Selasa, 27 Desember 2016
Konflik
Teori konflikRalf Dahrendorf muncul sebagai reaksi atas teori fungsionalisme struktural yang kurang memperhatikan fenomena konflik dalam masyarakat. Teori Konflik adalah suatu perspektif yang memandang masyarakat sebagai sistem sosial yang terdiri atas kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda dimana ada suatu usaha untuk menaklukkan komponen yang lain guna memenuhi kepentingan lainnya atau memproleh kepentingan sebesar-besarnya. Ralf Dahrendorf lahir pada tanggal 01 Mei 1929 di Hamburg, Jerman. Ayahnya Gustav Dahrendorf dan ibunya bernama Lina. Tahun 1947-1952, ia belajar filsafat, psikologi dan sosiologi di Universitas Hamburg, dan tahun 1952 meraih gelar doktor Filsafat. Tahun 1953-1954, Ralf melakukan penelitian di London School of Economic, lalu tahun 1956, ia memperoleh gelar Phd di Universitas London. Tahun 1957-1960 menjadi Professor ilmu sosiologi di Hamburg, tahun 1960-1964 menjadi Professor ilmu sosiologi di Tubingen, selanjutnya tahun 1966-1969 menjadi Professor ilmu sosiologi di Konstanz. Menjadi ketua Deutsche Gesellschaft fur Soziologie (1967-1970), dan menjadi anggota Parlemen Jerman di Partai Demokrasi. Tahun 1970, ia menjadi anggota komisi di European Commission di Brussels, dan tahun 1974-1984, menjadi direktur London School of Economics di London.
Kemudian tahun 1984-1986, Ralf menjadi Professor ilmu-ilmu sosial di Universitas Konstanz. Dan tahun 1986-1997 menetap di Inggris dan menjadi warga negara Inggris (1988). Pada tahun 1993, Dahrendorf dianugerahi penghargaan gelar sebagai Baron Dahrendorf oleh Ratu Elizabeth II di Wesminister, London, dan di tahun 2007 ia menerima penghargaan dari Princes of Asturias Award untuk ilmu-ilmu sosial. Class and Class Conflict in Industrial Karya-karya Ralf Dahrendorf The Modern Social Conflict Society (Stanford University Press, 1959) University of California Press: Barkeley dan Los Angeles, 1988) Reflection on The Revolution in Europe (Random House, New York, 1990).
Teori Konflik Ralf Dahrendorf
Teori konflik sebagian berkembang sebagai reaksi terhadap fungsionalisme struktural dan akibat berbagai kritik, yang berasal dari sumber lain seperti teori Marxian dan pemikiran konflik sosial dari Simmel. Salah satu kontribusi utama teori konflik adalah meletakan landasan untuk teori-teori yang lebih memanfaatkan pemikiran Marx. Masalah mendasar dalam teori konflik adalah teori itu tidak pernah berhasil memisahkan dirinya dari akar struktural-fungsionalnya. Teori konflik Ralf Dahrendorf menarik perhatian para ahli sosiologi Amerika Serikat sejak diterbitkannya buku “Class and Class Conflict in Industrial Society”, pada tahun 1959.
Asumsi Ralf tentang masyarakat ialah bahwa setiap masyarakat setiap saat tunduk pada proses perubahan, dan pertikaian serta konflik ada dalam sistem sosial juga berbagai elemen kemasyarakatan memberikan kontribusi bagi disintegrasi dan perubahan. Suatu bentuk keteraturan dalam masyarakat berasal dari pemaksaan terhadap anggotanya oleh mereka yang memiliki kekuasaan, sehingga ia menekankan tentang peran kekuasaan dalam mempertahankan ketertiban dalam masyarakat.
Bagi Dahrendorf, masyarakat memiliki dua wajah, yakni konflik dan konsesus yang dikenal dengan teori konflik dialektika. Dengan demikian diusulkan agar teori sosiologi dibagi menjadi dua bagian yakni teori konflik dan teori konsesus. Teori konflik harus menguji konflik kepentingan dan penggunaan kekerasan yang mengikat masyarakat sedangkan teori konsesus harus menguji nilai integrasi dalam masyarakat. Bagi Ralf, masyarakat tidak akan ada tanpa konsesus dan konflik. Masyarakat disatukan oleh ketidakbebasan yang dipaksakan. Dengan demikian, posisi tertentu di dalam masyarakat mendelegasikan kekuasaan dan otoritas terhadap posisi yang lain.
Fakta kehidupan sosial ini yang mengarahkan Dahrendorf kepada tesis sentralnya bahwa perbedaan distribusi ‘otoritas” selalu menjadi faktor yang menentukan konflik sosial sistematis. Hubungan Otoritas dan Konflik Sosial Ralf Dahrendorf berpendapat bahwa posisi yang ada dalam masyarakat memiliki otoritas atau kekuasaan dengan intensitas yang berbeda-beda. Otoritas tidak terletak dalam diri individu, tetapi dalam posisi, sehingga tidak bersifat statis. Jadi, seseorang bisa saja berkuasa atau memiliki otoritas dalam lingkungan tertentu dan tidak mempunyai kuasa atau otoritas tertentu pada lingkungan lainnya. Sehingga seseorang yang berada dalam posisi subordinat dalam kelompok tertentu, mungkin saja menempati posisi superordinat pada kelompok yang lain.
Kekuasaan atau otoritas mengandung dua unsur yaitu penguasa (orang yang berkuasa) dan orang yang dikuasai atau dengan kata lain atasan dan bawahan. Kelompok dibedakan atas tiga tipe antara lain : 1. Kelompok Semu (quasi group) 2. Kelompok Kepentingan (manifes) 3. Kelompok Konflik Kelompok semu adalah sejumlah pemegang posisi dengan kepentingan yang sama tetapi belum menyadari keberadaannya, dan kelompok ini juga termasuk dalam tipe kelompok kedua, yakni kelompok kepentingan dan karena kepentingan inilah melahirkan kelompok ketiga yakni kelompok konflik sosial. Sehingga dalam kelompok akan terdapat dalam dua perkumpulan yakni kelompok yang berkuasa (atasan) dan kelompok yang dibawahi (bawahan). Kedua kelompok ini mempunyai kepentingan berbeda. Bahkan, menurut Ralf, mereka dipersatukan oleh kepentingan yang sama.
Mereka yang berada pada kelompok atas (penguasa) ingin tetap mempertahankan status quo sedangkan mereka berada di bawah (yang dikuasai atau bawahan ingin supaya ada perubahan. Dahrendorf mengakui pentingnya konflik mengacu dari pemikiran Lewis Coser dimana hubungan konflik dan perubahan ialah konflik berfungsi untuk menciptakan perubahan dan perkembangan. Jika konflik itu intensif, maka perubahan akan bersifat radikal, sebaliknya jika konflik berupa kekerasan, maka akan terjadi perubahan struktural secara tiba-tiba. Menurut Dahrendorf, Adanya status sosial didalam masyarakat (sumber konflik yaitu: Adanya benturan kaya-miskin, pejabat-pegawai rendah, majikan-buruh) kepentingan (buruh dan majikan, antar kelompok,antar partai dan antar Adanya dominasi Adanya ketidakadilan atau diskriminasi. agama). kekuasaan (penguasa dan dikuasai).
Dahrendorf menawarkan suatu variabel penting yang mempengaruhi derajat kekerasan dalam konflik kelas/kelompok ialah tingkat dimana konflik itu diterima secara eksplisit dan diatur. Salah satu fungsi konflik atau konsekuensi konflik utama adalah menimbulkan perubahan struktural sosial khususnya yang berkaitan dengan struktur otoritas, maka Dahrendorf membedakan tiga tipe perubahan Perubahan keseluruhan personel didalam posisi struktural yakni: Perubahan sebagian personel dalam posisi dominasi.
Penggabungan kepentingan-kepentingan kelas subordinat dalam kebijaksanaan kelas yang berkuasa. Perubahan sistem sosial ini menyebabkan juga perubahan-perubahan lain didalam masyarakat antara lain Munculnya kelas, Dekomposisi tenaga kerja, Dekomposisi modal: menengah baru Analisis Dahrendorf berbeda dengan teori Marx, yang membagi masyarakat dalam kelas borjuis dan proletar sedangkan bagi Dahrendorf, terdiri atas kaum pemilik modal, kaum eksklusif dan tenaga kerja. Hal ini membuat perbedaan terhadap bentuk-bentuk konflik, dimana Dahrendorf menganggap bahwa bentuk konflik terjadi karena adanya kelompok yang berkuasa atau dominasi (domination) dan yang dikuasai (submission), maka jelas ada dua sistem kelas sosial yaitu mereka yang berperan serta dalam struktur kekuasaan melalui penguasaan dan mereka yang tidak berpartisipasi melalui penundukan.
Sedangkan Marx berasumsi bahwa satu-satunya konflik adalah konflik kelas yang terjadi karena adanya pertentangan antara kaum pemilik sarana produksi dengan kaum buruh. Dahrendorf memandang manusia sebagai makhluk abstrak dan artifisial yang dikenal dengan sebutan “homo sociologious” dengan itu memiliki dua gambaran tentang manusia yakni citra moral dan citra ilmiah. Citra moral adalah gambaran manusia sebagai makhluk yang unik, integral, dan bebas. Citra ilmiah ialah gambaran manusia sebagai makhluk dengan sekumpulan peranan yang beragam yang sudah ditentukan sebelumnya. Asumsi Dahrendorf, manusia adalah gambaran citra ilmiah sebab sosiologi tidak menjelaskan citra moral, maka manusia berperilaku sesuai peranannya maka peranan yang ditentukan oleh posisi sosial seseorang di dalam masyarakat, hal inilah masyarakat yang menolong membentuk manusia, tetapi pada tingkat tertentu manusia membentuk masyarakat. Sebagai homo sosiologis, manusia diberikan kebebasan untuk menentukan perilaku yang sesuai dengan peran dan posisi sosialnya tetapi di sisi lain dibatasi juga oleh peran dan posisi sosialnya di dalam kehidupan bermasyarakat.
Jadi ada perilaku yang ditentukan dan perilaku yang otonom, maka keduanya harus seimbang. Salah satu karya besar Dahrendorf “Class and class Conflict in Industrial Society” dapat dipahami pemikiran Dahrendorf dimana asumsinya bahwa teori fungsionalisme struktural tradisional mengalami kegagalan karena teori ini tidak mampu untuk memahami masalah perubahan sosial, terutama menganilisis masalah konflik.
Dahrendorf mengemukakan teorinya dengan melakukan kritik dan modifikasi atas pemikiran Karl Marx, yang berasumsi bahwa kapitalisme, pemilikandan kontrol atas sarana-sarana produksi berada di tangan individu-individu yang sama, yang sering disebut kaum borjuis dan kaum proletariat.
Teori konflik dipahami melalui suatu pemahaman bahwa masyarakat memiliki dua wajah karena setiap masyarakat kapan saja tunduk pada perubahan, sehingga asumsinya bahwa perubahan sosial ada dimana-mana, selanjutnya masyarakat juga bisa memperlihatkan perpecahan dan konflik pada saat tertentu dan juga memberikan kontribusi bagi disintegrasi dan perubahan, karena masyarakat didasarkan pada paksaan dari beberapa anggotanya atas orang lain.
Randall Collins dilahirkan pada tahun 1945 di Berlin dari lingkungan keluarga militer. Ayahnya adalah seorang intelgen militer, yang semula bertugas di Uni Soviet, kemudian kembali ke Jerman ( dibawah pengaruh militer Amerika). Dari latar belakang kehidupan keluarganya yang militer, Collins juga banyak menimba pengalaman yang mendukung lahirnya pemikiran – pemikiran konflik sebagai suatu teori dalam memecahkan masalah-masalah sosial.karya tulisnya yang terkenal berjudul Conflict Sociology (1975) dan The Credential Society (1979) bahwa konflik sangat penting dan selalu memberikan alternatif dalam menyelesaikan masalah fenomena social, melalui pendekatan mikro yang bersifat emosi social (the micro details of social emotions).
In an essay entitled “On the Mocrofoundations of mocrosociology” Randal Collins (1981) has offered a highly reductionistic orientation toward the micro-macro link question. In fact despite the inherently integrative title of his essay, Collins focus the focus of radical microsociology, is what he calls “interaction ritual chains” or bundles of “individual chains of intractional experience, crisscrossing each other in space as they flow a long in time.
2. pemikiran sosiologi Randall Collins
Sempitnya wawasan pengetahuan tentang hakikat makna agama, kurangnya pengertian dan kesadaran akan makna perbedaan sebagai hukum alam (Sunnatullah), dapat menimbulkan konflik antar pemeluk agama, atau penganut faham intern umat beragama. Konflik adalah suatu pertentangan yang timbul dalam masyarakat, baik individu ataupun kelompok, karena adanya perbedaan cara pandang, adanya perbedaan kepentingan, yang pasti karena adanya perbedaan latar belakang sosial budaya; berbeda latar belakang pengetahuan, keyakinan, norma dan nilai-nilai yang dianutnya. Perbedaan sesungguhnya tidak harus selalu menimbulkan pertentangan, jika masing-masing pihak yang merasa berbeda memiliki wawasan yang luas, cara berfikir yang jernih serta niat yang lurus tanpa pretense apalagi prasangka buruk. Secara teoritik, memang konflik selalu berangkat dari adanya perbedaan yang menimbulkan ketegangan dan pertentangan, tetapi pada akhirnya akan membawa perubahan. Seperti dijelaskan oleh Horton (1996:19) bahwa perspektif konflik memusatkan perhatian pada perbedaan, ketegangan dan perubahan yang dipaksakan dan dipertahankan oleh masing-masing pihak untuk memperoleh keuntungan.
Pertentangan apapun secara etimologi tidak bisa lepas dari konsep “konflik”, seperti disebutkan dalam kamus Echols (1997:568) dengan istilah oppsition, conflicting, conflict, controversy, a conflict of desaires : pertentangan kemauan. Dalam ilmu sosial, konflik juga merupakan salah satu perspektif yang banyak digunakan untuk memandang gejala-gejala pertentangan dalam kehidupan masyarakat, selain perspektif evolusionis, interaksionis, fenomenoligis, fungsionalis, strukturalis yang juga digunakan untuk memahami aspek kehidupan masyarakat dari cara pandang yang lain.
Menurut Randall Collins. Konflik merupakan proses sentral kehidupan sosial sehingga dia tidak menganggap koflik itu baik atau buruk. Penyebab terjadinya konflik bermacam-macam: dapat disebabkan perbedaan individu, latar belakang budaya, kepentingan, ataupun perubahan-perubahan nilai yang cepat. Konflik dalam pengertian longgar, yakni perbedaan sosio-kultural, politik, dan ideologis di antara berbagai berbagai kelompok masyarakatyang pada dasarnya tidak bisa dipisahkan dari keberadaan manusia dalam kehidupan kolektif. Sampai kapanpun konflik akan selalu kita temui. Secara garis besar konflik terjadi karena adanya sebuah perbedaan. Dimanapun dan kapanpun perbedaan selalu ada sehingga konflik pun akan selalu ada ketika perbedaan itu ada sedangkan perbedaan itu selalu ada dan tidak akan hilang.
Konsep konflik yang pernah dikembangkan Randall Collins ialah mengenai konsep konflik integratif. Konsep integratif ibarat sepasang suami isteri yang sangat berbeda jenisnya, laki-laki dan perempuan, berbeda adat istiadat, hobi dan kebiasaan, berbeda selera, berbeda kemampuan, tetapi mereka bisa bersatu mendukung terciptanya keluarga harmonis. Mengapa kok bisa, tentu saja karena masing-masing pihak bisa saling mengerti, saling memahami, saling menerima, meskipun mungkin latar belakang sosial budaya juga berbeda.
Berdasarkan konflok integratif dalam sosiologi yang dikembangkan Randall Collins (1975) berkaitan dengan konflik ideologi. Berdasarkan teorinya Collins dan Cosser berpendapat bahwa masyarakat beragama hidup dalam dunia subyektif yang dibangunnya sendiri (that people life in self constructed subyective worlds), dan masyarakat lain mempunyai kekuatan untuk melalukan control. Masyarakat mempunyai persepsi sendiri berdasarkan sistem budayanya, meskipun mungkin secara subyektif belum tentu sesuai dengan sistem ideologi yang dianutnya. Berbeda dari beberapa ahli sosiologi yang mempertentangkan teori konflik dengan teori fungsional-struktural, justru Coser mengungkapkan komitmennya untuk menyatukan kedua pendekatan tersebut.
Pertentangan atau konflik menurut konsep Ibnu Khaldun, lebih disebabkan oleh pemahaman atau persepsi yang keliru terhadap makna “ashobiah”, yang dianut oleh masyarakat jahiliyah sebelum lahirnya Islam. Konsep “ashobiah” Jahiliyah merupakan perilaku yang tidak terpuji, timbul karena rasa sombong, takabur dan keinginan untuk bergabung dengan suku yang kuat dan terhormat, sehingga sering menimbulkan konflik antar suku yang ada di sekitarnya. Padahal konsep “ashobiah” sebenarnya mengandung nilai-nilai solidaritas sosial berdasarkan ajaran agama, sesuai dengan makna “ashab” yang berarti hubungan persahabatan atau “ishab” yang berarti ikatan. Jadi “ashabiah” berarti ikatan mental yang menghubungkan orang-orang secara kekeluargaan.
Berdasarkan pendekatan ini, Randall Collins dalam Ritzer (1996 :135-136) mengembangkan lima prinsip analisis konflik, sebagai berikut :
First, Collins believed that conflict theory must focus on real life rather than on abstract formulation.
Second, Collins believed that a conflict theory of stratification must examine the material arrangements that affect interaction.
Third, Collins argued that in a situation of inequality, those groups that control resources are likely to try to exploit those that lack resources.
Fourth, Collins wanted the conflict theorist to look at suct phenomena as beliefs and ideals from the point of vew of interests, resources and power.
Finally, Collins made a firm commitment to scientific study of stratification and every other aspect of the social world.
C. Kesimpulan
Konflik, pertentangan perbedaan sesungguhnya merupakan kenicayaan dalam hidup bermasyarakat. Karena perbedaan latar belakang pengetahuan, kepercayaan, norma dan nilai-nilai sosial budaya yang dianutnya, tentu akan berbeda pula pendapat, perilaku, dan tindakan seseorang. Sebab itu, secara sosiologis setiap kita harus siap untuk menghadapi terjadinya konflik dalam kehidupan bersama dan bermasyarakat.
Dari gejala-gejala kehidupan nyata, realitas sosial yang hidup dalam masyarakat, mestinya kita bisa belajar banyak untuk bisa memahami, mengerti dan menerima kenyataan hidup berbeda. Secara antropologis setiap orang mempunyai latar belakang budaya sendiri dalam memandang suatu masalah. Karena itu, tidak ada seorangpun yang berhak mangklaim suatu kebenaran hanya berdasarkan satu sudut pandang, sebab kebenaran hasil pemikiran manusia secara filosofis bersifat relative, tidak mutlak benar. Suatu masalah bisa muncul dan pasti akan terjadi dalam masyarakat, benar dan tidaknya tidak bisa hanya dilihat dari satu sudut pandang, akhir-akhir ini masyarakat kita seringkali dihadapkan pada banyak masalah, dan kita tidak mampu menyelesaikannya kaena selalu menimbulkan pro dan kontra. Padahal pro dan kontra adalah hal yang biasa dalam kehidupan bermasyarakat.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar