Selasa, 27 Desember 2016
Ekonomi Dualistik (Dual Economy)
Ekonomi Dualistik (Dual Economy)
Ilmu ekonomi dualistik(dual economy) merupakan istilah yang memiliki makna akademis teknis maupun makna yang lebih umum. Dikatakan demikian karena dalam aspek teknisnya, istilah ini merujuk pada adanya dua sektor berlainan dalam perekonomian yang sama, masing-masing memiliki pijakan budaya, aturan main, teknologi, pola-pola permintaan, dan praktik pelaksanaannya sendiri. Sedangkan disisi lain yang mencerminkan hal lebih umum adalah adanya perbedan sektor subsisten tradisional yang berpendapatan rendah, khususnya di pedesaan dengan sektor kapitalis perkotaan yang tumbuh pesat dan lebih modern (Singer ,2000:248).
Konsep ekonomi ganda ( dual economy) untuk pertama kalinya dimunculkan di Indonesia oleh Boeke dalam empat tulisan yang serupa, yaitu Oriental Economics (1947), Economis and Aconomics Policyof Dual Societies as Exemplified by Indonesia (1953),Three Forms of Disintegration in Dual Socilities (1954), dan Western Influenceon the Growth of Eastern Population (1954), sebagai suatu istilah untuk menyebut hadirnya sektor modern dan tradisional secara bersamaan dalam perekonomian kolonial. Istilah ganda atau dualistik, bertolak dalam waktu yang sama terdapat dua atau lebih sistem sosial. Masing-masing sistem sosia ini jelas berbeda satu sama lain dan masing-masing menguasai bagian tertentu dari masyarakat bersangkutan, disitulah kita berhadapan dengan masyarakat ganda (dual) atau jamak (plural society) (Boeke,1953:1)
Selanjutnya, Boeke mengemukakan bahwa teori ekonomi Barat berlandaskan pada kecenderungan masyarakat Barat, yaitu kebutuhan ekonominya tidak terbatas, sistem yang melandasi kehidupan ekonominya adalah ekonomi uang, dan landasan kegiatan ekonomi perorangan adalah organisasi dalam bentuk perusahaan. Ketiga asas tersebut saling berkaitan.
Sedangkan dilain pihak, berdiri masyarakat desa yang bercorak prakapitalis dengan ikatan sosialnya yang asli organik; sistem suku tradisional; kebutuhan yang terbatas dan sederhana; asas pertanian produksi untuk memenuhi kebutuhan sendiri; tidak menggunakan jual beli sebagai jalan untuk memenuhi kebutuhan; tidak ada keinginan untuk mencari laba, bersaing, berdagang, menghimpun modal, dan mengembangkan industri memakai mesin; kegiatannya tidak teratur; sikap memandang remeh dorongan ekonomi; mencampuradukkan ekonomi dengan dorongan agama, etika, sosial, dan tradisional lainnya. Singkatnya, dengan ciri-ciri prakapitalis ini berjuta-juta dunia kecil ini benar-benar dapat dikatakan dunia tersendiri (Boeke, 1947:3).
Teori ekonomi dualistik ternyata menimbulkan perdebatan sengit pro dan kontra, baik di kalangan para sarjana ekonomi Barat maupun domestik (Higgins, 1956;(Geertz, 1973:Sadli, 1983). Bebrapa ahli mengatakan bahwa kita tidak dapat mengatakan untuk ekonomi primitif dan tradisional ada teori ekonomi tersendiri. Kalaupun mungkin ada, tetapi jika teori ekonomi itu harus menerangkan soal apa, bagaimana, dan untuk siapa dalam masyarakat bersangkutan maka Boeke tidak berhasil menciptakan teori semacam itu. Pada dasarnya, Boeke menerangkan perilaku penawaran dan permintaan, yakni hubungan terbalik antara tingkat upah dan penawaran tenaga kerja dengan perilaku permintaan yang tidak peka pada orang dengan kebutuhan terbatas(Sadli, 1983:49). Apa yang dikatakan Higgins pun mungkin benar bahwa hubungan ekonomi dalam masyarakat ganda sebenarnya dapat diterangkan dengan ilmu ekonomi yang ada. Karena itu, tingkah lakupenawaran faktor-faktor produksi dan permintaan konsumen dapat diterangkan atas dasar ciri-ciri sosial tersebut, tetapi pola tingkah laku penawaran dan permintaan biasanya sampai pada keseimbangan. Selain itu, sistem ekonomi dualisme sebenarnya bersifat sementara dan universal karena tergantung pada kemampuan untuk memadukan perekonomian secara keseluruhan sebagai akibat perbedaan dalam ketersediaan faktor-faktor produksi (endowment factor) atau perbedaan dalam fungsi produksi. Dalam proses pembangunan akan terjadi proses penularan dan penyebaran dari sektor modern ke sektor tradisional sehingga akhirnya dualisme akan hilang dengan sendirinya (Mubyarto,1983:254).
Ekonomi Informal( Informal Economy)
Ilmu ekonomi informal(informal economy) merupakan suatu istilah yang sering dihubungkan dengan perekonomian “bawah tanah”, “perekonomian gelap” atau “perekonomian yang terabaikan”, yang semuanya mengacu pada jenis-jenis transaksi ekonomi yang tidak tercermin pada statistik resmi (Heertje,2000:492). Sumber-sumber pendapatan yang tidak pernah dilaporkan secara resmi itu mencakup pula pendapatan dari kegiatan-kegiatan yang tidak sempat terliput oleh dinas pajak secara formal. Contohnya, pedagang kaki lima:industri rumah tangga;seperti pembuat sumbu kompor, pembuat lampu minyak, pembantu rumah tangga, pedagang asongan, pengumpul barang-barang bekas , pengumpul botol kosong dan kardus-kardus;kegiatan penyediaan jasa pengangkut barang di terminal bus dan stasiun kereta api;penyemir sepatu di pusat-pusat keramaian;penyewa payung musim hujan;dan sebagainya.
Pergerakan atau pertumbuhan ekonomi informal ini cederung bersifat responsif ketimbang kreatif. Sebab bentuk ekonomi dan sektor ini sekadar memberi reaksi terhadap pertumbuhan pendapatan di sektor nonpertanian dan dalam kegiatan bisnis-bisnis di perkotaan. Selain itu, sektor ini pun terbuka untuk siapa saja karena tidak sulit memasuki kelompok ini. Sektor ini telah mampu menghasilkan berbagai barang dan jasa dengan harga yang murah, mengingat mereka hanya memanfaatkan keahlian sederhana, seperti dalam pengolahan barang-barang bekas;kayu, kertas, plastik, dan logam bekas. Mereka mengekonomiskan modal yang sangat langka dengan memakai berbagai jenis peralatan murah dan sederhana, serta operasinya tidak menggunakan bangunan atau fasilitas khusus(Elkan, 2000:494).
Keberadaan sektor ini dibanyak negara sering dipandang sebagai entitas atau lawan modernisasi karena metode produksinya dianggap tidak layak. Bahkan, kedekatan sektor ini dengan kriminalitas sering dituding oleh pemerintah dan masyarakat sebagai pencurian;penyalahgunaan dan perdagangan obat terlarang;pembuatan keonaran, ketertiban, dan kesemrawutan jalan raya sering membuatnya dicurigai atau bahkan dimusuhi. Konsekuensinya, di banyak negara sektor ini diawasi dan dibatasi secara ketat oleh berbagai peraturan. Sika pemerintah yang demikian, lambat laun berubah, antara lain berkat pengaruh laporan-laporan International Labour Office. Contohnya, laporan yang terjadi di Kenya merupakan dokumen pertama yang menyajikan tinjauan lengkap tentang operasi sistematis sistem sektor informal, yang kemudian berhasil mendorong pemerintah di banyak negara untuk mengakui arti penting kegunaan sektor tersebut. Jika ditelusuri, sektor ini mampu beroperasi tanpa disubsidi atau proteksi apapun dalam menyaingi produk-produk impor, menciptakan lapangan kerja, serta untuk bertindak sebagai unit-unit bisnis yang tangguh. Berdasakan serangkain studi empiris yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa pendapatan atau produksi tersembunyi dari perekonomian informal di negara-negara maju mencapai 20-30% dari total pendapatan nasional riil. Sedangkan di negara-negara berkembang, sektor informal memainkan peran yang lebih besar lagi, terutama di daerah-daerah perkotaan sehinnga sektor tersebut di pandang sebagai salah satu elemen dinamis dan berharga bagi keseluruhan perkonomian mereka (Heertje,2000:493; Elakn,2000:494). Menurut hasil penelitian seorang peneliti yang berasal dari India mengemukakan
... tumbuhnya sektor formal di Afrika, 59% terdapat dikota Freetown, 59% di Kumasi, dan 66% di Lagos. Hasil studi lainnya menunjukan bahwa di Bamako (Mali) sebesar 55%, di Nouachottdan Kagali 60%. Begitupun di Asia dan Amerika Latin presentasinya sebagai berikut:37% di Kolombo, 62% di Jakarta;33% di Manila;32% di Kordoba;dan 55% di Campinas(Sethuraman,1996:94).
Adanya pengakuan atas peran ekonomi dan sektor informal ini mendorong pemerintah mapun lembaga-lembaga donor internasional untuk menyediakan bantuan, baik itu dalam bentuk program pelatihan, suntikan modal, maupun fasilitas produksi agar perusahaan-perusahaan kecil sektor informal tersebut dapat berkembang lebih pesat (Elkan 2000:495).
Ekonomi campuran
Konsep ekonomi campuran (mixed economy) merujuk kepada bentuk pengakuan keharusn sistem ekonomi pasar bercampur dengan intervensi negara. Sistem ekonomi pasar diterapkan untuk tujuan efisiensi dan pertumbuhan ekonomi. Sementara kebijakan intervensi negara secara luas demi keadilan sosial. Sistem ekonomi campuran, akhir-akhir ini dinamakan sistem ekonomi pasar sosial atau soziaal marktwirtschaaft (Seda, 2006). Dengan demikian, dalam ekonomi campuran terdapat upaya pengendalain sistem harga untuk pengaturan ekonominya, serta menggunakan berbagai intervensi pemerintah untuk menanggulangi ketidakstabilan makroekonomi dan kegagalan pasar. Oleh karena itu, dalam sistem perekonomian tersebut juga merupakan campuran dari pilihan dasar dan pilihan kolektif atau publik (Samuelson dan Nordhaus, 1990:527).
Dalam suatu mekanisme pasar, tidak seorang pun atau satu organisasi mana pun yang benar-benar secara sadar menaruh perhatian terhadap tiga rangkain masalah(apa, bagaimana, dan bagi siapa), melainkan pembeli dan penjual masuk pasar dengan maksud menetapkan harga dan jumlah. Disini terlihat tujuan untuk melakukan pengendalian ekonomi, baik secara terlihat maupun tidak terlihat. Untuk melihat betapa hebatnya fakta arus ini, kita dapat melihat beberapa kota metropolitan. Tanpa adanya arus barang yang terus menerus, baik masuk maupun ke luar Jakarta, dapat dipastikan akan timbul bencana kelapan yang hebat. Apalagi kedudukan Jakarta yang didatangi sejumlah orang dari kota-kota sekitarnya, provinsi dan pulau-pulau lain, bahkan dari mancanegara. Begitu banyak jenis maupun jumlah makanan yang dibutuhkan, khusunya oleh penduduk Jakarta. Barang-barang telah menempuh waktu mingguan, bahkan bulanan dengan tujuan akhir Jakarta.
Sesuatu yang dapat kita amati adalah berapa besar tingkat pengendalian pemerintah atas berbagai kegiatan ekonomi, seperti peraturan mengenai tarif atau bea masuk dalam perdagangan internasional, undang-undang mengenai sumber energi, peraturan tetang upah minimum perburuhan, lingkungan hidup, perpajakan nasional maupun daerah, perlindungan anak-anak dan perempuan, dan sebagainya. Sedangkan yang tidak terlihat oleh kita adalah seberapa jauh kehidupan ekonomi berkembang tanpa campur tangan pemerintah. Ribuan jenis komoditi ternyata dihasilkan oleh jutaan manusia tanpa adanya pengarahan terpusat atau rencana induk. Jadi, semua kegiatan ekonomi ini berlangsung tanpa adanya paksaan oleh siapapun.
Namun demikian, kita jangan lupa bahwa “tangan gaib” (invisible hand)pun terkadang membawa perekonomian ke jalur yang salah, mengalami kegagalan, distribusi pendapatan yang kurang adil, dan sebagainya. Disitulah pemerintah berperan dalam mengatur perekonomian. Terdapat tiga peran yang dimainkan pemerintah, yakni efisiensi, keadilan, dan stabilitas. Sebagai tindakan pemerintah dalam efisiensi adalah berupa segala upaya untuk memperbaki kegagalan pasar, seperti monopoli dan oligopoli yang tidak menyehatkan persaingan pasar. Untuk kebijakan keadilan adalah pemeratan kesempatan pendapatan yang dirasakan oleh seluruh kepentingan atau lapisan masyarakat termasuk golongan miskin. Sedangkan kebijakan stabilitasi adalah berusaha mengikis fluktasi dan siklus ekonomi dengan menekan angka pengangguran, inflasi, serta mempercepat laju pertumbuhan ekonomi (Samuelson dan Nordhaus,1990:61).
Ekonomi Pertanian
Konsep tentang ekonomi pertanian (agrikultural economics) untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Mashab fisiorat, khususnya oleh tokoh Francois Qusnay (1654-1774),seorang dokter ilmu bedah Prancis yang pernah menjadi dokter pribadi Raja Louis XV,juga dokter kepercayaan selir raja, Madame de Pompadour. Disamping profesinya sebagai dokter, ia seorang ahli ekonomi yang menulis artikel tentang ilmu ekonomi dalam Grande Encyclopedie dan dalam buku lainnya Tableau Economique yang membuat model aliran ekonomi antara berbagai sektor di masa kebangkitan industrialisasi Prancis (Saith,2000:17). Asumsinya adalah bahwa bidang pertanian dinyatakan sebagai satu-satunya sektor yang produktif sebab hanya bidang pertanian itulah reproduksi dilipat-gandakan, seperti halnya padi-padian. Sedangkan sektor manufaktur dipandang sekedar mengubah produksi pertanian ke bentuk barang jadi atau rakitan. Selain itu, mereka berpendapat bahwa proses manufaktur tersebut tidak menghasilkan nilai tambah ekonomis. Tentu saja pendapat diatas akan bertolak belakang mengemukakan pendapatnya bahwa naiknya permintaan makanan akan memperluas daerah penanaman di lahan-lahan yang kurang subur serta menaikan harga padi-padian maupun sewa lahan atau tanah. Konseptualisasi proses ekonomi semacam ini yang menjadi landasan teoritis dari ekonomi klasik yang menganut bias anti tuan tanah (Saith,2000:17).
Selain kaum fisiokrat, kelompok ekonomi marxis dan neoklasik adalah kelompok-kelompok yang menganut sistem ekonomi pertanian. Kaum marxis memusatkan perhatian analisis tentang peran bidang pertanian dalam masa transisi antara model produksi foedal kezaman kapitalis, yaitu sebuah proses yang ditandai dengan akumilasi modal dan tranfer surplus yang primitif dari sektor-sektor prakapitalis yang kebanyakan bersifat agraris menuju sektor kapitalis yang mayoritas adalah industri. Dalam hal ini ekonomi pertanian dianalis sebagai makriekonomi, selain itu perlunya pembentukan dan ekstraksi dari surplus pertanian. Sedangkan untuk ekonomi noeklasik menganggap ekonomi pertanian memiliki hubungan amat dekat dengan metode serta skema teori neoklasik. Ia lebih memusatkan diri pada mikroekonomi,dimana perhatiannya lebih memfokuskan pada efisiensi statis dari penggunaan sumber daya dalam lingkungan ekonomi yang ditandai dengan kompetisi sempurna disemua pasar input dan output-nya. Oleh karena itu, dalam hal itu tidak ada analis mengenai struktur hubungan produksi dengan organisasi agraria atau transformasinya dalam menghadapi rangsangan pertumbuhan ekonomi.
Ilmu Ekonomi Tingkah Laku
Sebenarnya agak sulit untuk mengkhususkan pada kajian ilmu eknomi tingka laku (behavioraleconomics) sebab ilmu ekonomi sendiri pada hakikatnya adalah ilmu tentang tingkah laku manusia. Oleh karena itu, memang agak pleonasme untuk menggunakan istilah “ilmu ekonomi tingkah laku”. Namun demikian, terdapat perbedaan yang berarti antara ilmu ekonomi tingkah laku, khususnya dengan ilmu ekonomi neoklasik, mengingat yang terakhir tersebut umumnya menjauhi studi empiris dan cenderung lebih memilih pendekatan deduksi secara logis dari aksioma-aksioma yang rasional (Simon,2000:64).
Mengingat dalam ilmu ekonomi tingkah laku bersifat empiris maka wajar dalam pengembangan metode yang digunakannya pun lebih banyak dengan wawancara. Hal itu dimaksudkan untuk memperoleh informasi secara langsung, sebagai contoh pada pengkajian perilaku konsumen. Dalam hal ini, riset lapangan bermaksud untuk mengumpulkan data tentang perkiraan yang telah dibuat sebelumnya mengenai jurang kesenjangan antara tingkah laku yang sebenernya dengan rasionalitas yang utuh. Sedangkan dalam ilmu ekonomi neoklasik yang menggunakan pendekatan deduksi, metode yang dikembangkan adalah metode-metode ekonometri. Dalam metode tersebut banyak menggunakan tumpukan data-data. Seringkali data-data itu berasal dari proses pengumpulan data yang tujuannya bukan semata-mata untuk analisis ekonomi (Simon, 2000:66).
Ilmu Ekonomi Pembangunan
Kajian ilmu ekonomi pembangunan mengacu pada masalah perkembangan ekonomi, khususnya di negara-negara berkembang dan terbelakang yang embrionya mulai awal tahun 1940-an, dan lahir setelah Perang Dunia II (Jhingan, 1994:3). Dengan demikian, ilmu ekonomi pembangunan dapat dikatakan sebagai subdisiplin mandiri yang belakangan ini membanjiri dan menggambarkan adanya suasana yang penuh tanda tanya, meragukan pengaruh ekonomi konvensional yang semakin besar sekaligus sebagai kritik para ahli ekonomi politik radikal yang semakin jauh menerobos, namun mengabaikan negara miskin (Gemmel, 1994:3). Sebab tidak dapat dipungkiri, kendati studi perkembangan ekonomi telah menarik perhatian para ahli ekonomi sejak kaum Merkantilis. Ekonomi Klasik, maupun Keynes, namun mereka hanya tertarik pada masalah yang pada hakikatnya bersifat statis dan umumya lebih dikaitkan dengan kerangka acuan lembaga budaya atau sosial negara-negara Barat (Williamson, 196:112).
Tepatnya, perhatian mereka dalam ekonomi pembangunan lebih didorong oleh gelombang kebangkitan poitik yang melanda Asia-Afrika sesudah Perang Dunia II. Keinginan negara-negara tersebut untuk melaksanankan pembangunan ekonomi yang cepat disertai dengan kesadaran bangsa-bangsa di negara-negara maju bahwa kemiskinan di suatu tempat merupakan bahaya bagi kemakmran dimana pun, telah membangkitkan minat pada subjek ini. Hal itu dapat kita ketahui dari Meier dan Baldwin (1976:12) yang mengatakan, “Pengkajian mengenai kemiskinan bangsa-bangsa terasa lebih mendesak daripada pengkajian kemakmuran”.
Namun, perlu disadari bahwa minat bangsa-bangsa maju tersebut dalam menghapuskan kemiskinan negara-negara berkembang dan terbelakang, tidaklah lahir semata-mata dari kemanusiaan. Alasan utamanya adalah waktu itu sedang memuncaknya Perang Dingin Blok Barat dan Timur yang menyeret negara-negara berkembang dan terbelakang, dimana masing-masing negara adidaya berupaya mendapat dukungan dengan memberikan imbalan beupa bantuan yang melimpah (Jhinghan, 1994:4). Ketertarikan terhadap negara-negara berkembang dan terbelakang tersebut dinyatakan L.W. Shanon dalam UnderdevelopedAreas, secara potensial mereka banyak menyimpan kekayaan sumber daya alam yang dibutuhkan dunia dan tidak sedikit yang memilih lokasi strategis ditinjau dari sudut militer (Shanon, 1967:1).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar