, yang berarti sistem sosial karena praktik-prakitk sosial yang tereproduksi tidak memiliki strukutur, tetapi lebih menunjukkan sifat-sifat struktural dan keberadaan struktur itu sebagai kehadiran ruang dan waktu, hanya dalam penggambarannya seperti pada prakitk-prakitk sosial dan sebagai memori yang menemukan arah pada perilaku agen manusia yang dapat dikenali. (Susilo, 2008: 417).
Kita juga bisa memahami sifat-sifat struktural sebagai organisasi secara hirarkis dalam kerangka pengembangan ruang waktu dari praktik-praktik yang mereka atur secara berulang-ulang. Sifat struktural yang sangat dalam dan melekat berhubungan secara tidak langsung dengan reproduksi totalitas masyarakat. Giddens menyebutnya sebagai prinsipprinsip struktural. Praktik-praktik ini memiliki pengembangan ruang waktu yang sangat besar.
Bisa disimpulkan bahwa struktur didefinisikan sebagai sifat-sifat yang terstruktur (aturan dan sumber daya). Sifat-sifat yang memungkinkan praktik sosial serupa dapat dijelaskan untuk berlangsung di sepanjang ruang dan waktu dan kedua proses ini membuat bentuk-bentuk hubungan menjadi sistemik. Jadi, struktur hanya akan terwujud bila ada aturan dan sumber daya. Keduanya sangat penting untuk mereproduksi sistem sosial. Karena itu struktur menjelma dalam ingatan orang yang memiliki banyak pengetahuan (Waters dan Jary, dalam Susilo, 2009: 418).
Giddens menyatakan bahwa ada tiga gugus besar struktur. Pertama struktur penandaan atau signifikansi yang menyangkut sekamata simbolik, pemaknaan, penyebutan dan wacana. Kedua, struktur penguasaan atau dominasi yang mencakup skemata penguasaan atas orang (politik) dan barang atau hal (ekonomi). Ketiga, struktur pembenaran (legitimasi) yang menyangkut skemata peraturan normative yang terungkap dalam tata hukum.
Kita mudah memahami bahwa hidup di dalam masyarakat menuntut banyak banyak hal agar diakui keberadaannya. Kita hidup di lingkungan sosial, tempat keputusan dan hal-hal yang terjadi juga ditentukan pihakpihak lain. Kita tidak bisa hidup sendirian, sebab banyak ha yang akan membantu kita dan sekaligus banyak hal pula yang membatasi langkahlangkah kita. Kita tentunya bangga jika disebut orang yang produktif atau sebagai tokoh yang berhasil atau singkatnya sebagai orang yang berkuasa. Prestis kita akan naik jika semua orang memberikan penghargaan dan pengakuan.
Demikian pula ketika ita bisa menguasai sejumlah orang, memasukkan ide-ide pada mereka sehingga kebahagiaan kita pun akan semakin bertambah. Menjadi pimpinan, berarti melekat pula fasilitas, kewenangan, legitimasi dan kemudahan-kemudahan lain. Demikian pula menjadi bawahan tentunya akan menanggung resiko yang jauh lebih tidak nikmat. Bawahan tidak mengerti aturan main, bahkan sering menjadi koran dari permainan aturan main tersebut. Dalam hal itu, seperti yang dijelaskan berulang-ulang, Giddens menawarkan pandangan dunia social yang besar merupakan pola-pola interaksi, tetapi mereka juga dipandang sebagai struktur. Struktur di sini bersifat sistematis, teratur, permanen, sepanjang agen mereproduksinya di masa depan. Struktur memiliki kapasitas ganda, baik mengekang maupun mendorong (menyediakan sumberdaya) agensi manusia. Struktur bisa menjadi alat (media) dan menjadi konsekuensi tindakan manusia (Susilo, 2008:419).
Menurut teori strukturasi, saat agen memuliki kuasa untuk memproduksi tindakan juga berarti saat melakukan reproduksi dalam konteks menjalani kehidupan sosial sehari-hari. Salah satu proposisi utama teori strukturasi adalah bahwa aturan dan sumberdaya yang digunakan dalam produksi dan reproduksi tindakan sosial sekaligus merupakan alat reproduksi sistem (dualitas struktur).
3. Dualitas Struktur
(Giddens, 2011: 31)
Struktur sebagai perangkat aturan dan sumberdaya yang diorganisasikan secara rekursif, berada diluar ruang dan waktu, disimpan dalam koordinasi dan kesegeraanna sebagai jejak-jejak memori yang ditandai oleh ketiadaan subjek. Sebaliknya sistem sosial tempat disiratkannya secara rekursif struktur terdiri dari aktivitas-aktivitas agen manusia daam situasi tertentu yang direproduksi dalam ruang dan waktu.
Menganalisis struktur sistem sosial berarti mengkaji mode-mode tempat diproduksi dan direproduksinya sistem-sistem seperti itu dalam interaksi yang didasarkan pada aktivitas-aktivitas utama agen-agen di temapat tertentu yang menggunakan aturan-aturan dan sumberdaya-sumberdaya dalam konteks tindakan yang beraneka ragam. Yang paling penting dalam gagasanstrukturasi ialah dualitas struktur yang secara logis disiratkan dalam argument-argumen yang dikemukakan di atas. Pembentukan agen- agen dan struktur-struktur bukanlah dua gugus fenomena tertentu yang terpisah, yakni dualism, melainkan menggambarkan suatu bentuk dualitas. Menurut gagasan dualitas struktur sifat-sifat struktual sistem social keduanya merupakan media dan hasil praktek-praktek yang mereka organisasikan secara rekursif. Struktur tidaklah bersifat eksternal bagi individu-iddividu, sebagai jejak-jejak memori dan seperi yang diwujudkan dalam praktek-praktek sosial, namun dalam pengertian tertentu ia lebih bersifat ‘internal’ bukannya eksternal bagi aktivitas-aktivitasnya dalam pengertian Durkheim dengan fakta sosial. Struktur tidak disamakan dengan kekangan namun selalu mengekang dan membebaskan. Tentu saja hal ini tidak mencegah sifat-sifat terstruktur sistem sosial untuk melebar mauk ke dalam ruang dan waktu di luar kendali aktor-aktor individu, juga tidak ada kompromi terhadap kemungkinan-kemungkinan bahwa teori sistem sosial para aktor dibantu ditetapkan kemabali dalam aktivitasaktivitasnya bisa merealisasikan sistem-sistem itu. Reifikasi hubungan-hubungan sosial atau naturalisasi diskursif keadaan-keadaan yang bergantung secara historis pada produk-produk tindakan manusia merupakan salah satu dimensi utama ideology dalam kehidupan social (Giddens, 2011: 32).
Dualitas struktur selalu merupakan dasar utama kesinambungan dalam reproduksi sosial dalam ruang dan waktu. Pada gilirannya hal ini mensyaratkan monitoring refleksif agen-agen dan sebagimana yang ada di dalam duree aktivitas sosial sehari-hari. Namun jangkauan pegetahuan manusia itu selalu terbatas. Arus suatu tindakan senantiasa mengahasilkan konsekuensi-konsekuensi yang tidak diinginkan oleh aktor-aktor dan konsekuensi-konsekuensi yang tidak diinginkan itu mungkin juga membentuk kondisi-kondisi tindakan yang tak diakui dalam suatu umpan balik. Meski sejarah manusia diciptakan oleh aktivitas-aktivitas yang disengaja, namun ia bukanlah suatu proyek yang diinginkan, sejarah manusia senantiasa menghindarkan usaha-usaha untuk menggiringnya agar tetap berada di jalur kesadaran. Namun usaha-usaha semacam itu trus menerus dilakukan manusia, yang bekerja di bawah ancaman dari janji bahwa mereka adalah satu-satunya makhluk yang membuat sejarahnya dengan memperhatikan fakta di atas.
Sedikit banyak dualitas struktur telah memebri keterangan kita tentang bagaimana agen dan struktur berintegrasi dan membangun identitasnya yang baru yang juga didukung oleh pengetahuan latar, ruang dan waktu yang memiliki karakteristiknya tertentu. Tak berhenti sampai di situ, konsepsi mengenai legitimasi sangat patut kita turut campurkan dalam bersatunya agen dan struktur yang mebangun identitasnya yang baru. Legitimasi sangat terkait dengan penerimaan dan kesadaran. Di mana komunikasi intensif daripada agen dan struktur secara langgeng disadari dan pada akhirnya mereproduksi kententuan-ketentuan, nilai serta norma-norma yang baru. Gagasan ini memang lebih dirasa rasional ketika perjumpaan sosial dan sumberdaya menjadi peluang untuk mengontrol keadan sosial dikendaki untuk berubah bedasar atas agen-agen yang pintar dalam melihat situasi.
4. Identitas Diri Sebagai Proyek
Bagi Giddens (1991) identitas terbentuk oleh kemampuan untuk melanggenggkan narasi tentang diri, sehingga membentuk suatu perasaan terus-menerus tentang kontinuitas biografis. Cerita mengenai identitas berusaha menjawab sejumlah pertanyaan kritis. Individu atau agen berusaha mengkonstruksi suatu narasi identitas koheren di mana siri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa lalu sampai masa depan yang dapat diperkirakan (Giddens, 1991:75). Jadi, identitas diri bukanlah sifat distingtif, atau bahkan kumpulan sifat-sifat, yang dimiliki oleh individu. Identitas diri ialah bagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks biografinya (Giddens, 1991:53).
Opini Giddens sesuai dengan pandangan awam kita tentang identitas, karena ia mengatakan bahwa identitas diri ialah apa yang kita pikirkan tentang diri kita sebagai pribadi. Selain itu, dia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah kumpulan sifat-sifat yang kita miliki; identitas bukanlah sesuatu yang kita miliki, ataupun entitas atau benda yang bias kita tunjuk. Agaknya identitas adalah cara berfikir tentang diri kita. Namun yang kita piker tentang diri kita berubah dari situasi ke situasi yang lain menurut ruang dan waktunya, itulah sebabnya Giddens menyebut identitas sebagai proyek. Yang dia maksud adalah bahwa identitas merupakan sesuatu yang kita ciptakan, sesuatu yang selalu dalam proses, suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan. Proyek identitas membentuk apa yang kita piker tentang diri kita saat ini dari sudur situasi masa lalu dan masa kini kita, bersama dengan apa yang kita piker kita inginkan, lintasan harapan kita ke depan.
5. Identitas Sosial
Meski identitas-diri bisa dipahami sebagai proyek kita, kita telah menjadi truismesosiologis bahwa kita lahir di dunia yang mendahului kita. Kita belajar menggunakan bahasa yang telah digunakan sebelum kita datang dan kita menjalani hidup kita dalam konteks hubungan social dengan orang lain. Singkatnya, kita terbentuk sebagai individu dalam proses sosial dengan menggunakan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial. Biasanya ini dipahami sebagai sosialisasi atau atkulturasi. Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi orang sebagaimana yang telah kita pahami dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa bahasa, konsep kedirian dan identitas akan dapat kita mengerti.
Tidak ada elemen transedental atau historis terkait dengan bagaimana seharusnya menjadi seseorang. Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural, karena alasan-alasan berikut:
1. Pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah pertanyaan kulutral. Sebagai contoh, individualism adalah ciri khas masyarakat modern.
2. Sumber daya yang membentuk materi bagi proyek identitas, yaitu bahasa dan praktik kultural, berkarakter sosial. Semuanya itu dibentuk secara berbeda pada konteks-konteks kultural yang berbeda pula.
6. Subjek Sosiologis
Kita telah mencatat bahwa identitas tidak membangun dirinya sendiri atau berada dalam diri melainkan aspek yang seluruhnya kultural karena terbangun melalui proses akulturasi. Diri yang disosialisasikan inilah yang disebut Hall sebagai subjek sosiologis di mana.
Inti dari subjek tidak bersifat otonom maupun berdiri sendiri, melainkan dibentuk dalam kaitannya dengan orang lain yang berpengaruh (signifikan others), yang jadi perantara subjek dengan nilai dan simbol-kebudayaan dalam dunia tempat ia hidup (Hall, 1992b:275 dalam Barker, 2011:177).
Orang lain yang berpengaruh pertama pada kita nampaknya ialah anggota keluarga kita, yang dari mereka kita belajar melalui pujian, hukuman, peniruan dan bahasa, bagaimana menjalani hidup di dalam kehidupan sosial. Jadi asumsi dasar pandangan sosiologi tentang subjek ialah bahwa manusia adalah makhluk sosial di amana aspek sosial dan individu saling membentuk satu sama lain. Kendati demikian diri dipahami memiliki inti –dalam yang padu, ia dibentuk secara interaktif antara dunia dalam dengan dunia sosial yang ada di luar. Memang, internalisasi nilai dan peran sosial menstabilkan individu dan memastikan agar seorang individu cocok dengan struktur sosial dengan menjalin diri atau merangkai diri ke dalamnya. Berikut kerangka teoritik yang dapat dijelaskan:
Kontruksi Sosial
TEORI KONSTRUKSI SOSIAL DARI PETER L. BERGER DAN THOMAS LUCKMAN
Argyo Demartoto, M.Si.
1. 1. Teori Aksi
Talcott Parsons berpendapat bahwa aksi ( action ) itu bukanlah perilaku ( behavior ). Aksi merupakan tanggapan atau respon mekanis terhadap suatu stimulus sedangkan perilaku adalah suatu proses mental yang aktif dan kreatif. Menurut Parsons, yang utama bukanlah tindakan individual, melainkan norma-norma dan nilai-nilai sosial yang menurunkan dan mengatur perilaku (Sarwono, 1993 : 19 ).
Parsons melihat bahwa tindakan individu dan kelompok dipengaruhi oleh tiga sistem, yaitu sistem sosial, sistem budaya, dan sistem kepribadian masing-masing individu. Kita dapat mengaitkan individu dengan sistem sosialnya melalui status dan perannya. Dalam setiap sistem sosial individu menduduki suatu status dan berperan sesuai dengan norma atau aturan yang dibuat oleh sistem tersebut dan perilaku ditentukan pula oleh tipe kepribadiannya. (Sarwono, 1993 : 19 ).
Beberapa asumsi fundamental Teori Aksi dikemukakan oleh Hinkle dengan merujuk karya Mac Iver, Znaniecki dan Parsons sebagai berikut :
1. Tindakan manusia muncul dari kesadarannya sendiri sebagai subyek dan dari situasi eksternal dalam posisinya sebagai obyek.
2. Sebagai subyek manusia bertindak atau berperilaku untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Jadi, tindakan manusia bukan tanpa tujuan.
3. Dalam bertindak manusia menggunakan cara, teknik, prosedur, metode, serta perangkat yang diperkirakan cocok untuk mencapai tujuan tersebut.
4. Kelangsungan tindakan manusia hanya dibatasi oleh kondisi yang tak dapat diubah dengan sendirinya.
5. Manusia memilih, menilai dan mengevaluasi terhadap tindakan yang akan, sedang dan yang telah dilakukannya.
6. Ukuran-ukuran, aturan-aturan atau prinsip-prinsip moral diharapkan timbul pada saat pengambilan keputusan.
7. Studi mengenai antar hubungan sosial memerlukan pemakaian teknik penemuan yang bersifat subyektif seperti metode verstehen, imajinasi, sympathetic reconstruction atau seakan-akan mengalami sendiri (vicarious experienc ) ( Ritzer, 2003 : 46 ).
Dalam menyesuaikan tingkah lakunya dengan norma masyarakat biasanya individu melihat kepada kelompok acuannya ( reference group ). Kelompok referensi yaitu kelompok sosial yang menjadi acuan bagi seseorang (bukan anggota kelompok) untuk membentuk pribadi dan perilakunya. Dengan perkatan lain, seorang yang bukan anggota kelompok sosial bersangkutan mengidentifikasi dirinya dengan kelompok tadi (Soekanto, 1990:154)
Menurut Parsons, salah satu asumsi dari teori aksi adalah bahwa subyek, manusia bertindak atau berperilaku untuk mencapai tujuan tertentu. Tujuan tersebut antara lain untuk mencukupi kebutuhan hidup manusia yang meliputi kebutuhan makan, minum, keselamatan, perlindungan, kebutuhan untuk dihormati, kebutuhan akan harga diri, dan lain sebagainya. Untuk mencapai tujuan tersebut dapat diupayakan dengan bekerja. Jadi tujuan yang hendak dicapai seorang individu merupakan landasan dari segenap perilakunya.
Parsons menjelaskan bahwa orientasi orang bertindak terdiri dari dua elemen dasar, yaitu orientasi motivasional dan orientasi nilai. Orientasi motivasional menunjuk pada keinginan individu yang bertindak itu untuk memperbesar kepuasan dan mengurangi kekecewaan. Sedangkan orientasi nilai menunjuk pada standar-standar normatif yang mengendalikan pilihan-pilihan individu ( alat dan tujuan ) dan prioritas sehubungan dengan adanya kebutuhan-kebutuhan dan tujuan-tujuan yang berbeda.
Perilaku manusia merupakan hasil dari segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Perilaku merupan respon individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya, setelah melalui proses berpikir dan respon yang muncul dapat berupa perilaku yang tampak.
1. 2. Teori Interaksionisme Simbolik
Interaksionisme simbolik merupakan cara pandang yang memperlakukan individu sebagai diri sendiri dan diri sosial. Kita bisa menentukan makna subyektif pada setiap obyek yang kita temui, ketimbang kita menerima apa adanya makna yang dianggap obyektif, yang telah dirancang sebelumnya. Struktur sosial bisa kita lihat sebagai hasil produksi interaksi bersama, demikian pula dengan kelompok-kelompok sosial yang lain. Suatu upaya yang agak melemahkan pandangan-pandangan kaum struktural fungsional yang melihat ’struktur sosial’ sebagaimana adanya dalam dirinya.
Suatu tindakan bersama, pada saatnya akan membentuk struktur sosial atau kelompok-kelompok masyarakat lain, dibentuk oleh suatu interaksi yang cukup khas, yang mereka namai sebagai interaksi simbolis. Interaksionisme simbolik mengandaikan suatu interaksi yang menggunakan bahasa, isyarat, dan berbagi simbol lain. Melalui simbol-simbol itu pula, kita bisa mendefinisikan, menginterpretasikan, menganalisa dan memperlakukan sesuai dengan kehendak kita. Tampak disini ada perpaduan yang khas antara kebebasan akan definisi orang lain mengenai kita sendiri.
Akar dari teori interaksionisme simbolis ini mengandaikan realitas sosial sebagai proses dan bukan sebagai proses dan bukan sebagai sesuatu yang statisdogmatis. Sehingga, manusia bukan merupakan barang jadi, tapi lebih sebagai barang yang akan jadi. Dalam hal ini kita akan menemukan pembahasan mengenai diri, diri sosial, pengendalian diri, perspektif orang lain, interpretasi, makna-makna dan sebagainya, semuanya lebur dan menolak pandangan-pandangan yang baku akan terbentuknya masyarakat. dan masyarakat dilihatnya sebagai ’interaksi simbolik’ individu-individu didalamnya.
Individu dalam interaksionisme simbolik Blumer dapat dilihat pada tiga premis yang diajukannya, yaitu : (1) manusia bertindak terhadap sesuatu berdasar makna-makna yang ada pada sesuatu bagi mereka. Sesuatu yang dimaksud disini bermakna obyek fisik, orang lain, institusi sosial dan ide-ide atau nilai-nilai yang bersifat abstrak (2) makna tersebut berasal dan hasil interaksi sosial seseorang dengan orang lain (3) makna tersebut disempurnakan dan dimodifikasi melalui proses penafsiran di saat proses interaksi berlangsung.
Dalam interaksionisme simbolik, menurut Blumer, aktor tidak semata-mata bereaksi terhadap tindakan dari orang lain, tetapi mencoba menafsirkan dan mendefinisikan setiap tindakan orang lain. Hal itu terjadi karena individu mempunyai kedirian ‘self’ yang dengannya dia melakukan membentuk dirinya sebagai obyek. Dalam melakukan interaksi secara langsung maupun tidak langsung individu dijembatani oleh penggunaan simbol-simbol penafsiran, yaitu bahasa. Tindakan penafsiran simbol oleh individu disini diartikan memberikan arti, menilai kesesuaiannya dengan tindakan, dan mengambil keputusan berdasarkan penilaian tersebut. Karena itulah individu yang terlibat dalam interaksi ini tergolong aktor sadar dan reflektif karena bertindak sesuai dengan apa yang telah ditafsirkan dan bukan bertindak tanpa rasio atau pertimbangan. Konsep inilah yang disebut Blumer dengan self-indication, yaitu proses komunikasi yang sedang berjalan dalam proses ini individu mengetahui sesuatu, menilainya, memberi makna dan memutuskan untuk bertindak. Proses self indication ini terjadi dalam konteks sosial di mana individu mencoba “ mengantisipasi tindakan-tindakan orang lain dan menyesuaikan tindakannya sebagaimana dia menafsirkan tindakan itu”
(Poloma,2004: 261)
Interaksionisme simbolik yang diketengahkan Blumer mengandung sejumlah “root images” atau ide-ide dasar yang dapat diringkas sebagai berikut:
1. Masyarakat terdiri dari manusia yang berinteraksi. Kegiatan tersebut saling bersesuaian melalui tindakan bersama, membentuk sesuatu yang dikenal sebagai organisasi atau struktur sosial.
2. Interaksi terdiri dari kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan manusia lain. Interaksi – interaksi nonsimbolis mencakup stimulus – respon yang sederhana. Interaksi simbolik mencakup ”penafsiran tindakan” . Bila dalam pembicaraan seseorang pura-pura batuk ketika tidak setuju dengan pokok-pokok yang diajukan oleh si pembicara, batuk tersebut menjadi suatu simbol yang berarti, yang dipakai untuk menyampaikan penolakan
3. Obyek – obyek yang tidak mempunyai makna yang instriksik lebih merupakan produk interaksi simbolis. Obyek-obyek dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori yang luas (a) obyek fisik seperti meja, tanaman, mobil (b) obyek sosial, seperti guru atau teman dan (c) obyek abstrak seperti nilai, hak dan peraturan. Blumer membatasi obyek sebagai “segala sesuatu yang berkaitan dengannya”. Dunia obyek “diciptakan, disetujui, ditransformasi dan dikesampingkan” lewat interaksi simbolis. Ilustrasi peranan makna yang diterapkan pada obyek fisik dapat dilihat dalam perlakuan yang berbeda.
4. Manusia tidak hanya mengenal obyek eksternal, namun mereka juga dapat mengenal dan melihat dirinya sebagai obyek.
5. Tindakan manusia adalah tindakan interpretative yang dibuat oleh manusia
6. Tindakan tersebut saling dikaitkan dan disesuaikan oleh anggota-anggota kelompok. Hal ini disebut sebagai tindakan bersama yang dibatasi sebagai; organisasi sosial dari perilaku tindakan-tindakan berbagai manusia dimana sebagian besar tindakan bersama tersebut dilakukan berulang-ulang namun stabil melahirkan kemudian ‘kebudayaan” dan “aturan sosial”.
(Poloma, 2004: 264 – 266)
Dalam perspektif kontruktivisme, pengetahuan adalah produk interaksi dengan dunianya. Ketika proses berinteraksi tindakan para agen selalu bersifat intersubyektif, masing – masing memonitor cara – cara masing – masing mempersepsikan situasi di ruang dan waktu mana interaksi mereka lakukan. Dalam interaksi itulah masing – masing mendefinisikan dunianya yang hasil definisi lalu menentukan tindakan atau implementasi dari definisi situasi.
1. 3. Perspektif Konstruksi Sosial Berger dan Luckman
3.1 Konsep Konstruksi sosial
Suatu proses pemaknaan yang dilakukan oleh setiap individu terhadap lingkungan dan aspek diluar dirinya yang terdiri dari proses eksternalisasi, internalisasi dan obyektivasi. Eksternalisasi adalah penyesuaian diri dengan dunia sosiokultural sebagai produk manusia, obyektivasi adalah interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi, dan internalisasi adalah individu mengidentifikasi diri ditengah lembaga-lembaga sosial dimana individu tersebut menjadi anggotanya.
Istilah konstruksi sosial atas realitas (sosial construction of reality) didefinisikan sebagai proses sosial melalui tindakan dan interaksi dimana individu menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subyektif. (Poloma, 2004:301).
Asal usul konstruksi sosial dari filsafat Kontruktivisme yang dimulai dari gagasan-gagasan konstruktif kognitif. Menurut Von Glasersfeld, pengertian konstruktif kognitif muncul dalam tulisan Mark Baldwin yang secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget. Namun apabila ditelusuri, sebenarnya gagasan-gagsan pokok Konstruktivisme sebenarnya telah dimulai oleh Giambatissta Vico, seorang epistemologi dari Italia, ia adalah cikal bakal Konstruktivisme (Suparno, 1997:24).
Dalam aliran filsasat, gagasan konstruktivisme telah muncul sejak Socrates menemukan jiwa dalam tubuh manusia, sejak Plato menemukan akal budi dan ide. (Bertens, 1999:89). Gagasan tersebut semakin lebih konkret lagi setelah Aristoteles mengenalkan istilah, informasi, relasi, individu, subtansi, materi, esensi, dan sebagainya. Ia mengatakan bahwa, manusia adalah makhluk sosial, setiap pernyataan harus dibuktikan kebenarannya, bahwa kunci pengetahuan adalah fakta (Bertens, 1999:137).
Aristoteles pulalah yang telah memperkenalkan ucapannya ‘Cogito ergo sum’ yang berarti “saya berfikir karena itu saya ada”. Kata-kata Aristoteles yang terkenal itu menjadi dasar yang kuat bagi perkembangan gagasan-gagasan konstruktivisme sampai saat ini. Pada tahun 1710, Vico dalam ‘De Antiquissima Italorum Sapientia’, mengungkapkan filsafatnya dengan berkata ‘Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan’. Dia menjelaskan bahwa ‘mengetahui’ berarti ‘mengetahui bagaimana membuat sesuatu ’ini berarti seseorang itu baru mengetahui sesuatu jika ia menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu. Menurut Vico bahwa hanya Tuhan sajalah yang dapat mengerti alam raya ini karena hanya dia yang tahu bagaimana membuatnya dan dari apa ia membuatnya, sementara itu orang hanya dapat mengetahui sesuatu yang telah dikonstruksikannya (Suparno, 1997:24).
Sejauh ini ada tiga macam Konstruktivisme yakni konstruktivisme radikal; realisme hipotesis; dan konstruktivisme biasa:
a. Konstruktivisme radikal hanya dapat mengakui apa yang dibentuk oleh pikiran kita. Bentuk itu tidak selalu representasi dunia nyata. Kaum konstruktivisme radikal mengesampingkan hubungan antara pengetahuan dan kenyataan sebagai suatu kriteria kebenaran. Pengetahuan bagi mereka tidak merefleksi suatu realitas ontologism obyektif, namun sebuah realitas yang dibentuk oleh pengalaman seseorang. Pengetahuan selalu merupakan konstruksi dari individdu yang mengetahui dan tdak dapat ditransfer kepada individu lain yang pasif karena itu konstruksi harus dilakukan sendiri olehnya terhadap pengetahuan itu, sedangkan lingkungan adalah saran terjadinya konstruksi itu.
b. Realisme hipotesis, pengetahuan adalah sebuah hipotesis dari struktur realitas yang mendekati realitas dan menuju kepada pengetahuan yang hakiki.
c. Konstruktivisme biasa mengambil semua konsekuensi konstruktivisme dan memahami pengetahuan sebagai gambaran dari realitas itu. Kemudian pengetahuan individu dipandang sebagai gambaran yang dibentuk dari realitas obyektif dalam dirinya sendiri. (Suparno, 1997:25).
Dari ketiga macam konstruktivisme, terdapat kesamaan dimana konstruktivisme dilihat sebagai sebuah kerja kognitif individu untuk menafsirkan dunia realitas yang ada karena terjadi relasi sosial antara individu dengan lingkungan atau orang di dekitarnya. Individu kemudian membangun sendiri pengetahuan atas realitas yang dilihat itu berdasarkan pada struktur pengetahuan yang telah ada sebelumnya, inilah yang oleh Berger dan Luckmann disebut dengan konstruksi sosial.
3.2 Pijakan dan Arah Pemikiran Teori Konstruksi Sosial Peter L. Berger dan Thomas Luckman
Konstruksi sosial merupakan sebuah teori sosiologi kontemporer yang dicetuskan oleh Peter L.Berger dan Thomas Luckman. Dalam menjelaskan paradigma konstruktivis, realitas sosial merupakan konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Individu adalah manusia yg bebas yang melakukan hubungan antara manusia yang satu dengan yang lain. Individu menjadi penentu dalam dunia sosial yang dikonstruksi berdasarkan kehendaknya. Individu bukanlah korban fakta sosial, namun sebagai media produksi sekaligus reproduksi yang kreatif dalam mengkonstruksi dunia sosialnya (Basrowi dan Sukidin, 2002 : 194).
Sosiologi pengetahuan Berger dan Luckman adalah deviasi dari perspektif yang telah memperoleh “lahan subur” di dalam bidang filsafat maupun pemikiran sosial. Aliran fenomonologi mula pertama dikembangkan oleh Kant dan diteruskan oleh Hegel, Weber, Husserl dan Schutz hingga kemudian kepada Berger dan Luckman. Akan tetapi, sebagai pohon pemikiran, fenomenologi telah mengalami pergulatan revisi. Dan sebagaimana kata Berger bahwa “posisi kami tidaklah muncul dari keadaan kosong (ex nihilo)”, akan jelas menggambarkan bagaimana keterpegaruhannya terhadap berbagai pemikiran sebelumnya. Jika Weber menggali masalah mengenai interpretatif understanding atau analisis pemahaman terhadap fenomena dunia sosial atau dunia kehidupan, Scheler dan Schutz menambah dengan konsep life world atau dunia kehidupan yang mengandung pengertian dunia atau semesta yang kecil, rumit dan lengkap terdiri atas lingkungan fisik, lingkungan sosial, interaksi antara manusia (intersubyektifitas) dan nilai-nilai yang dihayati. Ia adalah realitas orang biasa dengan dunianya. Di sisi lain, Manheim tertarik dengan persoalan ideologi, dimana ia melihat bahwa tidak ada pemikiran manusia yang tidak dipengaruhi oleh ideologi dan konteks sosialnya, maka dalam hal ini Berger memberikan arahan bahwa untuk menafsirkan gejala atau realitas di dalam kehidupan itu.
Usaha untuk membahas sosiologi pengetahuan secara teroitis dan sistematis melahirkan karya Berger dan Luckman yang tertuang dalam buku The Social Construction of Reality, A Treatise in the Sociology of Knowledge (tafsiran sosial atas kenyataan, suatu risalah tentang sosiologi pengetahuan). Ada beberapa usaha yang dilakukan Berger untuk mengembalikan hakikat dan peranan sosiologi pengetahuan dalam kerangka pengembangan sosiologi.
Pertama, mendefinisikan kembali pengertian “kenyataan” dan “pengetahuan” dalam konteks sosial. Teori sosiologi harus mampu menjelaskan bahwa kehidupan masyarakat itu dikonstruksi secara terus-menerus. Gejala-gejala sosial sehari-hari masyarakat selalu berproses, yang ditemukan dalam pengalaman bermasyarakat. Oleh karena itu, pusat perhatian masyarakat terarah pada bentuk-bentuk penghayatan (Erlebniss) kehidupan masyarakat secara menyeluruh dengan segala aspek (kognitif, psikomotoris, emosional dan intuitif). Dengan kata lain, kenyataan sosial itu tersirat dalam pergaulan sosial, yang diungkapkan secara sosial termanifestasikan dalam tindakan. Kenyataan sosial semacam ini ditemukan dalam pengalaman intersubyektif (intersubjektivitas). Melalui intersubyektifitas dapat dijelaskan bagaimana kehidupan masyarakat tertentu dibentuk secara terus-menerus. Konsep intersubyektifitas menunjuk pada dimensi struktur kesadaran umum ke kesadaran individual dalam suatu kelompok khusus yang sedang saling berintegrasi dan berinteraksi.
Kedua,menemukan metodologi yang tepat untuk meneliti pengalaman intersubyektifitas dalam kerangka mengkonstruksi realitas. Dalam hal ini, memang perlu ada kesadaran bahwa apa yang dinamakan masyarakat pasti terbangun dari dimensi obyektif sekaligus dimensi subyektif sebab masyarakat itu sendiri sesungguhnya buatan kultural dari masyarakat (yang di dalamnya terdapat hubungan intersubyektifitas) dan manusia adalah sekaligus pencipta dunianya sendiri. Oleh karena itu, dalam observasi gejala-gejala sosial itu perlu diseleksi, dengan mencurahkan perhatian pada aspek perkembangan, perubahan dan tindakan sosial. Dengan cara seperti itu, kita dapat memahami tatanan sosial atau orde sosial yang diciptakan sendiri oleh masyarakat dan yang dipelihara dalam pergaulan sehari-hari.
Ketiga, memilih logika yang tepat dan sesuai. Peneliti perlu menentukan logika mana yang perlu diterapkan dalam usaha memahami kenyataan sosial yang mempunyai ciri khas yang bersifat plural, relatif dan dinamis. Yang menjadi persoalan bagi Berger adalah logika seperti apakah yang perlu dikuasai agar interpretasi sosiologi itu relevan dengan struktur kesadaran umum itu? Sosiologi pengetahuan harus menekuni segala sesuatu yang dianggap sebagai “pengetahuan” dalam masyarakat.
Berger berpandangan bahwa sosiologi pengetahuan seharusnya memusatkan perhatian pada struktur dunia akal sehat (common sense world). Dalam hal ini, kenyataan sosial didekati dari berbagai pendekatan seperti pendekatan mitologis yang irasional, pendekatan filosofis yang moralitis, pendekatan praktis yang fungsional dan semua jenis pengetahuan itu membangun akal sehat. Pengetahuan masyarakat yang kompleks, selektif dan akseptual menyebabkan sosiologi pengetahuan perlu menyeleksi bentuk-bentuk pengetahuan yang mengisyaratkan adanya kenyataan sosial dan sosiologi pengetahuan harus mampu melihat pengetahuan dalam struktur kesadaran individual, serta dapat membedakan antara “ pengetahuan” (urusan subjek dan obyek) dan “kesadaran” (urusan subjek dengan dirinya).
Di samping itu, karena sosiologi pengetahuan Berger ini memusatkan pada dunia akal sehat (common sense), maka perlu memakai prinsip logis dan non logis. Dalam pengertian, berpikir secara “kontradiksi” dan “dialektis” (tesis, antitesis, sintesis). Sosiologi diharuskan memiliki kemampuan mensintesiskan gejala-gejala sosial yang kelihatan kontradiksi dalam suatu sistem interpretasi yang sistematis, ilmiah dan meyakinkan. Kemampuan berpikir dialektis ini tampak dalam pemikiran Berger, sebagaimana dimiliki Karl Marx dan beberapa filosof eksistensial yang menyadari manusia sebagai makhluk paradoksal. Oleh karena itu, tidak heran jika kenyataan hidup sehari-hari pun memiliki dimensi-dimensi obyektif dan subjektif (Berger dan Luckmann, 1990 : 28-29).
Berger dan Luckmann berpandangan bahwa kenyataan itu dibangun secara sosial, sehingga sosiologi pengetahuan harus menganalisi proses terjadinya itu. Dalam pengertian individu-individu dalam masyarakat itulah yang membangun masyarakat, maka pengalaman individu tidak terpisahkan dengan masyarakatnya. Waters mengatakan bahwa “they start from the premise that human beings construct sosial reality in which subjectives process can become objectivied”. ( Mereka mulai dari pendapat bahwa manusia membangun kenyataan sosial di mana proses hubungan dapat menjadi tujuan yang panta). Pemikiran inilah barangkali yang mendasari lahirnya teori sosiologi kontemporer “kosntruksi sosial”. (Basrowi dan Sukidin, 2002 : 201)
Dalam sosiologi pengetahuan atau konstruksi sosial Berger dan Luckmann, manusia dipandang sebagai pencipta kenyataan sosial yang obyektif melalui proses eksternalisasi, sebagaimana kenyataan obyektif mempengaruhi kembali manusia melalui proses internalisasi (yang mencerminkan kenyataan subjektif). Dalam konsep berpikir dialektis (tesis-antitesis-sintesis), Berger memandang masyarakat sebagai produk manusia dan manusia sebagai produk masyarakat. Yang jelas, karya Berger ini menjelajahi berbagai implikasi dimensi kenyataan obyektif dan subjektif dan proses dialektis obyektivasi, internalisasi dan eksternalisasi.
Salah satu inti dari sosiologi pengetahuan adalah menjelaskan adanya dialektika antara diri (the self) dengan dunia sosiokultural. Proses dialektis itu mencakup tiga momen simultan, yaitu eksternalisasi (penyesuaian diri dengan dunia sosio kultural sebagai produk yang dilembagakan atau mengalami institusionalisasi), dan internalisasi (individu mengidentifikasi dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya).
3.3 Memahami Dialektika Berger : Eksternalisasi, Obyektivasi dan Internalisasi
Teori konstruksi sosial Berger dan Luckmann mencoba mengadakan sintesa antara fenomen-fenomen sosial yang tersirat dalam tiga momen dan memunculkan suatu konstruksi kenyataan sosial yang dilihat dari segi asal-muasalnya merupakan hasil ciptaan manusia, buatan interaksi intersubjektif.
Masyarakat adalah sebagai kenyataan obyektif sekaligus menjadi kenyataan subjektif. Sebagai kenyataan obyektif, masyarakat sepertinya berada di luar diri manusia dan berhadap-hadapan dengannya. Sedangkan sebagai kenyataan subjektif, individu berada di dalam masyarakat itu sebagai bagian yang tak terpisahkan. Dengan kata lain, bahwa individu adalah pembentuk masyarakat dan masyarakat adalah pembentuk individu. Kenyataan atau realitas sosial itu bersifat ganda dan bukan tunggal, yaitu kenyataan subjektif dan obyektif. Kenyataan atau realitas obyektif adalah kenyataan yang berada di luar diri manusia, sedangkan kenyataan subjektif adalah kenyataan yang berada di dalam diri manusia.
Melalui sentuhan Hegel, yaitu tesis, antitesis dan sintesis, Berger menemukan konsep untuk menghubungkan antara yang subjektif dan obyektif itu melalui konsep dialektika. Yang dikenal sebagai eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi. Eksternalisasi adalah penyesuaian diri dengan dunia sosiokultural sebagai produk manusia, obyektivasi adalah interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses intitusionalisasi, dan internalisasi adalah individu mengidentifikasi diri di tengah lembaga-lembaga sosial dimana individu tersebut menjadi anggotanya.
Di dalam kehidupan ini ada aturan-aturan atau hukum-hukum yang menjadi pedoman bagi berbagai intitusi sosial. Aturan itu sebenarnya adalah produk manusia untuk melestarikan keteraturan sosial, sehingga meskipun aturan di dalam struktur sosial itu bersifat mengekang, tidak menutup kemungkinan adanya “pelanggaran” yang dilakukan oleh individu. Pelanggaran dari aturan itulah yang disebabkan oleh proses eksternalisasi yang berubah-ubah dari individu atau dengan kata lain ada ketidakmampuan individu menyesuaikan dengan aturan yang digunakan untuk memelihara ketertiban sosial tersebut. Oleh karena itu, problem perubahan berada di dalam proses eksternalisasi ini. Jadi di dalam masyarakat yang lebih mengedepankan “ketertiban sosial” individu berusaha sekeras mungkin untuk menyesuaikan diri dengan peranan-peranan sosial yang sudah dilembagakan, sedangkan bagi masyarakat yang senang kepada “kekisruhan sosial” akan lebih banyak ketidaksukaannya untuk menyesuaikan dengan peranan-peranan sosial yang telah terlembagakan.
Hal ini yang termasusk masyarakat sebagai kenyataan obyektif adalah legitimasi. Fungsi legitimasi adalah untuk membuat obyektivasi yang sudah dilembagakan menjadi masuk akal secara obyektif. Misalnya itologi, selain memiliki fungsi legitimasi terhadap perilaku dan tindakan, juga menjadi masuk akal ketika mitologi tersebut difahami dan dilakukan. Untuk memelihara universum itu diperlukan organisasi sosial. Hal ini tidak lain karena sebagai produk historis dari kegiatan manusia, semua universum yang dibangun secara sosial itu akan mengalami perubahan karena tindakan manusia, sehingga diperlukan organisasi sosial untuk memeliharanya. Ketika pemeliharaan itu dibangun dengan kekuatan penuh, maka yang terjadi adalah status quo.
Masyarakat juga sebagai kenyataan subjektif atau sebagai realitas internal. Untuk menjadi realitas subjektif, diperlukan suatu sosialisasi yang berfungsi untuk memelihara dan mentransformasikan kenyataan subjektif tersebut. Sosialisasi selalu berlangsung di dalam konsep struktur sosial tertentu, tidak hanya isinya tetapi juga tingkat keberhasilannya. Jadi analisis terhadap sosial mikro atau sosial psikologis dari fenomen-fenomen internalisasi harus selalu dilatarbelakangi oleh suatu pemahaman sosial-makro tentang aspek-aspek strukturalnya.
Struktur kesadaran subjektif individu dalam sosiologi pengetahuan menempati posisi yang sama dalam memberikan penjelasan kenyataan sosial. Setiap individu menyerap bentuk tafsiran tentang kenyataan sosial secara terbatas, sebagai cermin dari dunia obyektif. Dalam prosen internalisasi, tiap individu berbeda-beda dalam dimensi penyerapan, ada yang lebih menyerap aspek ekstern, ada juga yang lebih menyerapa bagian intern. Tidak setiap individu dapat menjaga keseimbangan dalam penyerapan dimensi obyektif dan dimensi kenyataan sosial itu. Kenyataan yang diterima individu dari lembaga sosial, menurut Berger, membutuhkan cara penjelasan dan pembenaran atas kekuasaan yang sedang dipegang dan dipraktekkan.
Dengan demikian, hubungan antara individu dengan institusinya adalah sebuah dialektika (intersubjektif) yang diekspresikan dengan tiga momen : society is human product. Society is an objective reality. Human is sosial product. (Masyarakat adalah produk manusia. Masyarakat adalah suatu kenyataan sasaran. Manusia adalah produk sosial). Dialektika ini dimediasikan oleh pengetahuan yang disandarkan atas memori pengalaman di satu sisi dan oleh peranan-peranan yang merepresentasikan individu dalam tatanan institusional (Waters, 1994 : 35)
DAFTAR PUSTAKA
Basrowi dan Sukidin. 2002. Metode Penelitian Perspektif Mikro: Grounded theory, Fenomenologi, Etnometodologi, Etnografi, Dramaturgi, Interaksi Simbolik, Hermeneutik, Konstruksi Sosial, Analisis Wacana, dan Metodologi Refleksi, Surabaya: Insan Cendekia.
Berger Peter dan Luckman, Thomas. 1990 ”Tafsiran Sosial Atas Kenyataan Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan”. LP3ES, Jakarta.
Bertens, K, 1999. “Sejarah Filsafat Yunani”,Yogyakarta: Kanisius.
Poloma, Margareth. 2004. “Sosiologi Kontemporer”. PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Ritzer, George. 2002.”Sosiologi Ilmu Berparadigma Ganda”. PT Rajawali Press, Jakarta.
Sarwono, Solita. 1993. Sosiologi Kesehatan. Jakarta : UI Press
Soekanto, Soerjono. 1990. ”Sosiologi Suatu Pengantar”. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Teori-teori pengembangan sumber daya manusia
Teori-teori pengembangan sumber daya manusia
A. Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Pendidikan
Berbicara persoalan sumber daya manusia (human resources), sesungguhnya mencakup dua bidang kajian, yaitu fisik dan nonfisik; namun yang bersentuhan langsung dengan dunia pendidikan selalu dihubungkan dengan persoalan-persoalan yang berkenaan dengan yang nonfisik (aspek kecerdasan dan mental), seperti kemampuan berpikir, kemampuan berkreativitas, kemampuan menentukan keputusan, berbuat dan lain sebagainya. Hal ini mengingat aspek yang pertama biasanya diupayakan melalui gerakan program kesehatan, gizi, dan olahraga; kendatipun sesungguhnya upaya memotivasi, latihan dan pembinaan ke arah ini pun tidak dapat dilepaskan begitu saja dari upaya pendidikan. Kesadaran untuk meningkatkan kualitas fisik pun memiliki korelasi dengan kualitas pendidikan yang diperolehnya. Pendeknya, baik kualitas fisik maupun kualitas nonfisik manusia akan selalu memiliki hubungan yang signifikan dengan berbagai program pengembangan sumber daya manusia melalui upaya-upaya dunia pendidikan.
B. Teori Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Konteks Islam
Pendidikan sekolah yang diorientasikan pada nilai-nilai moral dan agama merupakan suatu kebutuhan nyata dan memiliki urgensi bagi pengembangan sumber daya manusia. Membangkitkan nilai-nilai moral sebagai motivasi dalam segala aktivitas pendidikan dalam hal ini adalah suatu kemestian. Hal ini tidak saja mengingat bahwa upaya pendidikan selalu mengarah padaperbaikan dan perubahan, tetapi lebih dari itu adalah bahwa pendidikan bersentuhan langsung dengan penumbuhkembangan moralitas yang merupakan suatu hal yang esensial bagi humanitas manusia. Konsekuensinya dalam pengembangan kemampuan memahami suatu ilmu pengetahuan semestinya pula diiringi dengan kemampuan pengapresiasian nilai-nilai moral yang ada dalam ilmu pengetahuan tersebut. Dalam konteks evaluasi pembelajaran pun selain dievaluasi kemampuan memahami suatu ilmu pengetahuan semestinya pula diiringi dengan mengapresiasikan nilai-nilai moral yang ada dalam ilmu tersebut dalam tindakan nyata. Tegasnya pengembangan sumber daya manusia tidak hanya untuk melahirkan orang pintar yang menguasai ilmu pengetahuan, tetapi mampu melahirkan orang yang cerdas dan brilian dalam mengapresiasikan nilai-nilai moral dari ilmu pengetahuan yang dimilikinya sehingga teraktualisasi ke dalam perilaku moral yang terpuji.
C. Teori Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Aliran-Aliran Filsafat
I. Idealisme
Plato sebagai bapak idealisme dalam bukunya The Allegory of the cave menyebutkan, bahwa manusia dalam menghayati makna dunia ini seperti duduk terpaku di dalam gua. Dantidak dapat menoleh ke kanan dan ke kiri, apa lagi ke belakang. Dia hanya bisa melihat ke depan dari belakang diri mereka terpancar cahaya yang akan menimbulkan berbagai bayangan di depannya. Apa yang ia lihat di depannya itulah yang dianggap sebagai dunia. Dunia yang dilihat hanyalah sebatas dunia nyata, pada hal semua itu hanyalah bayangan segala sesutau yang berada di belakang mereka. Sesuatu yang sesungguhnya nyata bukanlah bayangan yang dipancarkan oleh cahaya yang datang dari belakang itu, tetapi sesuatu yang berada di belakang itu sendiri.
II. Rasionalisme
Mengingat pengembangan rasionalitas manusia sangat tergantung kepada pendayagunaan maksimal unsur ruhaniah individu yang sanagt tergantung kepada proses psikologis yang lebih ditekankan oleh aliran rasionalisme ini dalam pengembangan sumber daya manusia tidak lain adalah dengan pendekatan mental disiplin, yaitu suatu pendekatan yang berupaya melatih pola dan sistematika berpikir seseorang atau sekelompok orang melalui tata logika yang tersistematisasi sedemikian rupa, sehingga ia mampu menghubungkan berbagai data atau fakta yang ada dalam keseluruhan realitas melalui uji tata pikir logis-sistematis menuju pengambilan suatu kesimpulan yang baik pula. Proses semacam ini memerlukan penguatan-penguatan (reinforcement) melalui pendekatan individualistis yang mengacu pada latihan intelektualitas. Untuk kepentingan ini diperlukan adanya upaya penyadaran akan watak hakiki manusia yang rasional.
III. Realisme
Menurut aliran realisme, sesuatu dikatakan benar jika memang riil dan secara substantif ada. Suatu teori dikatakan benar apabila ada kesesuaian dengan harapan, dapat diamati dan substantif. Aliran ini meyakini, bahwa adanya hubungan interaksi pikiran manusia dan alam semesta tidak akan memengaruhi sifat dasar dunia. Objek-objek yang diketahui adalah nyata dalam dirinya sendiri, buakn hasil persepsi dan bukan pula hasil olahan akal manusia. Dunia tetap ada sebelum pikiran menaydari dan ia tetap ada setelah pikiran tidak lagi menyadarinya. Jadi, menurut realisme, ada atau tidak adanya kesadaran akal pikiran manusia, alam tetap riil dan nyata dalam hukum-hukumnya.
IV. Eksistensialisme
Sartre sebagai eksistensialisme membagi cara berada manusia pada dua bidang fenomena kehidupan, yaitu etre-en-soi (being-in-itself) dan etre-pour-soi (being-for-itself). Yang pertama tampil dalam cara berada yang sama dengan benda-benda yang ada begitu saja tanpa ada kesadaran dan tanpa ada makna kehidupan, seperti pada tanaman dan binatang, sedangkan yang kedua adalah cara berada manusia yang khusus pada manusia. Pola eksistensi manusia seperti ditandai dengan adanya kesadaran yang dapat menjadikan dirinya hidup penuh dengan makna. Kesadaran tidak akan muncul dalam manusia tanpa adanya kebebasan. Oleh karenaitu aliran ini sangat menekankan kebebasan dalam pengembangan sumber daya manusia. Omong kosong kesadaran diri muncul tanpa penyediaan kebebasan pada setiap individu. Ide tentang kebebasan inilah yang menjadi kata kunci bagi eksistensialisme dalam keseluruhan ajaran filsafatnya tentang pengembangan sumber daya manusia.
V. Eksperimentalisme
Seperti halnya eksistensialisme, keompok eksperimentalisme juga memandang manusia sebagai mahluk yang dinamis, aktif, dan kreatif. Manusia-manusia eksperimentalis adalah manusia-manusia yang optimis bahwa ia dapat membentuk kualitas dirinya melalui pembiasaan berpikir kreatif berdasarkan pengalaman-pengalaman. Aliran ini selalu pula dihubungkan dengan aliran pragmatis, bahkan sering pula dikacaukan antara keduanya. Pragmatisme dikatakan sebagai instrumentalisme karena pemikirannya yang mengandaikan segala sesuatu dengan alat yang mengharuskan seseorang atau sekelompok orang untuk selalu berbuat. Kehidupan tidak memiliki makna finis. Ketika suatu tujuan telah tercapai dan suatu kebutuhan telah dipenuhi, maka hal ini mesti tidak sampai di situ saja, tetapi menjadi instrumen bagi pengujian dan penemuan selanjutnya. Proses kehidupan tanpa akhir, karenaperalihan tujuan pertama adalah untuk diteruskan pada tujuan ke dua, tujuan ke dua untuk tujuan ke tiga dan seterusnya tanpa tanda berhenti. Begitu pula eksperimentalisme dikatakan sebagai pragmatisme karena pandangannya yang mengatakan bahwa realitas yang nyata adalah perubahan dan hanya dapat diketahui melalui pengalaman praktis. Jadi keduanya sama-sama menekankan bahwa yang riil adalah segala sesuatu yang dapat dialami dan dialami oleh panca indra. Realitas adalah interaksi manusia dengan lingkungannya. Sesuatu dikatakan benar apabila dapat dibuktikan secara nyata dalam kehidupan praktis manusia.
VI. Dialog Antar-Aliran
Pada prinsipnya teori-teori pengembangan sumber daya manusia yang ditawarkan oleh berbagai aliran sangat tergantung pada cara pandang aliran-aliran tersebut tentang manusia dan realita. Idealisme meyakini bahwa manusia lahir telah membawa idea bawaan (innate idea), sehingga mengetahui tentang sesuatu berarti juga memanggil kembali apa-apa yang terdapat di dalam innate idea. Kebenaran yang sesungguhnya bersifat metafisik bukan yang fisik. Yang memandang realitas sebagai refleksi atas apa yang ada dalam ruang idea manusia. Pengetahuan yang bersumber pada indra bersifat relatif, berubah-ubah, sehingga tidak dapat dikatakan sebagai sesuatu yang riil dan benar. Untuk mengetahui pengetahuan yang sejati tidak mungkin melalui indra, karena sifatnya yang umum, objektif dan tidak bersifat kebendaan. Kebenarannya semata-mata bersumber dari akal pikiran. Dalam konteks pengembangan sumber daya manusia, menjadikan aliran ini cenderung pada teori mental dicipline.
Strategi Pembelajaran Pendidikan Sosiologi
1. Kompetensidarikomponenpengelolaanpembelajarankecuali ...
a. Penyusunanrencanapembelajaran
b. Pelaksanaaninteraksibelajarmengajar
c. Penilaianprestasibelajarpesertadidik
d. Pelaksanaantindaklanjut, hasilpenilaianprestasibelajarpesertadidik
e. Penguasaanbahankajianakademik
2. Istilah metode berasal dari bahasa Yunani “metodos” yang berasal dari dua suku kata “ “metha” dan “hodos”, dimana “hodos” berarti...
a. Melalui
b. Melewati
c. Jalan
d. Tujuan
e. Pengajaran
3. Gagne dan Winkel (1996:369) menyatakan bahwa fase dalam kegiatan pembelajaran diantaranya adalah sebagai berikut kecuali ...
a. Fasemotivasi
b. Fasemenaruhperhatian
c. Fasepengelolaan
d. Fasemenggali
e. Faseumpanbalik
4. Yang bukan merupakan model rumpun mengajar adalah ...
a. Model sosial
b. Model personal
c. Model sistem perilaku
d. Model kepribadian
e. Pemrosesan informasi
5. Menurut Kenneth dalam Rosyada (2004:141), beberapa indikator kecakapan yang dapat dijadikan ukuran yaitu, kecuali ...
a. Penerimaan
b. Tanggapan
c. Penilaian
d. Pengorganisasian nilai-nilai
e. Karakteristik kehidupan
6. Yang termasuk dalam aliran kognitifisme atau pengertian adalah..
a. Hasil dari belajar menunjukkan perilakunya
b. Pendidik sebagai fasilitator bagi peserta didik
c. Proses belajar lebih penting daripada hasil belajar
d. Lebih penting input (stimulus) daripada output (respon)
e. Pendidik mampu menggali potensi peserta didik
7. Menurut pendapat Kennetch D.Moore (2001:126), komponen rencana pembelajaran diantarnya adalah sebagai berikut, kecuali...
a. Topikbahasan
b. Tujuanpembelajaran
c. MateriPembelajaran
d. Evaluasihasilbelajar
e. Sumberbahan
8. Tidak semua siswa dapat terlibat langsung dan kurang efektif adalah kelemahan dari metode pembelajaran...
a. Debat
b. Seminar
c. Ceramah
d. Brainstorming
e. Studi kasus
9. Berikut empat tujuan penilaian dikelas oleh guru, kecuali ...
a. Analisis
b. Penelusuran
c. Pengecekan
d. Pencarian
e. Penyimpulan
10. Faktor guru yang mempengaruhi pembelajaran efektif , kecuali...
a. Strategi pembelajaran
b. Media pembelajaran
c. Evaluasi pembelajaran
d. Iklim kelas
e. Perilaku guru
11. Berikut ini yang termasuk soal non objektif adalah ...
a. Uraian
b. Menjodohkan
c. Pilihanganda
d. Pertanyaanlisan
e. JawabanSingkat/Isiansingkat.
12. Yang bukan merupakan komponen dari Rencana Pelaksanaan Pembelajaran...
a. Tujuan pembelajaran
b. Metode pembelajaran
c. Penilaian hasil belajar
d. Manfaat pembelajaran
e. Sumber belajar
13. Suatu perencanaan yang mendorong penggunaan teknik-teknik yang dapat mengembangkan tingkah laku kognitif dan teori-teori konstruktif terhadap solusi dan problem-problem pengajaran merupakan Perencanaan pengajaran sebagai ...
a. sistem
b. proses
c. teknologi
d. sains (science)
e. sebuahdisiplin
14. Metode tanya jawab dapat diklasifikasikan sebagai metode...
a. Group Learning
b. Eksposition
c. Modern
d. Kontemporer
e. Konvensional
15. Ruang lingkup standar kompetensi guru yang pertama adalah komponen kompetensi pengelolaan pembelajaran yang mencakup, kecuali ...
a. Penyusunanperencanaanpembelajaran
b. Pelaksanaaninteraksibelajarmengajar
c. Penilaianprestasibelajarpesertadidik
d. Pelaksanaantindaklanjuthasilpenilaian
e. Pemahamanwawasankependidikan
Langganan:
Postingan (Atom)