Selasa, 27 Desember 2016
Agama dan Filsafat
Agama dan filsafat
A. Prawacana
Walaupun antara kebenaran yang disajikan oleh agama mungkin serupa dengan kebenaran yang dicapai oleh filsafat, tetapi tetap agama tidak bisa disamakan dengan filsafat. Perbedaan ini disebabkan cara pandang yang berbeda. Di satu pihak agama beralatkan kepercayaan, di pihak lain filsafat berdasarkan penelitian yang menggunakan potensi manusiawi, dan meyakininya sebagai satu-satunya alat ukur kebenaran, yaitu akal manusia.
B. Hubungan Agama dan Filsafat
Ketika memperbincangkan hubungan antara agama dan filsafat dalam menggapai kebenaran, paling tidak ada sejumlah pertanyaan yang patut kita renungkan : apakah agama dan filsafat sama-sama mencari kebenaran yang sama atau kebenaran yang berbeda? Apakah agama dna filsafat dalam menggapai kebenaran menggunakan metode yang sama atau berbeda? Jika keduanya telah meraih kebenaran, bagaimana keduanya memformulasikan kebenaran yang telah digapainya? Apakah agama dan filsafat mempunyai metode yang sama atau berbeda dalam memformulasikan kebenaran yang telah ditangkapnya? Akhirnya, apakah kebenaran yang dikonstruksikan keduanya berbentuk sama atau berbeda? Ada beberapa paradigma dalam menjawab problem-problem tersebut.
1. Paradigma Parsialistik
Paradigma pertama mengatakan bahwa baik agama maupun filsafat mempunyai metode yang berbeda satu sama lain dalam menggapai kebenaran sehingga dinamakan juga paradigma parsialistik. Dalam kasus agama, pertama-tama kebenaran (truth) berpijak pada wahyu atau hadis, lalu diterima dalam hati melalui keyakinan atau keimanan. Selanjutnya baru diperkuat dengan analisis rasional dan akhirnya pasti diterima kembali oleh hati sebagai kebenaran final atau kebenaran yang mutlak. Dalam kasus ini, penjelasan filosofis tujuan intrinsiknya bukanlah mencari kebenaran, sebab kebenaran tersebut sudah dijamin secara mutlak dan final oleh wahyu atau hadis, melainkan hanya untuk mmeperkaya kebenaran yang telah disuarakan oleh wahyu dengan dalil-dalil logis rasional.
2. Paradigma Integralistik
Paradigma kedua justru berangkat dari ketidaksepakatan terhadap paradigma pertama di atas. Pembedaan yang di buat dalam paradigma pertama sebenarnya terlalu menyederhanakan persoalan, sebab dalam agama sudah mencakup dimensi empirikal, rasional, dan spiritual. Dalam bingkai pemaknaan yang bersifat holistik inilah, paradigma kedua disebut juga paradigma integratif. Dalam konteks Islam secara garis besar setidaknya terdapat tiga pendekatan dalam menggapai kebenaran, yakni pendekatan empirikal, pendekatan rasional yang secara spesifik berada dalam wilayah filsafat, dan pendekatan spiritual.
3. Paradigma Subordinatif
Paradigma ketigajustru ingin mengingatkan dengan tegas bahwa pedekatan agama lebih holistik dalam mencandra realitas, khususnya realitas spiritual dan pengalaman pengabdian manusia kepada Sang Pencipta ketimbang pendekatan filsafat. Sebab agama, dengan unsur keyakinan, unsur faith, bukan hanya memahami tetapi juga mengalami sedangkan filsafat hanya berupaya memahami bukan mengalami. Jika pendekatan filsafat laksana melihat realitas kebenaran dari dekat sekaligus menyentuh dan merasakannya.
C. Konklusi : Paradigma Integralistik
Dalam perspektif tafsir, ada sebuah kaidah kebahasaan yang menyatakan bahwa apabila suatu kata kerja yang membutuhkan objek tetapi tidak disebutkan objeknya, maka objek yang dimaksud bersifat umum, mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh kata tersebut. Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa karena kata ‘iqra digunakan dalam arti membaca, menelaah, menyampaikan dan sebagainya, dan karenaobjeknya bersifat umum, maka objek kata tersebut mencakup segala yang dapat terjangkau, baik ia merupakan bacaan suci yang bersumber dari Tuhan maupun bukan, baik ia menyangkut ayat-ayat yang tertulis maupun ynag tidak tertulis. Alhasil perintah ‘iqra mencakup telaah terhadap alam raya, masyarakat dan diri sendiri, serta bacaan tertulis, baik suci maupun tidak.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar