Selasa, 27 Desember 2016

Sejarah Pemerintahan Desa

2.1 Sejarah Pemerintahan Desa Data yang pasti berdirinya Wewengkon Citorekadalah pada tanggal 30 Oktober 1861 berdirinya kampung Lebak Kopo yang sekarang dikenal dengan daerah Lebak Peuneuy, dari Lebak Kopo pindah ke Lebak Tugu yaitu yang sekarang dikenal sebagai Tari Kolot, kedua daerah tersebut letaknya diujung timur Kampung Guradog Desa Citorek Timur. Pada tahun 1862 kampung Lebak Kopo ini berpindah ke kampung Lebak Sabrang, yaitu yang selanjutnya dikenal sebagai Babakan Balai Desa dan sekarang dikenal sebagai kampung Babakan Naga Jaya. Pada tahun 1863 terpecah-pecah menjadi empat (4) kampung, yaitu Kampung Naga, Kampung Guradog, Kampung Cibengkung, Dan Kampung Sabagi. Kampung Sabagi kita kenal sekarang sebagai kampung Ciusul. Pada waktu itu banyaknya kepala keluarga dari keempat kampung tersebut hanya 32 kepala keluarga. Pada tahun itu juga, yaitu tahun 1863 dibentuk desa dari keempat kampung tersebut di atas, yaitu yang diberi nama Desa Citorek yang kita kenal sekarang ini dan kepala desanya yang pertama adalah Bapak Marjai. Pada tahun 1870 diwakilkan kepada Bapak Rata, kemudian pada tahun 1873 diadakan pemilihan Kepala Desa menurut adat kampung, dan yang terpilih sebagai Kepala Desa pada waktu itu adalah Bapak Arsimin.Setelah 17 tahun berikutnya, yaitu pada tahun 1890 diadakan kembali pemilihan Kepala Desa, yang terpilih adalah Bapak Saonah yaitu anak dari Bapak Rata. Pada tahun 1899 kembali diadakan pemilihan Kepala Desa, yang terpilih ialah Bapak Jahidi, yaitu saudaranya bapak Rata. Beliau memangku jabatan sebagai Kepala Desa selama 35 tahun dan ditambah dengan 5 tahun sehingga menjadi 40 tahun. Tetapi masa jabatan selama 5 tahun tidak disyahkan oleh pemerintah tetapi diakui oleh masyarakat. Pada tahun 1939 sampai tahun 1940 tidak ada yang menjabat sebagai kepala desa. Tetapi baru pada tahun 1941 diadakan kembali pemilihan Kepala Desa dan yang terpilih sebagai Kepala Desa ialah Bapak Nahari. Masa jabatannya hanya 5 tahun yaitu sampai dengan tahun 1949.Pada tahun itu juga diadakan pemilihan dan yang terpilih dalah Bapak Jaeli sampai dengan tahun 1955 dan langsung diadakan kembali pemilihan dan yang terpilih adalah Bapak Markin. Pada tahun 1962 diadakan kembali pemilihan Kepala Desa yang terpilih adalah Bapak Sukarta masa jabatannya selama 12 tahun. Pada tahun 1974 Pejabat Kepala Desa Sementara dalah Bapak Usman sampai dengan tahun 1977. Pada tahun itu tepatnya bulan Oktober diadakan kembali pemilihan kepala desa dan yang terpilih sebagai Kepala Desa adalah Bapak Nurkib. Pada saat Pemerintahan Desa dipegang oleh Bapak Nurkib ini, Desa Citorek dipekarkan (dipecah) menjadi dua (2) Desa tepatnya pada tahun 1982. Desa yang baru sebagai Desa Pemekaran adalah Desa Ciparay. Pada tahun itu juga, yakni 1982 di desa pemekaran langsung dilaksanakan pemilihan Kepala Desa dan Kepala Desa yang terpilih adalah Bapak Ace Atmawijaya. Bapak Ace Atmawijaya menjadi Kepala Desa sejak tahun 1982 sampai tahun 1990. pada masa pemerintahan desa dipegang oleh Bapak Ace Atmawijaya, tepatnya pada tahun 1983 Desa Ciparay dipecah atau dipekarkan menjadi dua Desa, yakni Desa Ciusul. Pada tahun 1983 di desa pemekaran pejabat sementara adalah Bapak Dalim, yakni sejak tahun 1983 sampai tahun 1984. Pada tahun ini langsung diadakan pemilihan kepala desa dan yang terpilih adalah Bapak Samdani, ia memerintah sejak tahun 1984 sampai tahun 1991. Sejak tahun 1983 di Wewengkon Citorek terdapat tiga Pemerintahan Desa, yakni Desa Citorek, Desa Ciparay, dan Desa Ciusul. Kembali Kepada Desa Citorek, dari tahun 1977 sampai tahun 1985 yang menjadi Kepala Desa Citorek adalah Bapak Nurkib dan sejak tahun 1885 sampai tahun 1987 ia menjabat sebagai Pejabat Sementara (Karteker) pada tahun ini kembali diadakan pemilihan kepala desa dan yang terpilih sebagai Kepala desa adalah Bapak Sumedi. Bapak Sumedi menjadi Kepala Desa sejak 1987 sampai tahun 1998. Pada tahun 1998 kembali dilaksanakan pemilihan Kepala Desa dan yang menjadi kepala desa adalah Bapak Subani. Bapak Subani menjadi kepala desa dari tahun 1998 sampai tahun 2006. Pada awal tahun 2006 masih pada masa pemerintahan Bapak Subani, Desa Citorek dipekarkan menjadi dua desa, yakni Desa Citorek Barat (Cibengkung), yang menjadi Pj. Kepala Desa Sementara adalah Bapak Didi Jayadi dan di Desa Induk, karena masa jabatan Bapak Subani berakhir tahun 2006, maka pengganti Bapak Subani diangkat seorang Pejabat Sementara (Pj.) pada Agustus 2006 dan yang menjadi Pj. Sementara Desa Citorek Tengah adalah Bapak Ending Rosadi, S.Pd. sampai tahun 2007. Sekitar pertengahan tahun 2007 kembali diselenggarakan pemilihan Kepala Desa di Desa Citorek Tengah dan yang menjadi Kepala Desa adalah Karjaya sejak 2007 – 2014. Perlu diketahui bahwa pada tahun 2006 seluruh Desa yang ada di Wewengkon Citorek berubah nama berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 3 Tahun 2006 tentang Pembentukan, Penataan, dan Perubahan Nama Desa-desa di Wilayah Kabupaten Lebak (Lembaran Daerah Kabupaten Lebak tahun 2006 nomor 5 Seri D). Perubahan Nama-nama desa tersebut adalah sebagai berikut: 1) Desa Citorek menjadi Desa Citorek Tengah. 2) Desa Ciparay menjadi Desa Citorek Timur. 3) Desa Ciusul menjadi Desa Citorek Kidul. 4) Desa Citorek Barat (pemekaran tahun 2006). 5) Desa Citorek Sabrang (pemekaran tahun 2009). Kembali kepada Desa Ciparay di atas, Bapak Ace Atmawijaya menjabat kepala desa selama dua kali masa jabatan, yakni dari tahun 1982 sampai 1990 dan jabatan yang kedua kalinya adalah tahun 1990 sampai tahun 1999. Pada tahun 1999 dilaksnakan kembali Pemilihan Kepala Desa Ciparay dan yang terpilih menjadi kepala desa adalah Bapak Sukardi. Ia menjabat sejak 1999 sampai 2007. pada saat ini yakni, tahun 2007 Desa Ciparay (Citorek Timur), sedang dalam proses pemekaran kembali menjadi dua desa. Yakni dipekar manjadi Desa Citorek Timur (Induk) dan Desa Citorek Sabrang (Pemekaran). Mengenai Desa Ciusul (Citorek Kidul) saat kepala desa dipegang oleh bapak Samdani, yang memerintah sejak tahun 1984 sampai tahun 1991. Pada tahun 1991 sampai tahun 1995 kekosongan Kepala Desa diisi oleh Pj. Sementara, yaitu Bapak Rustandi. Pada tahun ini juga, yakni tahun 1995 dilaksanakan kembali pemilihan kepala desa dan yang terpilih adalah Bapak Arpan. Ia memerintah sejak tahun 1993 sampai tahun 2003. Pada tahun ini pula dilaksanakan pemilihan Kepala Desa dan yang terpilih adalah Bapak Narta. Ia menjabat sejak tahun 2003 sampai tahun 2008 mendatang. Tahun 2009 Desa Citorek Timur dipemekaran, yakni dipekar kembali menjadi dua Desa, yakni Desa Citorek Timur dan Desa Citorek Sabrang. Pemekaran terjadi pada saat jabatan Kepala Desa Citorek Timur dipegang oleh Usup Kelana dan sebagai Pj. Desa Citorek Sabrang dipilih Edih Mulyadi, sehingga pada tahun 2010 piselenggarakan Pemilihan Kepala Desa Citorek Sabrang dan yang terpilih adalah Edih Mulyadi. 2.2 Pemimpin Desa (Jaro) di Wewengkon Citorek dari Masa ke Masa Berikut ini kita dapat melihat dengan jelas Kepala Desa yang pernah memimpin Desa diWewengkon Citorek. Berikut ini kita dapat melihat dengan jelas kepala desa yang pernah memimpin desa di Wewengkon Citorek. 1) Desa Citorek (Citorek Tengah) Tabel 1 Kepala Desa Citorek Tengah No Nama Masa Jabatan Status Keterangan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10 11 12 13 14 15 16 17 Marjai Rata Arsimin Saonah Jahidi **……… Nahari Jaeli Markin Sukarta Usman Nurkib Nurkib Amil Sumedi Subani * Ending Rosadi, S.Pd. Karjaya 1862-1870 1870-1873 1873-1890 1890-1899 1899-1939 1939-1941 1941-1949 1949-1955 1955-1962 1962-1974 1974-1977 1977-1985 1985-1987 1987-1998 1998-2006 2006-2007 2007-2013 tetap tetap tetap tetap tetap Kosong tetap tetap tetap tetap Pjs. Tetap Pjs. tetap tetap Pjs. Tetap ** tidak ada pejabat Kepala Desa * Peristiwa perubahan nama desa (Desa Citorek menjadi Desa Citorek Tengah) 2) Desa Ciparay (Citorek Timur) Tabel 2 Kepala Desa Citorek Tengah Timur No Nama Masa Jabatan Status Keterangan 1. 2. 3. 4. Ace Atmawijaya Ace Atmawijaya Sukardi Usup Dadang 1982-1990 1990-1999 1999-2007 2007-2013 Tetap Tetap Tetap Tetap 3) Desa Ciusul (Citorek Kidul) Tabel 3 Kepala Desa Citorek Kidul No Nama Masa Jabatan Status Keterangan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Dalim Samdani Rustandi Arpan Narta (Atok) Narta (Atok) Narta (Atok) 1983-1984 1984-1991 1991-1995 1995-2003 2003-2008 2008- 210 2011-2016 Pjs. Tetap Pjs. Tetap Tetap Pjs Tetap 4) Desa Citorek Barat (Cibengkung) Tabel 4 Kepala Desa Citorek Tengah Barat No Nama Masa Jabatan Status Keterangan 1. 2. Didi Jayadi Dian Purnama 2006-2007 2007-1013 Pjs. Tetap 5) Desa Citorek Barat (Cibengkung) Tabel 5 Kepala Desa Citorek Sabrang No Nama Masa Jabatan Status Keterangan 1. 2. Edih Mulyadi Edih Mulyadi 2009-2010 2010-2016 Pjs. Definitve Perlu diketahui bahwa hari jadinya Desa Citorek pernah diperingati oleh masyarakat Citorek, yakni pada pada tanggal 30 Oktober 1980. pada saat itu yang menjadi pejabat kepala Desa adalah Bapak Nurkib. Namun sangat disayangkan, peringatan hari jadi Desa Citorek hanya pernah satu kali diperingati semenjak berdirinya hingga saat ini. 2.3 Monografi Desa Di Wewengkon Citorek Telah dijelaskan sebelumnya, bahwa Wewengkon Citorek terbagi dalam beberapa wilayah Pemerintah Administrasi Desa. Perubahan-perubahan yang terjadi selama Citorek berdiri sebagai daerah adminstrasi desa.Terjadinya peruabahan-perubahan wilayah administrasi tidak terlepas dari usaha pembangunan yang digalakan dan dilaksanakan oleh pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi, dan Pemerintah Kabupaten. Berikut ini akan disajikan data monografi seluruh desa yang termasuk dalam wilayah Citorek. 1. Desa Citorek Timur 1. Nama Desa : Desa Citorek Timur (Ciparay) 2. Luas Wilayah : 1,937 Hektar 3. No. Register : 2010 4. Kecamatan : Cibeber 5. Kota/Kabupaten : Lebak 6. Propinsi : Banten 7. Tahun Berdiri : 1982 8. Ibu Kota : Kp. Guradog Barat 9. Jumlah KK : 602 KK 10. Jumlah Jiwa : 4.758 Jiwa 11. Jumlah RW : 5 (lima) 12. Jumlah RT : 19 (sembilan belas) 13. Kampung : 1. Kp. Guradog Timur, 2. Kp. Guradog Tengah, 3. Kp. Guradog Barat, 4. Kp. Babakan Kaler, 5. Kp. Babakan Selon. 14. Mata Pencaharian: Tabel 6Rata-rata mata pencaharian No Pencaharian Tahun Jumlah (%) Keterangan 1. 2. 3. 4. 5. Tani Dagang PNS TNI/Polri Lainnya 2007 2007 2007 2007 2007 80% 10% 3% 0,5% 6,5% 15. Jumlah lulusan pendidikan Tabel 7. Jumlah rata-rata Lulusan / tahun Tahun SD SMP SMU DII/DIII S1/S2 Keterangan 2007 180* 74* 18* 9* 6* * Tiap tahun terjadi peningkatan 16. Batas Wilayah a. Sebelah Timur berbatasan dengan Gunung Halimun. b. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Citorek Tengah. c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Citorek Sabrang d. Sebelah Utara berbatasan dengan Kp. Cikuning Kec. Sobang 2. Desa Citorek Tengah 1. Nama Desa : Desa Citorek Tengah 2. Luas Wilayah : 2,221 Hektar 3. Kecamatan : Cibeber 4. Kota/Kabupaten : Lebak 5. Propinsi : Banten 6. Tahun Berdiri : 1862 7. Ibu Kota : Kp. Naga I 8. No. Reg. : 2002 9. Jumlah KK : 980 10. Jumlah Jiwa : 5.879 11. Jumlah RW : 3 (tiga) 12. Jumlah RT : 23 (dua puluh tiga) 13. Kampung : 1. Kp. Naga I 2. Kp. Naga II 3. Kp. Babakan Cicurug 4. Kp. Babakan Naga Jaya. 5. Kp. Babakan Cibitung. 6. Kp. Babakan Aki Sawadi 7. Kp. Babakan Lebak Situ. 8. Kp. Cinutug. 9. Kp. Cimapag. 10. Kp. Bbk. Uak Urna 11. Kp. Bbk. Aki Marsudin 14. Mata Pencaharian: Tabel 8.Rata-rata mata pencaharian No Pencaharian Tahun Jumlah (%) Keterangan 1. 2. 3. 4. 5. Tani Dagang PNS TNI/Polri Lainnya 2007 2007 2007 2007 2007 80% 10% 4% 0% 6% 15. Jumlah lulusan pendidikan Tabel 9.Jumlah rata-rata Lulusan / tahun Tahun SD SMP SMU DII/DIII S1*/S2** Keterangan 2007 240 160 38 25 8* * Tiap tahunterjadi peningkatan 16. Batas Wilayah a. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Citorek Timur. b. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Citorek Barat. c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Citorek Kidul d. Sebelah Utara berbatasan dengan Kp. Cirompang Kec. Sobang 3. Desa Citorek Kidul (Ciusul) 1. Nama Desa : Desa Citorek Kidul 2. Luas Wilayah : 4,021 Hektar 3. Kecamatan : Cibeber 4. Kota/Kabupaten : Lebak 5. Propinsi : Banten 6. Tahun Berdiri : 1983 7. Ibu Kota : Kp. Ciusul 8. Jumlah KK : 867 9. Jumlah Jiwa : 5.450 10. Jumlah RW : 4 (tiga) 11. Jumlah RT : 26 (dua puluh enam) 12. Kampung : 1. Kp. Ciusul 2. Kp. Ciomas 3. Kp. Bbk. Mangu 4. Kp. Kp. Cipulus 5. Kp. Kp. Ciparay 6. Kp. Kp. Cirotan 13. Mata Pencaharian: Tabel 10. Rata-rata Mata Pencaharian No Pencaharian Tahun Jumlah (%) Keterangan 1. 2. 3. 4. 5. Tani Dagang PNS TNI/Polri Lainnya 2007 2007 2007 2007 2007 85% 5% 2% 0% 8% 14. Jumlah lulusan pendidikan Tabel 11. Jumlah rata-rata lulusan / tahun Tahun SD SMP SMU DII/DIII S1*/S2** Keterangan 2007 42 22 8 5 1* * Tiap tahun terjadi peningkatan 15. Batas Wilayah a. Sebelah Timur berbatasan dengan Gunung Halimun Kab. Sukabumi. b. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Citorek Barat. c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Ciamali. d. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Citorek Sabrang. 4. Desa Citorek Barat (Cibengkung) 1. Nama Desa : Desa Citorek Barat 2. Luas Wilayah : 2.221 Hektar 3. Kecamatan : Cibeber 4. Kota/Kabupaten : Lebak 5. Propinsi : Banten 6. Tahun Berdiri : 2006 7. Ibu Kota : Kp. Cibengkung 8. Jumlah KK : 512 9. Jumlah Jiwa : 3.450 10. Jumlah RW : 10 (tiga) 11. Jumlah RT : 27 (dua puluh tujuh) 12. Kampung : 1. Kp. Cibengkung 2. Kp. Bbk. Bengang 3. Kp. Bbk. Neglasari 4. Kp. Bbk. Lebak Tugu 5. Kp. Bbk. Lebak Kalahang. 6. Kp. Lebak Cibedug 7. Kp. Kp. Cisiih 8. Kp. Muara Citorek. 9. Kp. Ciara 10. Kp. Cinakem 16. Mata Pencaharian: Tabel 12. Rata-rata Mata Pencaharian No Pencaharian Tahun Jumlah (%) Keterangan 1. 2. 3. 4. 5. Tani Dagang PNS TNI/Polri Lainnya 2007 2007 2007 2007 2007 85% 5% 1% 0% 9% 17. Jumlah lulusan pendidikan Tabel 14. Jumlah rata-rata lulusan / tahun) Tahun SD SMP SMU DII/DIII S1*/S2** Keterangan 2007 38 24 7 3 1* * Tiap tahun terjadi peningkatan 18. Batas Wilayah a. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Citorek Kidul dan Citorek Timur. b. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Cijaku. c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Panggarangan. d. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Citorek Tengah. 5. Desa Citorek Sabrang 1. Nama Desa : Desa Citorek Sabrang 2. Luas Wilayah : 3.191 Hektar 3. Kecamatan : Cibeber 4. Kota/Kabupaten : Lebak 5. Propinsi : Banten 6. Tahun Berdiri : 2009 7. Ibu Kota : Kp. Sukamaju 8. Jumlah KK : 619 9. Jumlah Jiwa : 1.720 10. Jumlah RW : 3 (tiga) 11. Jumlah RT : 12 (dua belas) 12. Kampung : 1. Kp. Sukamaju 2. Kp. Bbk. Sawah 3. Kp. Bbk. Labak Situ 4. Kp. Bbk. Cinutug 5. Kp. Pasirnangka. 6. Kp. Bbk. Inpres 13. Mata Pencaharian: Tabel 13. Rata-rata Mata Pencaharian No Pencaharian Tahun Jumlah (%) Keterangan 1. 2. 3. 4. 5. Tani Dagang PNS TNI/Polri Lainnya 2009 2009 2009 2009 2009 85% 5% 1% 0% 9% 14. Jumlah lulusan pendidikan Tabel 14. Jumlah rata-rata lulusan / tahun) Tahun SD SMP SMU DII/DIII S1*/S2** Keterangan 2009 38 24 7 3 1* * Tiap tahun terjadi peningkatan 15. Batas Wilayah 1. Sebelah Timur berbatasan dengan Gunung Malang (TNGHS). 2. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Citorek Tengah. 3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Citorek Kidul. 4. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Citorek Timur. 2.4 Forklore 2.4.1 Sebutan Pancer Pangawinan Kasepuhan Citorek menyebut diri mereka sebagai keturunan Pancer Pangawinan, ada beberapa pendapat ahli tentang kata Pancer Pangawinan itu sendiri, pancer secara arti kamus berarti asal sul, sedangkan Pangwinan berarti menyatukan atau menggabungkan dua hal yang berbeda menjadi satu, semisal menikahkan seorang laki-laki kepada seorang perempuandikalangan masyarakat Sunda biasanya disebut kawin. Ada dua versi mengenai sebutan Pancer Pangawinan bagi masyarakat adat kasepuhan Citorek, pertama, diceritakan bahwa seorang Reshi Salakayana dari Samudragupta (India) dikejar-kejar oleh Candragupta dari Kerajaan Magada (India), hingga akhirnya mengungsi ke Jawa bagian barat. Ketika itu, Jawa bagian barat masih dalam kekuasaan Dewawarman VIII (340-362 M) sebagai raja dari kerajaan Salakanagara. Jayasinghawarman menikah dengan putri Dewawarman VIII yaitu Dewi Iswari Tunggal Pertiwi, dan mendirikan ibukotanya Jayasinghapura. Jayasinghawarman (358-382 M) bergelar Rajadiraja Gurudharmapurusa wafat di tepi kali Gomati (Bekasi) Ibukota Jayasinghapura dipindahkan oleh Purnawarman Raja Taruma III (395-434 M) ke arah pesisir dengan nama Sundapura. Dua dari tujuh ajaran Sanghyang Sunda sekaligus menetapkannya sebagai suatu tempat komunitas Sunda. Tujuh ajaran tersebut yaitu : Pangawinan (Pedalaman Banten), Parahyang (Lebak Parahyang), Bongbang (Sajira), Gajah Lumejang (Parung Kujang - Gn. Kancana), Singa Bapang (Jasinga), Sungsang Girang (Bayah), Sungsang Hilir (Jampang-Pelabuhan Ratu). Tujuh ajaran tersebut mempengaruhi Purnawarman sebagai Raja Taruma III (395-434 M), sehingga ia mendirikan ibukota dengan nama Sundapura. Keruntuhan Taruma terjadi pada masa Linggawarman (669-732 M) sebagai Raja Taruma XII karena begitu kuatnya pengaruh Sunda. Putri Linggawarman yaitu Dewi Manasih (Minawati) dinikahkan dengan Tarusbawa putra Rakyan Sunda Sembawa. Tarusbawa menjadi Raja Sunda (669-732 M) dan Taruma pun runtuh. Pengaruh Hindu pun akhirnya melemah dan menjadi ajaran leluhur ajaran Sanghyang Sunda. Dua titik wilayah yang merupakan Sanghyang Sunda yaitu Gajah Lumejang-Singa Bapang dijadikan tempat laskar bagi Kerajaan Sunda. Tujuh ajaran Sanghyang Sunda tercantum dalam Kitab Aboga yang diperkirakan dibuat pada masa kejayaan Kerajaan Pajajaran seperti dituturkan oleh narasumber bahwa kitab tersebut dibawa ke Leiden pada akhir abad 19. Dengan memaknai baik secara kosa kata (etimologi) maupun perlambangan (Hermeneutika), Pangawinan mempunyai makna yang berarti tempat mengawinkan. Pangawinan secara morfologis berasal dari kata kawin, yang dibubuhi dengan awalan paN- dan akhiran –an. Dikalangan masyarakat kasepuhan kata pangawinan juga diartikan sebagai tempat ngawinkeun, atau ‘tempat mengawinkan’ dalam bahasa Indonesia. Bagi masyarakat kasepuhan, kata kawin selain memiliki makna lugas juga memiliki makna simbolik. Berdasarkan makna lugas kawin berarti mempersatukan dua insan berbeda jenis kelamin yakni seorang pria dan seorang perempuan dalam ikatan kesatuan hidup berumah tangga. Namun, makna simbolik bagi masyarakat kasepuhan pangawinan merupakan sebuah konsepsi religius, yaitu hubungan antara makro kosmos dengan mikro kosmos, hubungan timbal balik antara langit dan bumi, manusia dengan alam, manusia dengan kemanusiaannya, dan mempersatukan dunia nyata dengan dunia gaib, Tuhan dan manusia. Menurut mereka, ini merupakan cara untuk mencapai satu kesatuan hidup. Hal tersebut mereka nyatakan dalam ungkapan ‘tilu sapamulu, opat sakarupa, ngeun hiji eta-eta keneh’. Dalam sintaksis bahasa Indonesia berarti ‘ tiga sewajah, empat serupa, satu itu-itu juga’. Secara semantik, ungkapan ini berarti bahwa terdapat bermacam-macam kehendak, sikap dan sifat, pada hakikatnya manusia berasal dari sumber yang “satu”, yakni “Yang Maha Kuasa”. Apabila kita bandingkan dengan ajaran Tao yang berkembang dikalangan masyarakat Cina, nampaknya ada kesamaan dalam hubungan yin dan yang dalam masalah korelativitas antara Tuhan dan hamba. Dikalangan masayarakat Adat Kasepuhan Citorek terdapat suatu kesadaran, bahwa mereka merupakan keturunan dari sumber yang disebut pancer pangawinan. Dalam bahasa Sunda kata pancer berarti lulugu, secara bahasa Indonesia berarti ‘asal-usul’ atau ‘sumber’. Dari paparan tersebut, bisa dipahami jika mereka mengaku sebagai keturunan pancer pangawainan. Mereka memiliki seuatu peraturan semacam doktrin, yang dianggap oleh mereka sebagai amanat atau ‘wangsit’ yang terungkap dalam kata “sing saha nu bisa ngawinkeun langit jeung bumi, manusa jeung kamanusaanana, eta nu di sebut pancer pangawinan” yang berarti “barang siapa yang mampu mempersatukan langir dan bumi, manusia dengan kemanusiaannya, itulah yang disebut pancer pangawinan”. Sekarang apa hubungan antara dua kata yang sering diungkakan oleh masyarakat kasepuhan yakni “kami mah katurunanpancer pangawinan dan “pangawinan”. Telah disebutkan di atas bahwa kata pancer berarti lulugu dalam bahasa Sunda yang berarti ‘sumber’ atau ‘asal-sul’, sedangkan dalam kitab Aboga disebutkan bahwa salah satu dari tujuh ajaran Sanghiyang Sunda adalah pangawinan. Apabila penulis menarik benang merah antara pancer pangawainan dengan ajaran pangawinan, maka pancer pangawinan lebih merujuk kepada seseorang yang pertama kali mengembangkan suatu ajaran yang disebut pangawinan, sedangkan kata pangawinan lebih merujuk pada suatu konsepsi dan sikap hidup seseorang atau suatu masyarakay. Artinya, masyarakat Adat Kasepuhan Citorek merupakan keturunan dari seseorang yang menganut ajaran pangawinan, di mana pengertian pangawinan dikalangan masyarakat kasepuhan memiliki makna yang lebih luas dan kompleks sebagai yang tergambar dalam sosial budaya mereka sehari-hari. Pertanyaan yang lebih besar bagi penulis adalah siapa yang pertama kali mengembangkan ajaran tersebut (pangawinan)? Sebab, tidak mungkin ada suatu konsepsi ajaran tanpa tiada konsepatornya. Kedua, menurut cerita yang beredar dikalangan warga kasepuhan, pada saat Kerajaan Sunda itu diperintah oleh seorang raja yang bernama Kanda Hyang atau Galuh Wening Bramasakti yan juga dikenal sebagai Prabu Siliwangi, kerajaan memiliki pasukan khusus yang disebut Bareusan Pangawinan semacam “pasukan gabungan khusus”. Para anggotanya dipilih dan dilatih oleh secara langsung oleh para patih, bupati, dan puun, yang biasanya disebut pula guru alas. Anggota yang dipilih adalah mereka yang memiliki kecakapan dan pengalaman serta pengetahuan tentang perang dan kesaktian. Pada saat Kerajaan Sunda diserbu oleh Banten, ada tiga pimpinan utama Bareusan Pangawinan, yaitu Demang Haur Tangtu, Guru Alas Luminang Kandungan, dan Puun Buluh Panuh yang ditugasi raja untuk menyelamatkan Hanjuang Bodas, yang di tanam oleh Raden Wilang Nata Dani. Namun, yang mereka bawa bukanlah hanjuang bodas, melainkan pakujajar. Ketiga pimpinan utama pasukan itu mundur kearah selatan bersama raja hingga mereka tiba disebuah tempat yang disebut Tegal Buleud. Ditempat itu sang raja sebelum ngahyang “hilang tanpa bekas” membagi-bagi pengikutnya menjadi kelompok kecil, membiarkan mereka memilih jalan hidupnya masing-masing. Ketiga pimpinan Bareusan Pangawinan itu memilih kembali ke dayeuh, kota raja. Mereka tidak berhasil menemukan kota. Di tengah jalan mereka memutuskan untuk berpisah, namun tetap memelihara hubungan. Ki Demang Haur Tangtu tiba disuatu tempat yang disebut Guradog, sekitar Sajira dan meninggal di sana. Kuburannya sekarang masih dapat ditemui di Kp. Guradog, yang dikenal dengan ‘Makam Dalem Haur Awileat. Ki Demang meninggalkan keturunannya dan diantaranya ada yang pindah ke Kampung Citorek. Sekarang keturunannya di Citorek dikenal dengan Adat Kasepuhan Citorek. Menurut cerita tutur di kalangan kasepuhan Citorek, mereka masih ada pertalian keluarga dengan warga kasepuhan yang sekarang menyebar di wilayah kecamatan Cisolok, dalam istilah mereka disebut sabah. Salah satu kesamaan mereka adalah sama-sama menganut ‘kepercayaan’ adanya ‘uga’. Menurut mereka, disuatu waktu nanti setelah tibanya janji karuhun, Kasepuhan Citorek akan pindah ke tempat yang subur makmur, aman dan tentram yang disbut ‘Lebak Cawene’ disekitar Gunung Botol yang telah dijanjikan oleh nenek moyang. Sedangkan Kasepuhan Pasir Bungur akan pindah ke sbuah tempat di Lembah Gunung Ciawitali, sekitar wilayah Citoek. Dari kedua versi di atas kita dapat menarik benang merah, bahwa pangawinan bisa berarti suatu kelompok masyarakat yang menganut paham ajaran Sunda di mana paham itu disebut ajaran Pangawinan. Atau bahkan pangawinan merupakan suatu pasukan khusus kerajaan yang memiliki disiplin peraturan dan prinsip tersendiri, ajaran dan prisipnya itulah yang disebut pangwinan. Maka dengan hal tersebut pangawinan bisa merupakan suatu ajaran dikalangan suatu masyarakat, karena suatu masyarakat itu menganut ajaran pangawinan maka sebutannya pada masyarakat penganut adalah pangawinan, bisa pula sebaliknya suatu masyarakat disebut kelompok pangawinan, walapun ajarannya bukanlah pangawinan, namun sebutan pangawinan lebih kepada kelompok sosial, kedudukan atau bahkan jabatannya dalam sistem suatu kerajaan. 2.4.2 Sebutan Citorek Diperkirakan semenjak tahun 1208 dan jauh sebelum didirikannya desa, wilayah Citorek masih merupakan perkampungan yang penduduknya masih sedikit. Pemimpin kampung dipegang oleh ulu-ulu kampung atau biasa disebut kokolot. Selama berabad-abad kokolot berperan sentral dalam pengurusan kampung dan masyarakatnya. Kampung merupakan kesatuan terkecil dari wilayah desa, saat itu Citorek belum merupakan wilayah administrasi Desa.Perkembangan sejak 1208 hingga berdirinya Pemerintahan Desa Citorek tidak begitu banyak di ketahui, namun yang jelas berdasarkan beberapa informasi tutur bahwa sejak 800 tahun yang lalu di wilayah Citorek sudah ada pemukiman penduduk dan telah ada bekas-bekas huma (ladang) dan reuma (tegalan bekas kebun). Data yang pasti berdirinya Desa Citorek adalah pada tanggal 30 Oktober 1861 berdirinya kampung Lebak Kopo yang sekarang dikenal dengan daerah Lebak Peuneuy, dari Lebak Kopo pindah ke Lebak Tugu yaitu yang sekarang dikenal sebagai Tari Kolot, kedua daerah tersebut letaknya diujung timur Kampung Guradog Desa Citorek Timur.Pada tahun 1862 kampung Lebak Kopo ini berpindah ke kampung Lebak Sabrang, yaitu yang selanjutnya dikenal sebagai Babakan Balai Desa dan sekarang dikenal sebagai kampung Babakan Naga Jaya. Pada tahun 1863 terpecah-pecah menjadi empat (4) kampung, yaitu Kampung Naga, Kampung Guradog, Kampung Cibengkung Dan Kampung Sabagi. Kampung Sabagi kita kenal sekarang sebagai kampung Ciusul. Pada waktu itu banyaknya kepala keluarga dari keempat kampung tersebut hanya 32 kepala keluarga. Dan pada tahun itu juga, yaitu tahun 1863 dibentuk desa dari keempat kampung tersebut di atas, yaitu yang diberi nama Desa Citorek yang kita kenal sekarang ini dan kepala desanya yang pertama adalah Bapak Marjai. Mengenai asal-usul nama Citorek hingga kini masih ada dua versi yang beredar dikalangan masayarakat, yang paling popular adalah bahwa diceritakan pada jaman dulu ketika ada tiga orang pembesar dari Kerajaan Sunda mencari daerah yang dapat dijadikan lembur/kampung. Ketiga orang tersebut adalah Ny. Putri, Angga Yudha, dan Eyang Sukma Dewata Jaya. Ditengah pencarian mereka berhenti sejenak untuk melepas lelah, saat itu mereka merasa haus dan mencari sumber air, namun tak pernah diketemukan. Ketika mereka kembali ke tempat awal mencari air, mereka melihat serumpun bambu, lantas salah seorang dari mereka memotong bambu dengan harapan dapat menemukan air minum. Dipotonglah bambu tersebut, namujn saying bambu itu melorot ke bawah dan saat disusul dengan maksud mengambil air bambu tiba-tiba ia kaget ternyata bambu tersebut jatuh tepat disamping aliran sungai, maka ia berkata “aih-aih…, aya kuheueuh ieu cai the naha kutorek-torek teuing teu kadenge ngaguruhna”. Sejak saat itulah derah tersebut dijuluki Citorek. Versi kedua menyebutkan bahwa pada jaman balanganang? Datanglah seorang musafir dari pulau majetti yang berasal dari tanah mekkah, ia dijuluki pahlawan dari mekkah. Ia tiba di sebuah hutan yang rata dan subur. Ia bermaksud membuka dan tinggal di daerah tersebut dengan tujuan agar nantinya penduduk dari daerah lain berdatangan untuk tinggal bersamanya di pemukiman baru. Ia bertujuan untuk berdakwah dan menyebarkan ajarannya. Pembukaan lahan terebut sesuai dengan tujuannya sebagai jalan untuk menyebarkan ajarannya. Ia menyebut daerah tersebut dengan nama Thorrikh yang berasal dari bahasa Arab yang berarti jalan, kata thorrikh bagi lidah dan dialek orang Sunda menyebutnya torek sehingga pelafalan saat ini menjadi Citorek. BABA III PROFIL BUDAYA Kebudayaan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Masyarakat Adat Kasepuhan Citorek merupakan masyarakat yang berbudaya yang memiliki kekhasannya tersendiri sebagai bentuk aktualisasi kebudayaannya. Berikut uraian secara rinci tujuh unsur kebudayaan pada masyarakat Adat Kasepuhan Citorek. 3.1 Sistem Peralatan dan Teknologi 1) Alat-alat Produktif Garu (alat membajak sawah); sogol; arit; pacul; kored; golok; garfu; etem; heurap; keucrik; badodon; sosog; buwu diuk; buwu ngedeng; aseuk; berok (keramba ikan); halu; lisung; hihid; paningur kawung; gonggo sadapan; hawu; sigai; belehem dan lain-lain. 2) Senjata Produktif Golok; tombak; bedil locok; kayu aseuk; jiret; dan lain-lain. 1) Wadah Sahid; nyiru; boboko; ruas; tolok; korang; upih; dulang; sair; kaneron awi; kaneron konyonyod; jolang; jaliken; lodong; termos; lantayan; leuit (lumbung padi, ketahanan pangan); pangbeasan; goah; cariuk hoe; cariuk kalapa; cege; kanyut kunang; se’eng; aseupan; dan lain-lain. 2) Makanan dan Minuman a) Makanan: Ranginang; opak bodas; opak beureum; opak kakacangan; uli; dodol; ula bereum; peyeum ketan hideung; cimplung; gegetuk taleus; gegetuk sampeu; carucub; sasagon, pasung bodas; pasung beureum; awub; wajik ketan; wajik ketok; santri mleng; bubur sumsum; congcot; papais gula; papais ketan; papais cau; palakeder; bubur sair; humut kaung; humut pait; reuneu; dan lain-lain. b) Minuman: Amisan kawung; lahang kawung. 3) Pakain a) Laki-laki: Ikeut; sarung; kampret; komprang; jamang. b) Perempaun: samping rereng; konde; kabaya. 4) Tempat Berlindung dan Perumahan a) Imah jero: Rumah panggung dengan atap rumbia berlapiskan ijuk aren berdinding bilik dan bealaskan palupuh. Rumah tersebut berada diujung kampong paling timur dan dikelilingi pagar kayu. Orang lain tidak boleh masuk, yang diperbolehkan masuk hanya orang-orang tertentu seijin kasepuhan. b) Imah Geude: rumah panggung yang ditinggali oleh keluarga Kasepuhan yang sedang menjabat sebagai ketua Kasepuahan. c) Dahulu semua rumah berjajar menghadap ke arah kiblat sebagai symbol agama Islam. 5) Alat Transportasi a) Tradisional: kuda; gerobak (tidak lagi digunaka) b) Modern: Mobil; motor; speda. 3.2 Sistem Mata Pencaharian 3.2.1 Masyarakat Citorek dan Corak Tradisi Pertanian Citorek adalah sebuah kampung yang terletak di sekitar kaki pegunungan Halimun Barat. Dengan panorama alam yang hijau semampai memikat setiap penikmat alam bebas. Hutan yang masih gerotan dan masih dihuni satwa-satwa langka serta keanekaragaman hayati yang menakjubkan. Sisi lain, berdiri tegak sebuah situs Prasejarah “Situs Berundak” saksi bisu alunan partitur estetik alam Citorek dengan segala keberagaman adat istiadat, budaya dan kultur sosialnya. Mengingatkan kita pada sebuah kearifan tradisi yang amat bijak. Masyarakat Tradisi Citorek sebagian besar adalah petani, mereka hidup tidak dengan cara ekslusif, melainkan bercampur baur dengan masyarakat lain dalam satu kampung itu. Dalam hal ini dapat kita lihat dua kel-ompok masyarakat, yakni masyarakat Tradisi Kasepuhan) dan masyarakat non Tradisi. Perbedaan dengan masyarakat non tradisi adalah masalah adat istiadat yang diikuti. Sistem kerja sama secara sosial pada masyarakat kasepuhan juga diatur dengan oleh adat, meliputi pekerjaan pertanian ataupun kehidupan sehari-hari lainnya. Kerjasama antar sesama masyarakat Kasepuhan biasanya tidak untuk imbalan uang tetapi dibayar dengan tenaga pula (liliuran). Sedangkan kerjasama dengan masyarakat luar non Kasepuhan biasa dengan imbalan uang atau bagi hasil. Adat istiadat secara umum didasarkan pada kehidupan masyarakat yang paling dominan, yakni pertanian sawah dan huma. Asal mulanya adalah sistem pertanian ladang secara berpindah, sebagimana di luar Jawa. Rumah dalam perkampungan Kasepuhan tersusun secara berkelompok dan rapi, dengan jarak antar rumah yang saling berdekatan, dan dibatasi oleh buruan, yaitu halaman yang bersih dari tanaman tanpa pagar. Pola tersebut serupa dengan masyarakat Baduy dan Kampung Naga. Rumah Kasepuhan berbentuk panggung yang beratapkan rangkaian ijuk atau daun pohon sagu-kirai-. Bangunan rumah Kasepuhan terlarang untuk menggunakan atap dari genting tanah liat. Pada adat yang mereka jalankan terpancar nilai kearifan tradisional, yang mecerminkan persefsi dan kehidupan harmonis mereka dengan alam. Sebagaimana kearifan tradisi pada suku asli masyarakat adat lainnya di dunia, mereka menempatkan dirinya sebagai bagian dari alam. Dengan demikian mereka tidak boleh semena-mena meperlakukan alam, apalagi merusak alam. Contoh kearifan tradisional mereka yang berkaitan dengan alam lingkungan hidupnya tercermin pada pandangan mereka tentang hutan dan pola pertanian yang mereka jalankan. Kedua contoh tersebut apabila dikaji dengan ilmu pengetahuan modern, dapat dijadikan pelajaran dalam soal konservasi hutan, lahan, dan air. Bahkan pelestarian keanekaragaman hayati dan plasma nutfah. 3.2.2 Pola Pertanian Tradisional Kasepuhan Citorek Sistem pertanian yang dijalankan oleh masyarakat Kasepuhan Citorek terutama adalah pertanian padi geude’ (masa tanam 6 bulan). Pada dasarnya pola pertanian ini berbasis pada pertanian ladang/huma, namun saat ini di Citorek pertanian yang lebih umum adalah sawah dan kalaupun ada huma hanya merupakan pendamping yang merupakan peninggalan kebudayaan pertanian berpindah sebagaimana umumnya dilakukan di luar Jawa. Pada perkembangan berikutnya masyarakat Tardisi Kasepuhan Citorek bertanam padi di sawah irigasi. Sistem irigasi dibangun secara tradisional dan merupakan cara yang dipertahankan secara turun-temurun. Kegiatan bertani padi di Citorek dapat dibagi menjadi dua model (dua konsep). Dan secara umum masyarakat Citorek lebih mengedepankan bercocok tanam padi di sawah dibanding bercocok tanam padi di ladang atau di huma. Di bawah ini dapat kita lihat. 3.2.2.1 Tradisi Bercocok Tanam Padi di Ladang atau Huma (swidden cultivation) Jika kita sedikit mengarah pada pokok masalah huma/ladang di Citorek, maka sistem partanian ladang berpindah memang terjadi seperti yang selalu dituduhkan bahwa sistem tersebut merupakan biang kerusakan lahan dan pembukaan hutan. Apabila ditinjau lebih dalam belum tentu demikian keadaannya. Sistem ladang berpindah di Citorek mengikuti pula aturan-aturan yang adaptif pula dengan lingkungan. Warga tidak asal membuka hutan dan menanam, melainkan lebih tepat dikatakan sebagai berladang secara berputar. Hanya hutan tertentu saja yang dapat dibuka, dan setelah ditinggalkan, nantinya akan dibuka kembali setelah beberapa tahun. Namun saat ini masyarakat Tradisi Kasepuhan Citorek secara umum, telah menghentikan kebiasaan tersebut sehubungan dengan adanya Taman Nasional Gunung Halimun Salak, dan karena adanya pembatasan sistem pengolahan hutan oleh negara. Walau pun masih sedikit tampak kebiasaan ladang berpindah dalam tradisi pertanian Citorek. Pada awal pembukaan hutan seorang pioneerba-basa (meminta ijin) kepada sesepuh girang atau sesepuh kampung. Bagi mereka yang tinggal jauh dari Kampung Gede. Babasa (permintaan ijin dan do’a restu) disimbolkan dalam bentuk kemenyan dan panglay(Zing-iber cassumuar). Apabila, telah ditemukan tempat yang pas dan cocok, ia memasang tanda berupa pancang atau gili (semacam selokan/parit) di sekitarnya. Sebelum lokasi dibuka dilakukan upacara sederhana oleh seorang yang biasanya disebut sasadu babasa yang maknanya adalah do’a minta ijin kepada arwah nenek moyang. Setelah itu baru dilakukan kegiatan nyacar yaitu memotong batang dan ranting yang akan mengganggu dan menutupi pertumbuhan padi, tanpa menebangpohon. Biasanya dilakukan dengan menggunakan alat berupa golok, sabit, dan sejenisnya. Hal ini biasanya dilakukan pada bulan haji. Setelah itu penggarap kembali melakukan upacara kecil meninta ijin yang disebut ngabersihkeun/nyaangan. Setelah itu, dahan, ranting, dan potongan belukar lainnya dikumpulkan di tengah kawasan untuk diduruk (dibakar). Biasanya di sekelilingnya dibatasi oleh tanah yang sengaja ditumpuk cukup tinggi agar api tidak menjalar. Proses pembakaran tersebut disebut ngahuru dan sisanya biasanya dibakar kembali dan disebut ngaduruk. Lima hari kemudian atau lebih masuk ke tahap yang paling pokok/penting yaitu, ngaseuk yang biasanya jatuh pertengahan bulan Safar atau pada bulan Safar Kapaehna (akhir bulan Safar). Sebelum dilakukan ngaseuk, terlebih dahulu dilakukan upacara sederhana meminta do’a agar tanama padi huma subur dan terhindar dari segala bentuk hama. Dalam kegiatan do’a tersebut menyediakan sebuah cege (alat dan parupuyan (pembakaran kemenyan). Peralatan yang disimpan di dalam cege biasanya berupa panglay, kemenyan, daun sirih, apu, dan gambir yang umum disebut seupaheun. Ngaseuk atau menanam padi di ladang merupakan acara yang pada awalnya cukup besar dan ramai untuk Tradisi Kasepuhan Citorek, namu pada perkembangan berikutnya tidak begitu menjadi acara yang besar dan meriah. Hal ini lebih disebabkan adanya pola tanam yang lebih dianggap penting yakni menanam padi di sawah. Warga yang melakukan Ngaseuk tidak akan sembarangan sebelum ada perintah dari ketua adat/kasepuhan girang (oyok). Kegiatan ngaseuk akan dilaksanakan setelah ada perintah dari Kasepuhan. Setelah sekitar 15 hari dari penanaman, maka rerumputan disekitar huma/ladang bertumbuhan. Rerumputan yang tumbuh akan dibersihkan (dikored). Pembersihan yang kedua disebut ngarambas. Kemudian huma diberi pupuk. Di sekitar tepi huma juga dibersihkan yang biasanya disebut ngabalungbung, dan selanjutnya pemilik huma tinggal menunggu masa panen, sambil selalu menjaga huma miliknya sampai tiba masa panen. Huma. Selain ditanami padi sebagai tanaman pokok, biasanya warga menanam tanaman lain sebagai tanaman pendamping, seperti bonteng (timun), jagung, lobak, terung, dan jenis tanaman sayuran lainnya. Setelah sekitar 3 bulan maka, padi mulai merekah dan berbunga (beukah). Maka masyarakat menyambutnya dengan kegiatan yang disebut mapag pare beukah. Khusus untuk kegiatan mapag pare beukah doa hanya dilakukan oleh Oyok (Kasepuhan Girang) dan masyarakat hanya menyambutnya dengan kegiatan geugeunek secara bersamaan (memukul lisung dengan halu) di tiap saung lisung (dangau lesung-tempat menumbuk padi secara tradisional) yang menghasilkan suara berirama merdu penuh kegembiraan. Kegiatan ini dilakukan oleh kaum wanita. Setelah sekitar 6 bulan dari masa tanam, maka mulai dilakukan kegiatan panen. Sebelum padi di tuai di tegel (dibuat atau dialaan) dilakukan kegiatan upacara mipit (salamet mipit).KasepuhanGirang (Oyok) mengirimkan do’a kepad leluhur malam sebelumnya. Pada esok harinya Kasepuhan beserta para saksi yang didirngi oleh dukun tani dengan berpakaian rapi dan bersih (memakai iket/udeng, kampret/koko, dan samping/sinjang), pergi ke huma atau sawah untuk melakukan serangkaian do’a dan mantera, kemudian mulai memotong padi di huma atau di sawah dengan menggunakan etem (ani-ani). Kegiatan ini tidak boleh dilihat oleh siapapun di luar para pengiringnya (lima orang saksi dan beberapa dukun tani). Setelah Kasepuhan selesai melakukan rangkaian ini maka, baru warga akan mengikutinya memulai memotong padi (memanen) Kegiatan salamet mipit pun sama, warga akan melakukannya setelah ada perintah dari Oyok (sesepuh girang). Salamet mipit pada awal kegiatan penin bertujuan agar hasil padi melimpah dan berkah manfaat. Upacara tersebut sebagai rasa syukur atas tibanya masa panin yang penuh pengharapan dan kegembiraan kegiatan panen. Salamet mipit dilakukan oleh warga dimasing-masing rumah dalam waktu yang bersamaan ataupun waktu yang berbeda, dan hanya berbeda selang beberapa hari saja. Untuk upacara jenis ini dilakukan pula di sawah atau di huma dimana padi akan segera di buat/ditegel, dengan menyediakan alat seupaheun di dalam cege yang berisi panglay dan kemenyan (Zingiber Casumuar), gambir, sirih, apu, dan parupuyan (alat membakar kemenyan). Padi yang dipanen tidak langsung dibawa pulang, tetapi dijemur di huma/sawah yang disebut ngalantay dan alat ngalantay disebut lantayan. Setelah kering baru diikat dan diangkut untuk disimpan dilumbung (leuit). Kegiatan mengikat padi yang telah kering di lantayan ini disebut mocong dan kegiatan mengangkut padi dari lanatayan menuju lumbung disebut ngunyal. Kegiatan ini dimeriahkan dengan menggunakan rengkong (alat mengangkut padi bambu yang berbunyi bertalu-talu). Bersamaan dengan kegiatan ngunyal dilakukan upacara sederhana biasanya disebut ngadiukkeun.Warga yang mengangkut padi atau ngunyal disuguhi kejo’ ketan (nasi ketan) dicampur kelapa. Kegiatan ini dilakukan secara liliuran (bergotongroyong). Padi yang dimasukkan ke dalam lumbung (leuit) diatur dan ditata dengan cara yang disebut di’entep seureuh secara apik dan rapi. Sebelum padi digunakan untuk kebutuhan sehari-hari masih dilakukan upacara sederhana. Upacara ini biasanaya disbut nganyaran (awal penggunaan padi yang dituai). Setelah itu dilakukan ngazakat (zakat) dan diiringi upacara terbesar yakni seren tahun.Berikut rincian pengolahan ladang secara jelasnya, yitu: 1. Nyacar : Membersihkan lahan dari tanaman yang tumbuh pada lahan yang akan dijadikan huma. 2. Ngaduruk : Membakar bekas-bekas tanaman yang ditebang pada lahan yang akan dijadikan huma tetapi menunggu sampai keringnya sisa-sias tanaman tersebut. 3. Ngaseuk : Menanam padi pada lubang-lubang yang sudah disediakan dengan menggunakan alat aseuk (kayu dengan ukuran sebesar kepalan tangan dengan ujungnya diruncingkan). 4. Ngored : Membersihkan tanaman pengganggu yang dapat menghambat pertumbuhan tanaman padi huma (Ngored 1 dan 2). 5. Mipit : Mipit merupakan prosesi upacara adat untuk memulai masa panenpadi huma. 6. Panen : Panen mengambil / memetik tanaman padi yang sudah matang atau sudah layak untuk dipanen. 3.2.2.2 Tradisi Bercocok Tanam Padi Di Sawah (Rice growing) Sistem pertanian yang dijalankan oleh masyarakat Kasepuhan Citorek terutama adalah pertanian padi geude’ (masa tanam 6 bulan). Pada dasarnya pla pertanian ini berbasis pada pertanian lading/huma, namun saat ini di Citorek pertanian yang lebih umum adalah sawah dan kalaupun ada huma hanya merupakan pendamping yang merupakan peninggalan kebudayaan pertanian berpindah sebagaimana umumnya dilakukan di luar Jawa. Pada perkembangan berikutnya masyarakat Tardisi Kasepuhan Citorek bertanam padi di sawah irigasi. Sistem irigasi dibangun secara tradisional dan sistem pengairan atau irigasi dijalankan secara bergotong royong dengan menggunakan peralatan yang sederhana. Sejauh ini sistem pangairan yang digunakan masyarakat pada dasarnya masih jauh untuk memenuhi kebutuhan pengairan sawah, namun lebih dari itu adalah untuk makin meningkatkan hasil pertanian bagi masyarakat, maka perlu untuk terus membangun dan memberdayakan sumber-sumber air untuk dimanfaatkan dalam pola pertanian masyarakat. Dalam hal ini, Pemerintah perlu peka pada kenyataan yang riil di tengah masyarakat. Pada awal penggarapan sawah seorang pioneerbabasa (meminta ijin) kepada sesepuh girang atau sesepuh kampung. Bagi mereka yang tinggal jauh dari Kampung Gede. Babasa (permintaan ijin dan do’a restu) disimbolkan dalam bentuk kemenyan dan panglay (Zingiber cassumuar). Apabila telah diijinkan (asup leweung) untuk menggarap sawah) ia memulai penggarapan sawah dengan melakukan ngagalenganan (memoles pematang sawah). Setelah itu baru dilakukan kegiatan macul badag (mencangkul tahap pertama) memgemburkan tanah di sawah yang masih berjerami. Biasanya dilakukan dengan menggunakan alat pacul dan ngagaru (menggunakan tenaga kerbau). Seiring dengan kegiatan ini dilakukan kegiatan ngenogkeun (penetasan), yaitu mengawinkan ikan emas agar bertelur dan berkembang biak. Agar sawah banyak ikannya. Setelah itu penggarap kembali melakukan kegiatan babad dan ngoyos tahap awal hingga sawah menjadi bersih dari rumputan dan kestabilan air tetap terjaga yang dialirkan dari irigasi tardisional. Setelah itu, sawah dibiarkan sambil menunggu kegiatan berikutnya warga menanami pematang sawah dengan tanaman sayur, sambil sesekali mengambil ikan di sawah hasil ngendogkeun sebelumnya. Pada proses berikutnya disebut kegiatan babad tahap kedua, yakni membersihkan pematang sawah yang mulai berumput dan membersihkan tengahan (petak sawah) yang mulai di tumbuhi ganggang atau tumbuhan liar lainnya. Berikutnya masuk pada kegiatan menggemburkan sawah pada tahap kedua yaitu, macul alus (nyangkul halus) kegiatan ini mengemburkan sawah sekaligus meratakan permukaan petak sawah. Kegiatan ini diiringi dengan kegiatan nyogolan (meratakan sawah dengan menggunakan papan) yang dibuat khusus. Bagi yang mampu dan memilki binatang ternak kerbau kegiatan ini dilakukan dengan cara ngagaru tahap kedua. Seiring dengan kegiatan nyogolan, dilakukan pula kegiatan ngirik, yakni membuat persiapan benih padi yang akan disebar (dituai) di atas petak sawah yang dibuat khusus untuk itu, yakni pabinihan. Sebelum benih padi di tuai di petak banihan terlebih dahulu direndam selama satu hari satu malam baru keesokan harinya benih padi dapat dituai (disebar) di pabinihan. Benih padi dibiarkan dipabinihan hingga selama 40 hari sampai 42 hari. Baru setelah itu dilakukan kegiatan cabut binih (mencabut benih di pabinihan). yang paling pokok/penting yaitu, tanur yang biasanya jatuh pertengahan bulan Safar atau pada bulan Safar Kapaehna (akhir bulan Safar). Sebelum dilakukan tanur terlebih dahulu dilakukan upacar sederhana meminta do’a agar tanama padi sawah subur dan terhindar dari segala bentuk hama. Dalam kegiatan do’a tersebut menyediakan sebuah cege (alat dan parupuyan (pembakaran kemenyan). Peralatan yang disimpan di dalam cege biasanya berupa panglay, kemenyan, daun sirih, apu, dan gambir yang umum disebut seupaheun. Tanur atau menanam padi di sawah merupakan acara yang cukup besar dan ramai sebagai Tradisi Kasepuhan Citorek, acara tanur selalu besar dan meriah dengan suguhan yang istimewanya, yaitu nasi tumpeng kabuli. Hal ini lebih disebabkan adanya anggapan penting menanam padi di sawah dibanding huma. Warga yang melakukan Tanur tidak akan sembarangan sebelum ada perintah dari ketua adat/kasepuhan girang (oyok). Kegiatan Tanur akan dilakukan setelah ada perintah dari Kasepuhan. Setelah sekitar 15 hari dari penanaman, maka rerumputan disekitar Sawah bertumbuhan. Rerumputan yang tumbuh akan dibersihkan (dioyos). Pembersihan yang kedua sekaligus merangkap yaitu ngoyos tahap dua dan babad yakni membersihkan rumput galengan (di pematang sawah). Kemudian padi di sawah diberi pupuk. dan selanjutnya pemilik sawah tinggal menunggu masa panen, sambil selalu menjaga sawah miliknya sampai tiba masa panen. Sawah selain ditanami padi sebagai tanaman pokok, biasanya warga menanam tanaman lain sebagai tanaman pendamping, yang ditanam diatas pematang sawah (galengan) seperti bonteng (timun), jagung, lobak, terung, kacang panjang dan jenis tanaman sayuran lainnya di atas pematang sawah. Setelah sekitar 3 bulan maka, padi mulai merekah dan berbunga (beukah). Maka masyarakat menyambutnya dengan kegiatan yang disebut mapag pare beukah. Khusus untuk kegiatan mapag pare beukah, doa hanya dilakukan oleh Oyok (Kasepuhan Girang) dan masyarakat hanya menyambutnya dengan kegiatan geugeunek secara bersamaan (memukul lisung dengan halu) di tiap saung lisung (dangau lesung-tempat menumbuk padi secara tradisional) yang menghasilkan suara berirama merdu penuh kegembiraan. Kegiatan ini dilakukan oleh kaum wanita. Setelah sekitar 6 bulan dari masa tanam, maka mulai dilakukan kegiatan pemanenan. Sebelum padi di tuai di tegel (dibuat atau dialaan) dilakukan kegiatan upacara mipit (salamet mipit). Kasepuhan Girang (Oyok) mengirimkan do’a kepad leluhur malam sebelumnya. Pada esok harinya Kasepuhan beserta para saksi yang didiringi oleh dukun tani dengan berpakaian rapi dan bersih (memakai iket/udeng, kampret/koko, dan samping/sinjang), pergi ke huma atau sawah untuk melakukan serangkaian do’a dan mantera, kemudian mulai memotong padi di huma atau di sawah tangtu (sawah milik Kasepuhan), ---arti tangtu dalam bahasa Indonseia adalah pasti----- dengan menggunakan etem (ani-ani). Kegiatan ini tidak boleh dilihat oleh siapapun di luar para pengiringnya (lima orang saksi dan beberapa dukun tani). Setelah Kasepuhan selesai melakukan rangkaian ini maka, baru warga akan mengikutinya memulai memotong padi (memanen). Di Citorek kegiatan panen ini disebut dibuat. Kegiatan salamet mipit pun sama, warga akan melakukannya setelah ada perintah dari Oyok (sesepuh girang). Salamet mipit pada awal kegiatan penin bertujuan agar hasil padi melimpah dan berkah manfaat. Upacara tersebut sebagai rasa syukur atas tibanya masa panen. Yang penuh pengharapan dan kegembiraan kegiatan penen. Salamet mipit dilakukan oleh warga dimasing-masing rumah dalam waktu yang bersamaan ataupun waktu yang berbeda, dan hanya berbeda selang beberapa hari saja. Untuk upacara jenis ini dilakukan pula di sawah atau di huma dimana padi akan segera dibuat/ditegel/dipotong, dengan menyediakan alat seupaheun di dalam cege yang berisi panglay dan kemenyan (Zingiber Casumuar), gamir, sirih, apu, dan parupuyan (alat membakar kemenyan). Padi yang dipanen tidak langsung dibawa pulang, tetapi dijemur di huma/sawah yang disebut ngalantay dan alat atau tempat menyimpan padi sementara disebut lantayan. Padi diasimpan di lantayan antara 10 – 15 hari. Setelah kering baru diikat dan diangkut untuk disimpan dilumbung (leuit). Kegiatan mengikat padi yang telah kering di lanyanan ini disebut mocong dan kegiatan mengangkut padi dari lanatayan menuju lumbung disebut ngunyal. Kegiatan ini dimeriahkan dengan menggunakan rengkong (alat mengangkut padi bambu yang berbunyi bertalu-talu). Bersamaan dengan kegiatan ngunyal dilakukan upacara sederhana biasanya disebut ngadiukkeun (Menyimpan padi secara teratur di dalam lumbung) .Warga yang mengangkut padi atau ngunyal disuguhi kejo’ ketan (nasi ketan) dicampur kelapa. Kegiatan ini dilakukan secara liliuran (bergotongroyong). Padi yang dimasukkan ke dalam lumbung (leuit) diatur dan ditata dengan cara yang disebut di’entep seureuh secara apik dan rapi.Sebelum padi digunakan untuk kebutuhan sehari-hari masih dilakukan upacara sederhana. Upacara ini biasnaya disbut nganyaran (awal penggunaan padi yang dituai). Setelah itu dilakukan ngazakat (zakat) dan diiringi upacara terbesar yakni seren tahun. Di atas merupakan pola petanian Kasepuhan Citorek, yakni tani bercocok tanam padi di sawah dan di huma. Kedua-duanya hampir sama proses pelaksanaan penggarapan secara tradisi adat Kasepuhan Citorek. Adapun patokan waktu untuk menggarap sawah dan huma serta upacara adatnya masih didasarkan pada pola perhitungan waktu berladang. Hal ini diperhitungkan sedemikian rupa hingga waktu seren tahun dapat dilaksanakan bersamaan baik bagi para pesawah maupun peladang. Waktu tebar, tanur, dan ngaseuk diatur sedimikian rupa sesuaia dengan kondisi alam dan jenis bibit yang digunakan. Dalam kegiatan kumpulan bariskolot (rapat para petinggi adat) untuk menentukan tibanya waktu panin biasanya segala hal dibicarakan oleh Kasepuhan termasuk jatuhnya waktu untuk seren tahun. Jenis padi yang ditanam adalah varietas lokal yang dikumpulkan sejak dulu dan dibudidayakan secara turun-temurun, yang hingga saat ini telah mencapai 149 varietas. Masyarakat Tradisi Citorek memilih jenis padi yang akan ditanam berdasarkan kecocokan dengan musim dan ketinggian tanah. Padi ditanam hanya setahun sekali, jenis padi tersebut bukan jenis unggul yang dapat dipanen beberapa kali dalam setahun. Jenis padi yang di tanam di Citorek adalah jenis padi tradisional yang biasa ditanam pada ketinggian 900-1200 m antara lain, Cinde; Angsana; Gajah Pondok; Gajah Bareuh; Sunlig; Leneng; Nete; Kuik; dan Ceure’. Untuk ketinggian 600 m biasanya ditanami padi Ansana, Cere Abah, Sri Kuning, Banteng, dan Pare Bandung. Sedangkan untuk jenis padi ketan adalah Ketan Bogor, Ketan Kidang, Ketan Bereum, dan Ketan Hideung. Masyarakat non Kasepuhan juga mengikuti cara-cara bersawah adat Kasepuhan pula. Pengadopsian cara bertani di sawah menunjukkan, bahwa sifat kebudayaan dan adat sitiadat sebenarnya bersifat dinamis, artinya masyarakat adat bersedia pula melaklukan perubahan dalam batas-batas tertentu. Namun cara pertanian yang dianut dan dipertahankan adalah pertanian sawah tradisional. Penanaman hanya dilakukan satu kali dalam setahun, dan bukan persawahan instensif produk revolusi hasil revolusi hijau dengan beranekaragam bibit unggul yang menggunakan pupuk kimia dan pestisida. Sikap yang tercermin dalam aturan adat istiadat adalah menganggap padi merupakan tanaman yang suci (penjelmaan Dewi Sri atau Ni’ Pohaci), dengan persefsi semacam ini maka masyarakat Kasepuhan Citorek memperlakukan padi dengan penuh penghormatan. Padi hanya dipetik dengan ani-ani atau etem (alat pemotong padi tradisional). Sekalipun hanya menggunakan ani-ani, namun dalam proses serta hasil yang dicapai sebanding dengan kecepatan memanen/memotong padi dengan menggunakan arist atau sabit. Dalam pengolahan padi, cara lama masih dipertahankan, yakni dengan menggunakan lisung dan halu, sekali pun telah tersedia huller. Dari kukuhnya masyarakat Kasepuhan Citorek memegang dan mematuhi kearifan trdisional nenek moyang tersebut berdampak positif, yaitu terlestarikannya jenis padi tradisional yang dimiliki masyarakat Tradisi. Secara sengaja masyarakat Kasepuhan Citorek menjaga bahkan memperkaya dengan cara tradisional varietas padi sehingga bertambah banyak jenis padi berharga yang menjadi gudan plasma nutfah. Secara umum masyarakat Citorek yang mayoritas petani telah mengetahui dan memahami, varietas padi yang mana yang cocok untuk ditanam ditempat yang berbeda dengan ketinggian yang berbeda pula. Sampai saat ini masyarakat Kasepuhan Citorek memiliki sampai 148 varietas padi lokal. Dengan demikian telah jelas bahwa, kearifan Tradisional masyarakat Kasepuhan Citorek telah melestarikan plasma nutfah padi. Mungkin di masyarakat lain atau masyarakat di luar komunitas Kasepuhan Citorek telah punah tersisih padi bibit unggul hasil revolusi hijau. Jika ditelaah lebih jauh dan mendalam, masyarakat Kasepuhan Citorek dalam bercocok tanam baik sawah atau huma memiliki patokan waktu musim tanam yang dihitung secara jeli dan matang berdasarkan pedoman astronomi. Perhitungan waktu tersebut berdasarkan munculnya rasi bintang atau bahkan planet tertentu, serta peredaran bulan mengelilingi bumi. Dikalangan kelompok elit Kasepuhan Girang, para saksi ada yang betugas mengurus urusan tani yang berkewajiban dan bertanggungjawab menghitung waktu yang sesuai dengan tiap tahapan dalam bertani. 3.2.2.3 Budaya Panen Sebelum melakukan panin (memetik) padi di Sawah, biasanya masyarakat menunggu keputusan Oyok Timur/oyok Girang (pemangkua adat) sebagai pimpinan adat di Wewengkon Citorek Oyok Timur adalah orang yang mempunyai wewenang kapan harus dimulainya panin itu sendiri dan keputusan itu pun biasanya hasil dari gotrasawala atau musyawarah mufakat dengan segenap petinggi adat lainnya (demokrasi). Saat panin, maka padi yang pertama kali di petik adalah padi di “Sawah Tangtu” milik Oyok. Sebelum ada petunjuk kasepuhan sebagai pimpinan adat, masyarakat tidak pernah melakukan panin/memetik padi yang sudah siap panin. Sebelum memetik padi di sawah biasanya dilakukan upacara adat, yakni ‘salamet mipit’. Jika segal sesuatunya telah siap dan telah ada perintah untuk memetik padi di sawah dari Kasepuhan, maka barulah masyarakat mulai memanen padi di sawahnya masing-masing. Hingga saat ini, masa panin di Citorek merupakan momen/hal yang dinanti-nantikan oleh masyarakat banyak. Bukan hanya masyarakat Citorek, namun termasuk masyarakat luar Citorek itu sendiri baik daerah timur, barat, selatan, dan daerah utara Citorek. Biasanya mereka berduyun-duyun datang ke Citorek untuk ikut memanen padi. Mereka ‘masyarakat luar Citorekred’ banyak yang mengatakan bahwa dengan ikut panin di Citorek artinya ikut menikmati berkah padi hasil tani Citorek. Masyarakat Wewengkon Citorek jika panin tiba, maka sudah menjadi hal yang turun-temurun yang hingga kini masih di pertahankan, yakni. 1) Membeli tudung paradabaru “topi khas Citorek” yang biasanya dipakai saat memetik padi (tudung hasil kerajinan tangan masyarakat setempat) 2) Membuat lantayan padi. 3) Baju/pakaian baru (bagi yang mampu) 4) Tolok (alat untuk menyimpan heucak) dan etem (ani-ani) baru. 5) Padi yang sudah dipetik yang masih bentuk “keupeulan) disimpan di lantayan untuk beberapa saat hingga kering dan tiba masa Ngunyal (mengangkut). Apa bila sudah saatnya masa ngunyal, maka padi yang masih bentuk ‘keupeul’ digabung sebanyak tiga (3) menjadi satu yang disebut ‘pocong’. Saat melakukan penggabungan padi ‘keupeul’ menjadi padi ‘pocong’, orang yang melakukan pekerjaan itu biasanya disebut mocong. Suguhan atau pupulur bagi yang ‘mocong’ adalah berupa nasi ketan, lengkap dengan kelapa hasil ‘nguhkur’ dan uraban gula aren. 6) Jika pekerjaan mocong sudah selesai maka padi diangkut untuk dimasukkan ke dalam leuit-lumbungred. Prosesi ini disebut Ngunyal, dan sebagai pupulur atau lauh bagi mereka yang bekerja dan membantu adalah berupa hidangan Nasi Ketan. 7) Apabila proses di atas telah usai, maka untuk memulai menggunakan padi yang baru dipanin untuk makan sehari-hariataupun dijual. Biasanya terlebih dahulu harus mengadakan selamatan ‘mipit nganyaran’ sebagai wujud rasa syukur kepada Gusti Anu Maha Suci atas hasil panin yang berkah, melimpah, dan bermanpaat. 3.2.2.4 Sistem Bagi Hasil Pemetik dan Pemilik Saat Panen Pada uraian di atas telah di jelaskan bahwa masyarakat Wewengkon Citorek dalam bertani pun mempunyai segala keragaman buadaya. Maka dalam sistem bagi hasil panin antara pemilik sawah dengan orang yang membantu memetik padi mempunyai cara yang menarik dan khusus, yakni setiap pemetik yang mebantu memetik padi di sawah telah mendapat jumlah keupeul sebanyak 6 kepeul, maka akan mendapat imbalan sebanyak satu keupeul.Di daerah lain kegiatan ini disebut maro. Dalam justru banyak yang di beri lebih dari imbalan yang semestinya. 3.2.2.5Hasil Padi yang Melimpah Mayarakat Citorek termasuk masyarakat yang cukup mapan dan sejahtera dengan hasil pertanian sawah dan huma yang cukup melimpah walaupun pada dasarnya kegiatan bercocok tanam padi di sawah hanya dilakukan satu kali dalam setahun. Hasil padinya ternyata sangat melimpah, hasil padi masyarakat Citorek jika diamati maka kita akan menemukan kelebihan yang berbeda dari masyarakat tani lainnya. Hasil tani di Citorek yang satu kali panin ternyata mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup selam 1-3 tahun kedepan. Artinya jika terjadi penen tiap tahun maka hasilnya akan semakin melimpah, tentu saja sebab satu kali panen pun mampu mecukupi kebutuhan hidup masyarakat untuk tiga tahun ke depan. Dalam perkembangannya hasil padi yang melimpah banyak di sebarkan keluar daerah untuk dijual dan memenuhi kebutuhan akan pasokan beras diluar daerah Citorek. Masyarakat Citorek menjual berasnya/masih dalam bentuk padi kepada pengusaha lokal, yang selanjtnya pengusaha lokal menjual beras ke luar daerah seperti, Gajruk, Rangkasbitung, Tangerang, Bogor, Jakarta, Bahkan hingga ke Bandung. Menurut pengusaha lokal tersebut, harga beras Citorek tetap menempati harga yang paling tinggi karena kualitasnya yang baik. Cara penggarapan sawah dimulai dari sawah tangtu. Sawah tangtu merupakan sawah komunal adat Kasepuhan Citorek. Penggarapan sawah tangtu ini dilakukan oleh masyarakat adat yang digerakan oleh Jaro Adat melalui Kepala Desa untuk bergotong royong dan hasilnya dipergunakan untuk kegiatan atau kebutuhan adat. Sebelum dimulainya penggarapan sawah dilakukan musyawarah Kasepuhan mengenai waktu yang tepat untuk mulai asup leuweung (penggarapan sawah dan huma, berkbun atau bercocok tanam lainnya). Musyawarah Asup leuweung tersebut satu paket dengan seren taun. Setelah selesai pengolahan sawah tangtu, masyarakat baru mulai menggarap sawahnya masing-masing. Berikut disajikan tahapan-tahapan tersebut meliputi: 1. Ngagalenganan/Mopog : Membetulkan/merapikan pembatas atau pematang sawah yang menjadi batasdengan sawah yang lainnya. 2. Macul : Macul menyangkut macul badag dan macul alus di sawah. 3. Nyogolan : Meratakan seluruh permukaan sawah tanah (bagian sawah) yang belum rata. 4. Musyawarah Titiba Binih : Musyawarah Baris Kolot untuk menentukan waktu tebar. 5. Tebar/Sebar : Menumbuhkan bibit padi pada persemaian atau pabinihan (membibitkan awal) 6. Cabut : Mengambil bibit di pabinihan atau tempat persemaian untuk ditandur atau di tanam 7. Tanur : Menanam bibit padi yang sudah tumbuh setelah sebar. 8. Ngoyos 1/ngaramet : Membersihkan tanaman pengganggu dan gangguan rumput yang menghambat pertumbuhan tanaman padi. 9. Babad : Membersihkan rumputan atau tanaman pengganggu di pematang Sawah atau galengan. 10. Ngoyos 2 : Membersihkan tanaman pengganggu dan gangguan rumput yang menghambat pertumbuhan tanaman padi. 11. Mipit : Mipit merupakan prosesi upacara adat untuk memulai masa panen. 12. Dibuat : Panen mengambil / memetik tanaman padi yang sudah matang. 13. Ngalantay/moe : Menjemur padi setelah dipanen di atas lantayan. 14. Ngunyal : Mengangkut padi dari lantayan/sawah setelah dipocong. Pocong merupakan gabungan tiga ikat atau kepeul padi menjadi satu yang disebut pocong. 15. Asup Leuit : Memasukan padi yang sudah kering dari jemuran/lantayan. 16. Nganyaran : Selamatan untuk padi yang baru dipanen, dan memasak padi menjadi nasi yang panen pada tahun tersebut. 17. Badamian Seren Taun : Musyawarah untuk acara seren taun. 3.3 Sistem Bahasa Bahasa yang digunakan masyarakat Wewengkon Citorek adalah bahasa Sunda sebagai bahasa komunikasi sehari-hari baik lisan maupun tulisan, selain bahsaa Sunda mereka banyak yang sudah terbiasa menggunakan bahasa nasional, yakni bahasa Indonesia. Pelafalan, dialek dan pengucapan bahasa Sunda sehari-hari, namak sedikit perbedaan dengan daerah lain, dialek bahasa Sunda yang dilafalkan oleh masyarakat Desa Citorek Tengah akan terdengar sedikit lebih keras dibanding dengan daerah lain semisal bahasa Sunda di daerah Parahyangan. Dalam percakapan sehari-hari, mereka seakan-akan sedang berjalan sedang naik turun bukit, sehingga bahasa mereka bila berbicara terdengar turun naik dan tertekan seperti terengah-engah. Bahas Sunda yang masih asli terdapat dalam jempe-jampe yang mereka bacakan pada saat-saat tertentu, bahasa tersebut nyaris tidak dimengerti oleh kebanyakan orang Sunda pada umumnya. Bahasa Sunda dalam jampe-jampe jauh lebih rumit disbanding dengan bahasa Sunda yang mereka pergunakan dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa Sunda digunakan sejak lama, bahasa ini tidak diketahui sejak kapan digunakan. 3.4 Sistem Kesenian dan Upacara Adat 3.4.1 Kesenian Tradisional Kesenian tradisional yang pernah ada di tengah komunitas masyarakat Citorek salah satunya adalah kasenian Jaipong yang bertahan cukup lama. Namaun pada perklembangan berikutnya kesenian Jaipong (Group Kesenian Jaipong) tersebut telah tenggelam. Pada saat ini Kesenian Tari Jaipong telah tiada. Kesenian lain yang masih bertahan hingga kini adalah kesenian pencak silat Cimandean. Kesenian ini banyak digandrungi oleh masyarakat dari semu latar belakang dan semua usia, baik tua, muda, dan anak-anak. Kaum perempuan pun tidak ketinggalan. Mereka ikut andil dalam perkembangan seni Pencak Silat Cimande yang sudah sejak lama berkembang di Citorek. Pada awalnya Seni Pencak Silat Cimandean adalah seni bela diri. Rata-rata yang mendalami pencak silat Cimande adalah kaum laki-laki. Pungsi Pencak Silat Cimande adalah sebagai Ilmu bela diri, terutama bagi kaum jawara (pendekar). Namun, seiring perubahan dan perkembangan jaman Pencak Silat Cimandean ini telah berubah punsi. Kini selain sebagai seni bela diri juga berfungsi sebagai kesenian yang menyajikan hiburan bagi masyarakat penikmatnya. Sanggar Silat yang ada di Citorek masih dikelola secara tradisional artinya dalam menejmen penyebarannya masih menggunakan sistem keloyalan seorang murid kepada seorang guru dan belum menggunakan kurikulum. Jumlah sanggar silat di Citorek kini telah mencapai sekitar 12 sanggar silat yang seluruhnya merupakan aliran Cimandean Tari Kolot (Bogor). Selain itu jenis kesenian lain yang dapat dikategorikan sebagai kesenian tradisonal yang hingga kini masih bertahan di Citorek adalah Kesenian Gong Besar (Go’ong Geude). Jenis yang satu ini tergolong sakral. Jenis kesenian ini hanya ditabuh setahun sekali dan itu pun jika ada penyelenggaraan sunatan yang menggunakan adanya helaran (arak-arakan) menggiring pengantin sunat di atas tandu yang dihiasi berbagai hiasan. Gong Besar ini merupakan kesenian yang paling tua di Wewengkon Kasepuhan Citorek dan sifatnya masih dianggap sakral oleh masyarakat. Gong Geude ini pula hanya di tabuh oleh mereka yang termasuk sebagai anggota baris kolot dari kalangan pemuka adat Kasepuhan Citorek. Hingga kini Gong Besar (Go’ong Geude) masih dapat dilihat di rumah Kasepuhan, yakni rumah Besar (Imah Geude). Beriku adalah rincinnya. 1) Seni Jaipong 2) Seni gong Geude 3) Seni Rempug Lisung 4) Tari Baksa Sunatan (tari Adat) 5) Seni Ujungan 6) Seni Helaran 7) Seni Rengkong 3.4.2 Upacara-Upacara Adat Dalam konteks penyelenggaraan adat di lingkungan Kasepuhan Citorek, hingga kini masih dapat kita temui dan kita saksikan upacara-upacara adat yang masih terus dipegang teguh oleh masyarakat Kasepuhan Citorek. Upacara adat yang masih ada hingga kini kebanyakan bercorak atau lebih banyak berfokus pada sistem pertanian Wewengkon Citorek. Upacara adat lebih mencerminkan gaya hidup dan pandangan hidup masyarakatnya terhadap kehidupan. Mereka mampu membangun hubungan dengan alam secara dinamis. Mereka hidup dengan penuh kesahajaan. satu sama lain, baik secara individu atau pun kelompok mereka hidup berdampingan tanpa memandang latar belakang dan satus dalam sosial kemasyarakatan.Upacara-upacara adat yang dapat kita temui pada masa kini adalah: 1) Upacara Adat Geudena. Upacara Adat Geudena merupakan Upacara Adat yang rutin dilaksanakan pada tiap bulan sekali. Upacara ini dilaksanakan pada tanggal 14 pada tiap bulannya. Setiap masyarakat Adat, apalagi mereka yang merupakan bagian dari perangkat adat, selalu mengikuti uapacara tersebut. Tiap masyarakat Mengumpulkan Nasi yang disimpan dalam bakul dan di bawa langsung ke Rumah Besar (Imah Geude). Di rumah inilah, nasi tersebut diubah ke dalam bentuk dihancengan. Sesudah nasi dihanceng, maka seluruh masyarakat yang mengikuti upacara tersebut ikut masuk ke Rumah Pager (imah Jero/Rumah dalam). Upacara ini dipimpin langsung oleh Kasepuhan sendiri selaku orang nomor satu dalam birokrasi Adat. Saat di Rumah Dalam/Rumah Pagar (Rumah Jero), Kasepuhan mambacakan mantera-mantera sebagai ritual upacara. Upacara ini lebih menitik beratkan pada rasa syukur masyarakat kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala keberkahan, Keselamatan, kesehatan, dan kelancaran mencari nafkah setiap anak cucu (Anak Putu) yang telah dikaruniakan-Nya. 2) Ritual Adat Miarakeun Lebak Cawene Upacara Adat Miarakeun (mengurus) atau lebih banyak dikenal dengan sebutan ngamumule, merup[akan upacara adat yang setiap satu tahun sekali dilaksanakan. Upacara adat ini terkait dengan keyakinan masyarakat adat terhadap cerita yang secara turun temurun terus dipertahankan. Masyarakat meyakini adanya uga. Uga initentang perjalanan kehidupan masyarakat semenjak mereka meninggali Lembah Citorek. Dalam Uga ini, konon diceritakan bahwa mereka tinggal di Lembah Citorek Sejak Ratusan tahun yang lalu (820 tahun). Mereka hidup secara berpindah-pindah (Nomaden). Jauh sebelum mereka meninggali Lembah Citorek yang saat ini, secara keseluruhan adalah Wewengkon Citorek yang meliputi empat desa. Sebelumnya mereka menempati sebuah perkampungan d sekitar pegunungan Halimun bagian Barat, saat ini perkampungan tersebut termasuk ke dalam Wilayah Taman Nasional Gunung Halimun dan Salak (TNGHS). Tempat tersebut terletak di sekitar hulu sungai Ciberang, yang disebut Lebak Ciberang. Hingga saat ini masih dapat ditemukan bekas-bekas perkampungan yang kini telah lenyap. Penyebab pindahnya masyarakat Adat dari lembah Lebak Ciberang, diceritakan bahwa karena telah diperintahkan oleh Sang Kasepuhan, dan kasepuhan mendapatkan petunjuk untuk segera pindah menuju Lembah Citorek berasal dari Uga yang mereka yakini petunjuk dari leluhur mereka. Penyebab lain yang menharuskan mereka pindah adalah karena hasil cocok tanam dan pertanian mereka selalu buruk. Hal ini memaksa mereka untuk mencari daerah lain yang lebih subur untuk dijadikan sebagai lahan pertanian dan bercocok tanam. Mereka menyebar untuk mencari daerah subur tersebut dan akhirnya mereka menemukan lebah Citorek yang saat itu masih berupa hutan lebat (Leuweung Kolot). Pada akhirnya mereka pindah kelembah Citorek tersebut. Menurut riwayat yang dyakini secara turun temurun, mereka meninggali Lebah Citorek tersebut telah mencapai 820 tahun2 . Ini artinya masyaralat Adat tersebut lebih lama lagi mereka tinggal di Sekitar Lembah Ciberang. Keterkaitan sejarah yang satu ini dengan Upacara Adat Miarakeun Lebak Cawene adalah adanya suatu kultur dan kebiasaan serta keyakinan masyarakat Adat mengenai Uga. Dalam uga yang mereka yakini telah beredar ke seluruh lapisan masyarakat dari berbagai latar belakang, bahwa suatu saat mereka kembali harus berpindah dari Lembah Citorek yang sekarang. Mereka diharuskan pindah ke tempat yang yang berupa sebuah Lembah, dalam bahasa Sunda disebut (Lebak). Lebak Cawene dipercaya oleh mereka merupakan tempat yang suatu saat akan mereka tinggali dan sebagai perkampungan mereka jika sudah datang waktunya untuk pindah. Upacara Miarakeun Lebak Cawene ini dimaksudkan untuk mengurus daerah yang mereka anggap suci, yang nanatinya akan mereka bangun di atas Lebak Cawene tersebut sebuah perkampungan yang bersahaja. Sebuah perkampungan yang jauh dari keramaian dan jauh dari pengaruh buruk keserakahan manusia. Masyarakat Adat secara turun-temurun meyakini hal ini. Versi lain yang masih bersumber dari kalangan petinggi Adat, mengatakan bahwa, mereka akan pindah ke Lebak Cawene kelak jika lima gunung terbesar di pulau Jawa meletus/telah meledak. Karena adanya ledakan lima Gunung tersebut, mengakibatkan kehancuran dan kerusakan yang membawa kepada kesengsaraan seluruh rakyat Sunda dan rakyat Indonesia. Bahkan berdasarkan kepercayaan mereka, akibat dari Letusan Lima Gunung tersebut, di Indonesia terjadi kekosongan Kepemimpinan. Pada saat terjadi kakacauan inilah masyarakat Adat Kasepuhan Citorek akan pindah ke Lembah Cawene/Lebak Cawene (Lemah Perawan). Jika kita lihat secara makna konotasi, maka Lebak Cawene ini dapat diartikan sebagai tempat yang masih bersih dan suci, artinya tempat ini belum terjamah oleh segala keserakahan dan kedzoliman manusia yang saat ini notabene, telah banyak terpengaruh. Lebak Cawene arti secara harfiahnya adalah Lembah Perawan (Gadis). Selanjutnya tergantung kita mengartikan kata Lebak Cawene, namun berdasarkan tatabahasa Sunda, Lebak, merujuk pada pengertian sebuah daerah bawah yang lapang/rata dan luas yang ditumbuhi oleh padang rumput dan ilalang, pepohonan yang menjulang tinggi hanya berupa buah-buahan. Sedangkan Cawene merujuk kepada pengertian asli, murni, dan jika dinisbatkan sebagai manusia, maka Cawene adalah seorang perempuan yang masih gadis dan masih perawan. Di sini perlu pengecualian mengenai Upacara Adat Miarakeun, Penulis tidak akan membahas segala yang terkait dengan Lebak Cawene, namun lebih melihat dari Upacara Ritualitasnya belaka, yakni Upacara Adat Miarakeun. Telah dijelaskan di muka bahwa, upacara Adat ini adalah upacara yang dilaksakan untuk mengurus sebuah lembah yang nantinya akan ditempati sebagai tempat tinggal masyarakat Adat (di ubah menjadi perkampungan). Upacara Adat ini dipimpin dan diikuti oleh mereka yang meruapakan bagian dari perangkat adat, yakni ketua-ketua adat dari semua kampung yang ada di Wilayah Kasepuhan Citorek. Mereka berangkat dari Citorek menuju Lebak Cawene dengan menyusuri hutan lebat, dari Citorek menuju arah timur menembus hutan belantara, yakni hutan Sanggabuana. Untuk sampai di Lembah Cawene yang dituju biasanya menghabiskan waktu sekitar satu hari satu malam (sekitar 24 jam). Ketika mereka telah tiba di Lebak Cawene, mereka melakukan prosesi upacara Adat, upacara ini selalu menngunakan kemenyan dan panglai (Zingiber cassumuar) serta menggnakan daun sirih yang telah diikat dengan benang warna putih. Setiap gulungan atau ikatan daun sirih ini diletakan di atas “Cege” yang masing-masing cege berisi tujuh ikatan daun sirih, gambir, kemenyan, dan panglai. Setelah semua perangkat upacara lengkap maka seorang ketua rombongan, yang biasanya berasal dari saksi tujuh yang terdapat dalam Organisasi Adat Kasepuhan. Ia memimpin doa’ dengan membacakan mantera-mantera tertentu sebagai inti dari upacara tersebut. Jika sudah selesai maka setiap orang yang mengikuti upacara tersebut membersihkan beberapa bagian dari tempat Lebak Cawene sampai bersih, jika hal ini sudah selesai maka, upacara dianggap usai pula dan mereka akan langsung kembali pulang menuju Citorek, tanpa menginap. Pada dasarnya, upacara Adat Miarakeun Lebak Cawene lebih menitikberatkan pada pentingnya pengenalan wilayah dan lahan yang yang akan dijadikan tempat sebuah kampung, walau tidak dapat dipungkiri adanya suatu tujuan yang mengarah kepada penghargaan atau suatu bentuk penghormatan kepada nenek moyang yang memilihkan tempat tersebut sesuai dengan kepercayaan ugamereka. 3) Upacara Adat Mipit Mapag Pare Beukah Upacara adat pare beukah (Padi yang baru mekar/berbunga), merupakan bagian dari rangkaian upcara Adat yang berorientasi pada bidang cocok tanam atau pertanian padi di Citorek. Namanya juga sudah Upacara Mapag Pare Beukah, sudah barang tentu merupakan bagian dari upacara adat pertanian. Dalam upacara ini prosesinya, terlebih dahulu Kaspeuhan memanggil semua petinggi Adat, yakni seluruh jajaran dalam bidang adat termasuk seluruh bagian atau anggota saksi tujuh yang berjumlah tujuh orang. Dalam pertemuan khusus itu, Seorang yang menduduki atau yang berkedudukan sebagai Kajaroan Tani, akan menyampaikan segala sesuatu yang terkait dengan kondisi pertanian saat itu terutama tanaman padi. Jika tanam padi sudah mulai berbunga atau merekah untuk berbuah, maka segera di sepakati waktu yang tepat kapan harus dilaksanakannya upcara adat mapag pare beukah tersebut. Jika sudah tibanya waktu mapag pare beukah tersebut telah datang, maka tanpa menunggu lebih lama, seorang Kasepuhan akan langsung memimpin upacara tersebut. Biasanya upacara ini dilaksanakan secara langsung di Imah Jero/Rumah Dalam Pagar (Timur). Tata cara dalam upacara ini tidak jauh beda dengan uapacara yang lainnya yakni, senantaiasa ada peralatan seupaheun yang di dalamnya terdiri dari daun sereuh (sirih), kemenyan, gambir, panglai (zingiber cassumuar) dan seperangkat alat lainnya. Setelah kasepuhan selesai memanjatkan do’a, yakni dengan mengucapkan mantera-mantera maka, segera seluruh yang hadir mengamininya lantas dipersilahkan untuk mencicipi hidangan tumpeng yang sebelumnya telah disediakan. Hal ini adalah sebagai bentuk rasa syukur mereka terhadap karunia Tuhan Yang Maha Esa, ata kondisi tanaman padi yang subur dan mulai berbunga. Apabila seluruh upacara telah dilaksanakan maka, segera akan diumumkan kepada seluruh masyarakat di tipa pelosok bahwa Upacara Mapag Pare Beukah sudah bisa dirayakan, maka dengan serta merta seluruh kaum wanita menuju lisung (tempat menumbuk paedi secara tradisional). Kaum wanita biasanya memukul-mukul lisung dengan menggunakan halu (alu), kegiatan kaum wanita yang satu ini disebut geugeunek. Suara-suara geugeunek terdengar dari seluruh saung lisung dengan suara yang salng bertalu-talu mengiringi suasana bahagia dari seluruh masyarakat, bahwa padinya tumbuh dengan subur dan mulai mekar. 4) Upacara Adat Mipit Pare Koneng Upacara adat pare koneng (buah padi yang mulai menguning), merupakan bagian dari rangkaian upcara Adat yang berorientasi pada bidang cocok tanam atau pertanian padi di Citorek. Namanya juga sudah Upacara Mapag Pare Koneng, sudah barang tentu merupakan bagian dari upacara adat pertanian. Jika sudah tibanya waktu mapag pare koneng tersebut telah datang, maka tanpa menunggu lebih lama, seorang Kasepuhan akan langsung memimpin upacara tersebut. Biasanya upacara ini dilaksanakan secara langsung di Imah Jero/Rumah Dalam Pagar (Timur). Tata cara dalam upacara ini tidak jauh beda dengan uapacara yang linnya yakni, senantaiasa ada peralatan seupaheun yang di dalamnya terdiri dari daun sereuh (sirih), kemenyan, gambir, panglai (zingiber cassumuar) dan seperangkat alat lainnya. Setelah klasepuhan selesai memanjatkan do’a, yakni dengan mengucapkan mantera-mantera maka, segera seluruh yang hadir mengamininya lantas dipersilahkan untuk mencicipi hidangan tumpeng yang sebelumnya telah disediakan. Hal ini adalah sebagai bentuk rasa syukur mereka terhadap karunia Tuhan Yang Maha Esa, ata kondisi tanaman padi buanya mulai menguning dan berisi. Apabila seluruh upacara telah dilaksanakan maka, segera akan diumumkan kepada seluruh masyarakat di tipa pelosok bahwa Upacara Mapag Pare Koneng sudah bisa dirayakan, maka dengan serta merta seluruh kaum wanita menuju lisung (tempat menumbuk paedi secara tradisional). Kaum wanita biasanya memukul-mukul lisung dengan menggunakan halu (alu), kegiatan kaum wanita yang satu ini disebut geugeunek. Suara-suara geugeunek terdengar dari seluruh saung lisung dengan suara yang saling bertalu-talu mengiringi suasana bahagia dari seluruh masyarakat, bahwa padinyayang berbuah telah menguning dan beneur. Maksud dari ritual ini adalah selain rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, mereka sangat girang dengan menguningnya buah padi di sawah, buah padi yang menguning tentu merupakan buah padai yang baik dan beneur, maksudnya adalah buah padi yang berisi (beneur=beirisi). 5) Upacara Adat Mipit Panen Upacara adat yang satu ini pun tidak berbeda cara dengan upacara adat di atas, yang membedakannya adalah objektifitas berdasarkan kondisi tanam padi di sawah, yakni mulai masa tanam hingga masa pertik (panen). Upacara adat Panen(memetik buah padi), merupakan bagian dari rangkaian upcara Adat yang berorientasi pada bidang cocok tanam atau pertanian padi di Citorek. Upacara Panen, sudah barang tentu merupakan bagian dari upacara adat pertanian. Jika sudah tibanya waktu panen tersebut telah datang, maka tanpa menunggu lebih lama, seorang Kasepuhan akan langsung memimpin upacara tersebut. Biasanya upacara ini dilaksanakan secara langsung di Imah Jero/Rumah Dalam Pagar (Timur). Tata cara dalam upacara ini tidak jauh beda dengan uapacara yang lainnya yakni, senantaiasa ada peralatan seupaheun yang di dalamnya terdiri dari daun sereuh (sirih), kemenyan, gambir, panglai (zingiber cassumuar) dan seperangkat alat lainnya. Setelah kalsepuhan selesai memanjatkan do’a, yakni dengan mengucapkan mantera-mantera maka, segera seluruh yang hadir mengamininya lantas dipersilahkan untuk mencicipi hidangan tumpeng. Dibandingkan dengan jenis upacara Adat yang lainnya, upacara mulainya panen tersebut tergolong upacara yang besar dan ramai. Seluruh masyarakat menyambut dengan penuh antusian dan rasa bangga, bahwa masa panen telah tiba. Sebelum masyarakat memanen padi di sawhnya masing-masing, mereka akan bersama-sama memanen atau memetik padi di sawah tangtu3, yakni sawah milik kasepuhan yang letaknya tidak jauh dari perkampungan. Sebelum pemetik padi mulai memetiknya, serang wakil kasepuhan (Kajaroan Jero) terlebih dahulu akan membacakan mantera-mantera di sisi pem,atang sawah, ia mengikat beberapa tangkai padi dalam satu ikatan yang setelah itu akan menyambungkan tali enong yang di dalamnya berisi apu, sereuh, gambir, kemenyan, air bening, dan beberapa butir padi. Hal ini dimaksudkan mengabil bibit padi yang baik-baik untuk masa tanam tahun berikutnya, dan untuk masa panen kali ini dimohonkan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar diberi keberuntungan. Seorang yang ditunjuk untuk melakukan hal itu akan membacakan mantera-mantera khusus. Mereka selain memohon Kepada Tuhan agar diberi keberuntungan padi yang dipanen, juga sekaligus meminta ijin kepada Dewi Sri yang menurut kepercayaan mereka merupakan Dewi Padi untuk segera mamanen atau memetik padi. Jika udah selesai acara ritualnya maka seluruh masyarakat akan mulai memetik padi/memanen padi di sawah tangtu dan selanjutnya akan mulai memetik padi di sawahnya masing-masing. Masa panen di Citorek memang tergolong panen yang termasuk dalam sekala besar. Masyarakat Citorek biasanya jauh-jauh hari sebelum tibanya masa panen, mereka mempersiapkan diri dengan membeli baju baru yang khusus untuk di pakai saat panen, selain itu mereka pun sengaja memakai dudukuy(Tudung parada, topi khas Citorek) baru yang akan digunakan saat panen pula. Selain itu peralatan yang mereka gunakan pun seperti etem (ani-ani)dan tolok selalu serba baru. Selain masyarakat dan penduduk Wewengkon Citorek yang bergembira menyambut masa panen, masyarakat lain pun yang tinggal diperkempungan sekitar Wewengkon Citorek ikut bergembira. Mereka berbondong-bondong datang ke Wewengkon Citorek untuk ikut memanen padi. Mereka sengaja ikut panen dengan tujuan kuli untuk mendapat bagian padi dari sang pemilik. Jumlah mereka yang datang dari luar daerah untuk ikut memanen padi, biasanya mencapai ratusan orang bahkan ribuan orang, padahal sekedar ikut memetik padi yang nantinya akan mendapat bagian hasil padi pula dari pemilik sawah. Hal ini tidak dapat dipungkiri memang, karena masyarakat Citorek terkadang kewalahan untuk menyelesaikan padi di sawah milikny masing-masing. Mereka membutuhkan tenaga ekstra dan tenaga bantuan, hingga mengundang mereka dari perkampungan lainnya yang jumlahnya tidak sedikit. Hal ini dapat diartikan dan disimpulkan bahwa, masyarakat Wewengkon Citorek merupakan masyarakat penghasil padi yang unggul dan ahli dalam bidang pertanian padi. Hasil padi mereka melimpah pada tiap tahunnya. Satu kali masa panen dapat mencukupi kebutuhan hidup mereka antara dua sampai tiga (2-3) tahun ke depan. Ini merupakan hal yang patut ditiru dan dihargai. Mereka mengelola sawah dengan adat dan tradisi serta dengan penuh kesahajaan, kesederhanaan, dan selalu bersikap adaptif terhadap lingkungan, namun hasil padinya cukup melimpah ruah. Pada uraian di atas telah di jelaskan bahwa masyarakat Wewengkon Citorek dalam bertani pun mempunyai segala keragaman budaya. Maka dalam sistem bagi hasil panin antara pemilik sawah dengan orang yang membantu memetik padi mempunyai cara yang menarik dan khusus, yakni setiap pemetik yang mebantu memetik padi di sawah telah mendapat jumlah keupuel4 sebanyak 6 keupeul, maka akan mendapat imbalan sebanyak satu keupeul. Atau justru banyak yang di beri lebih dari imbalan yang semestinya. Mayarakat Citorek termasuk masyarakat yang cukup mapan dan sejahtera dengan hasil pertanian sawah dan huma yang cukup melimpah walaupun pada dasarnya kegiatan bercocok tanam padi di sawah hanya dilakukan satu kali dalam setahun.Hasil padinya ternyata sangat melimpah, hasil padi masyarakat citorek jika diamatai maka kita akan menemukan kelebihan yang berbeda dari masyarakat tani lainnya. Hasil tani di Citorek yang satu kali panin ternyata mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup selam 1-3 tahun kedepan. Artinya jika terjadi penen tiap tahun maka hasilnya akan semakin melimpah, tentu saja sebab satu kali panen pun mamapu mecukupi kebutuhan hidup masyarakat untuk tiga tahun ke depan. Dalam perkembangannya hasil padi yang melimpah banyak di sebarkan keluar daerah untuk dijual dan memenuhi kebutuhan akan pasokan beras diluar daerah Citorek. Masyarakat Citorek menjual berasnya/masih dalam bentuk padi kepada pengusaha lokal, yang selanjtnya pengusaha lokal menjula beras ke luar daerah seperti, Gajrug, Rangkasbitung, Tangerang, Bogor, Jakarta, Bahkan hingga ke Bandung. Menurut pengusaha lokal tersebut, harga beras Citorek tetap memenpati harga yang paling tinggi karena kualitasnya yang baik. 6) Upacara Adat Mipit Nganyaran Upacara Adat Mipit Nganyaran merupakan sebuah upacara Adat yang dilakukan oleh semua masyarakat Citorek, yakni semua keluarga melakukan upacara ini, namun dalam skala kecil. Maksudnya hanya berupa selamatan biasa yang dilakukan di rumah masih-masing. Upacara Adat Nganyaran dilakukan apabila sudah selesai masa ngunyal, yakni masa pengangkutan padi dari lantayan disimpan di lumbung (leuit). Padi yang asalnya masih dalam bentuk keupeul digabungkan menjadi pocong. Masing-masing pocong adalah gabungan dari tiga keupeul padi. Saat padi sudah dalam lumbung, maka mulai dapat dikonsumsi. Untuk mengkonsumsi padi sebagai nasi, padi yang baru hasil dari panen tahun ini, mesti dilakukan salamet mipit (Upacara Adat Nganyaran). 7) Upacara Adat Lima Belasna. Upacara Adat Lima Belasna biasa disebut Upacara Adat Geudena. Upacara adat ini lebih menitik brtakan kepada penjagaan kebersihan lingkungan sekitar rumah dalam (Imah Jero/Imah Timur). Selain itu upacara adat yang satu ini dihadiri oleh seluruh baris kolot dari seluruh kampung yang masuk dalam Wewengkon Kasepuhan Citorek. Semua baris kolot akan datang dengan membawa sapu nyere (lidi) untuk membersihkan pekarangan sekitar Imah Timur. Mereka membersihkan daun-daun yang berserakan dan sampah-sampah lainnya yang akan mengganggu dan mengotori areal sekitar Imah Timur/Imah Jero. Selain itu, upacara adat ini mengedepankan tanggungjawab seseoarang (anak putu) Kasepuhan Citorek agar sadar pentingnya kebersihan, kesehatan dan keindahan. Dalam kelanjutannya, upacara ini sekaligus juga memperbaiki pagar rumah yang mengelilingi Imah Timur/Imah Jero/Imah Pager. Setiap tiga tahun sekali pagar akan diganti sesuai dengan kondisi dan tingkat kerusakan pagar. Jenis pagar yang dignakan adalah pagar hidup. Seperti pohon tulak tanggul, paku jajar, dan lainnya yang diharapkan bisa tumbuh untuk memperkuat pagar. Dalam prosesi upacara ini dikatakan sebagai upacara lima belasna, karena berdasarkan waktunya, yakni tanggal lima belas pada tiap bulannya. Yang paling bertanggungjawab dalam urusan pagar dan kebersihan sekitar rumah Pagar adalah Kasepuhan kampung Naga, Kampung Cibengkung, dan kampung-kampung lainnya disekitar kasepuhan Girang. Selain pihak-pihak tersebut yang ikut bertanggungjawab dalam mengurus dan memeprhatikan pagar dan kondisi rumah Pager adalah seluruh pihak Pemerintah Desa yang masuk dalam Wewengkon Kasepuhan Citorek.Ada beberapa hal dalam hal ini yang patut kita teladani, yakni kesadaran masyarakat adat dalam memperhatikan dan mempertahankan kondisi lingkungan agar tetap sehat, indah, dan bersih, serta kebersamaan dan kegotong royongan mereka dalam melakukan semua pekerjaan. 8) Upacara Adat Seren Taun (Serah Tahun) Upacara Adat seren Tahun (serah tahun), boleh jadi merupakan upacara adat yang paling besar dalam konteks remonialnya. Kenapa tidak, semua pihak yang terkiat dengan serah tahun ini termasuk pemerintah dan kaum budaya akan hadir dalam pelaksanaannya. Upacara Adat Serah Tahun meruapakan momen yang paling penting bagi seluruh masyarakat Wewengkon Citorek. Mereka yang sudah lama tinggal di luar daerah seperti di perkotaan akan selalu menyempatkan diri untuk pulang kampung dalam rangkaian serah tahun. Upacara adat ini biasanya bertepatan dengan selesainya masa panen padi. Masyarakat biasanya tidak melakukan aktifitas dan pekerjaan di sawah setelah rampungnya urusan panen, mereka akan menunggu waktu tibanya seren tahun/serah tahun. Serahtahun dilakukan oleh masyarakat Adat satu kali pada tiap tahunnya. Seren Tahun merupakan Upacara Adat tahunan, yakni Tepung Taun. Hal ini sebenarnya sama dengan kebiasaan masyarakat lain dalam menyambut Tahun baru Masehi. Upacara Serah Tahun/Seren Tahun/Tepung Taun meruapakan upacara yang besar dan menyeluruh bagi masyarakat Wewengkon Citorek. Serah Tahun akan dijadikan sebagai momen terpenting bagi masyarakat adat untuk berkomunikasi dengan pihak pemerintah dan swasta terkait dengan segala sesuatu yang merupakan bagian dari tradisi seperti, batas tanah adat dengan taman nasional, hutan titipan, hutan tutupan, hutan garapan yang akhir-akhir ini banyak dipersengketakan oleh pihak masyarakat adat dengan pihak pemerintah terutama pihak Taman Nasional Gunung Halimun dan Salak (TNGHS). Bahkan banyak diantara mereka yang mengambil momen ini sebagai objek penelitian yang dianggap bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan. 9) Proses Upacara Adat Seren Taun (Serah Tahun) Dalam pelaksanaannya, upacara seren tahun ini adalah ditandai dengan pemotongan hewan kerbau. Hewan kerbau ini adalah hasil pembelian masyarakat yang dilakukan secara bersama-sama, yakni iuran. Setiap rumah dipungut langsung oleh mereka yang telah ditugaskan untuk mengumpulkan dana guna membeli hewan kerbau yang akan dipotong pada waktu pelaksanaan upacara serah tahun. Pemotongan hewan kerbau menandai puncak dari upcara ini. Daging kerabu ini akan dibagi-bagikan kepada semua masyarakat yang dianggap membutuhkannya, termasuk anak-anak yatin piatu. Mereka yang termasuk golongan perangkat adat pun akan mendapat bagian daging.Tidak semua daging dibagikan, sebagaina lgi dimasak di sekitar rumah Kasepuhan yang nantinya akan digunakan sebai kelengkapan dalam melakukan do’a bersma yang dihadiri oleh banyak pihak. Selamatan seren tahun ini dilakukan dirumah besar (Imah Geude) atau rumah tempat tinggal keluarga Kasepuhan.Pada malam harinya, uapacara akan ditandai dengan pergelaran kesenian jaipong di sekitar rumah Kasepuhan. Masyarakat dalam dan luar daerah akan berbondong-bondong untuk menyaksikan hiburan tradisional tersebut sebagai bentuk ngareuah-reuah Serah Tahun masyarakat Kasepuhan Citorek. Segala pembiayaan yang terklait dengan pelaksanaan upacara Serah Tahun ini, bagi Citorek tenrsendiri. Merek tidak pernah meminta sumbangan dan bantuan dalam bentuk apapun. Mereka membiayai Upacara Adat serah tahun secara mandiri. Yakni seuai dengan kemapuan meeka sendiri, tanpa adanya sumbangan dari pihak pemerintah dan pihak-paihka lainnya, terkecuali kegiatan olehraga seperti Sepak Bola dan Volly Ball, memang akhir-akhir ini sudah ada beberapa pihak yang peduli untuk memberikan beiaya, dan itu pun hanya alakadarnya. Serah tahun ini merupakan upacara Adat yang menitik beratkan pada keyakinan mereka bahwa, setiap tahunnya mereka mendapatkan hasil cocok tanam yang melimpah dan cukup. Ini merupakan acara sykuran mereka kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala karunia. Mereka bersyukur telah melewati tahun dengan penuh keberkahan, lahan pertanian aman, hasil padi melimpah. Dan untuk tahun berikutnya mereka akan kembali menggarap sawah dan kebun mereka. Dalam kesempatan itu mereka akan kembali memohon kepada Tuhan agar pada masa cocok tanam berikutnya selalu diberi kelancaran dan kseuburan tanaman yang baik. Dari hal in dapat kita asumsikan bahwa, upacara Serah Tahun merupakan upacara yang timbul dari rasa syukur mereka kepada Tuhan atas segala karunia-Nya pada tahun yang lalu dan untuk tahun berikutnya mereka memohon kembali agar dalam bercocok tanam tidak ada halangan dan gangguan serta hasilnya bisa baik dan cukup. 10) Kegiatan lain dalam momen Serah Tahun Masyarakat banyak yang mengafresiasikan serah tahun ke dalam berbagai kegitan. Selain sebagai Upacara Adat yang terus berlangsung secara turun temurun, upacara ini pun banyak mendatangkan berbagai tradisi yang biasa dilakukan oleh masyarakat setempat seperti: 10.1) Pertandingan Sepak Bola. Pertandingan sepak bola ini dilaksanbakan pada tiap tahun sebagai bentuk afresiasi masyarakat terhadap serah tahun. Pertandingan sepak bola ini cukup menarik. Klub-klum yang biasanya mengikuti pertandingan ini bisa mencapai tiga puluh (30) klub, yang biasanya berasal dari kelompok pemuda di tiap kampung di Wilayah Kasepuhan Citorek. Pertandingan sepak bola macam ini meruapkan peratndingan terbesar di wewengkon Citorek. Biasanya pertandingan ini dipsonsori oleh pihak pemerintah, pengusaha, pedagang, swasta, dan lain-lain. Nama petandingan ini adalah “Seren Tahun Cup” 10.2) Pertandingan Bola Voli Pertandingan Bola Voli ini dilaksanbakan pada tiap tahun sebagai bentuk afresiasi masyarakat terhadap serah tahun. Pertandingan Bola Voli ini cukup menarik.Club-club yang biasanya mengikuti pertandingan ini bisa mencapai tiga puluh (20) klub atau lebih, yang biasanya berasal dari kelompok pemuda di tiap kampung di Wilayah Kasepuhan Citorek. Pertandingan Bola Voli macam ini meruapkan pertandingan terbesar di wewengkon Citorek, mirip dan hampir sama dengan pertandingan sepak bola. Biasanya pertandingan ini dipsonsori oleh pihak pemerintah, pengusaha, pedagang, swasta, dan lain-lain. Nama petandingan ini adalah “Seren Taun Cup” 11) Upacara Adat Helaran(Hajat Nyunatan) Pada awalnya, Upacara Adat Helaran tersebut dianggap upacara masyarakat yang paling meriah. Upacara ini dilakukan pada setiap tahun dan hanya satu kali dalam satu tahun. Upacara ini berisikan tentang pengislaman anak-anak yang belum disunatan, yakni belum dicepit. Hal ini menandakan anak-laki-laki tersebut telah balig dan sudah dianggap suci sebagai umat Islam. Hal ini sama dengan syariat Islam yang kita kenal di seluruh dunia. Bahwa setiap laki-laki yang beragama Islam diwajibakan untuk disucikan dengan cara memotong bagian kemaluannya.Pelaksanaan sunatan di Wewengkon Citorek, memang berbeda dengan daerah lainnya, selain karena kultur budaya juga kultur sosial dan kepercayaan masyarakat. Namun pada perkembangan saat ini Hajat Helaran Nyunatan merupakan sebuah pergelaran yang hanya bersifat sosial dan kesenian, tidak terkait dengan kepercayaan atau religi. Upacara yang satu ini dilakukan atau dilaksanakan setelah selesainya pelaksana-an seren taun (serah taun). Dalam prosesinya, upacara ini biasanaya dilakukan oleh be-berapa keluarga yang memili-ki anak laki-laki yang masih kecil yang selanjutnya akan disunatan(cepitan), yakni me-nurut sumsi mereka diIslam-kan. Mereka akan melaksanakan selamatan sunatan/hajat helaran dengan sangat meriah. Jauh-jauh hari mereka telah mempersiapkan segala sesuatu keperluan hajatan tersebut. Mulai dari kayu bakar, pembuatan sobong, dan persiapan-persiapan biaya lainnya. Setiap keluarga yang melaksanakan upacara nyunatan ini akan bersama-sama ngareuah-reuah hajat. Semua sanak saudara tetangga dan kerabat akan datang dan ikut bersama-sama membantu terlaksananya hajat. Mereka yang jauh pun bisanaya akan hadir sebagai tanda bahwa ia mendoakan sang sohibul hajat dan anaknya yang akan diIslamkan atau yang akan disunatan.Karena hajat ini diikuti oleh banyak keluarga yang sengaja bersmaan dalam melaksanakannya, maka akan dipilih berdasarkan tradisi seorang keluarga diantara yang melaksanakan hajat ini sebagai pihak lancuran. Lancuran meruapkan ketua penyelenggara hajat dari segi adat. Segala sesuatu yang terkait dengan keperluan dan kepentingan adat yang harus dipenuhi oleh semua yang melaksanakan hajat akan dimulai dan dikokoncoan oleh sang lancuran. Hal-hal lain yang menandai hajat ini diantaranya adalah kegiatan nganyang budak sunat. Yakni, setiap anak laki-laki yang akan diIslamkan terlebih dahulu akan dibawa menghadap Kasepuhan. Seluruh budak sunat akan duduk dan didampingi oleh orangtua dan kerabatnya mengahadap Kasepuahan. Saat itu mereka akan mendapat restu dari Kasepuhan. Kasepuhan membacakan kidung-kidung yang berisi do’a agar anak sunat (budak sunat) diberkahi. Budak sunat ini, selama pelakanaan hajat yang memakan waktu berminggu-minggu hingga mecapai satu bulan atau lebih, akan diperlakukan bak seorang pangeran. Ia dimanjakan oleh keluarganya dan sanak saduara serta kerabatnya. Ia diagungkan dan dieluk-elukan sebagai tanda penghormatan kepada budak sunat yang akan disucikan atau diIslamkan. Apabila hajat ini telah dimulai, maka berbondong-bondonglah seluruh masyarakat, baik tua, muda, laki-laki dan perempuan berdatangan ke rumah sang Sohibul hajat untuk menyampaikan do’a restunya. Mereka datang ke rumah sang penyelenggara hajat ini dengan membawa berbagai hasil bumi. Seperti beras, buah pisang, humut, dan jenis-jenis lalab, lainnya. Masyarakat yang sedang berkunjung dan bersilaturahmi di rumah Sohibul hajat akan diterima dan disambut oleh tuan rumah. Mereka akan disuguhi berbagai aneka makanan khas Citorek, seperti dodol, uli, wajik, opak, ranginang, pisang, dan lain-lain. Selain itu mereka akann disuguhi makan, sebagai bentuk prasmanan gaya Citorek. Dalam prasmanan itu terdapat tumpeng, sayur, ikan, dan daging ayam yang disuguhkan kepada sang tamu. Yang bertugas mengurus segala sesuatau atau segala perkejaan dalam kegaiatan ini bukanlah tuan raumah. Namun, dalam kegaiatan ini akan dibagi beberapa kelompok yang akan ngamumule kegiatan hajat, yakni parawari Jero, yaitu parawari yang betugas di dalam rumah dalam bidang memasak, meyambut tamu, menyuguhi tamu, mengurus segala barang yang diperlukan demi terpenuhinya keperluan kepada tamu yang datang. Adapulaparawari Jero, yang khusus bertugas sebagai petugas kue yang bertanggungjawab terhadap sirkulasi kue-kue yang akan disuguhkan kepada semua tamu. Dan parawari bagain Goah, yakni parawari ayng bertanggungjawab dalam mengurus beras yang merupakan bawaan dari sang tamu yang berkunjung dan bersilaturahmi. Penulis menemukan, bahwa, dalam satu kali hajat ini seorang sohoibul hajat bisa mendapatkan beras hingga berton-ton belum lagi bentuk uang yang diperoleh dalam acara anilan, yakni malam undangan tamu.Selain kegiatan-kegiatan di atas, dalam pelaksanaan hajat helaran dan nyunatan, ada beberapa kegiatan yang dilakukan oleh yang menyelengarakan hajat ini yakni: 11.1) Zaroh Kubur Zaroh ini dimaksudakan untuk meminta restu, ijin dan mendo’akan ahli kubur dari keluarga yang akan melakukan sunatan. Seorang budak sunat sebelumnya akan di bawa berziaroh ke makam nenek moyangnya/leluhur keluarganya. Kegiatan ini dilakukan oleh semua keluarga yang akan melaksanakan hajat nyuntan dan berziarah ke makam leluhurnya masing-masing. Pada esk harinya mereka akan kembali berziaroh secara bersmaan ke makam geude (komplekskasepuhan) yang terdahulu. Dalam kegaiatan zaroh yang satu ini akan dipimp[in langsung oleh Kasepuhan. Zaroh ini pada intinya sama dengan zaroh yang dilakukan sebelumnya oleh masing-masing keluarga. 11.2) Persiapan Helaran dan Ngangkat (Proses Pelaksanaan Helaran) Kegiatan helaran merupakan kegiatan yang paling banyak melibatkan orang dan banyak pihak. Untuk memeprsiapkan helaran ini masing-masing keluarga membuat Gotongan/tandu untuk duduk budak sunat yang akan disusung oleh para pemanggul. Gotongan yang dibuat sebaik dan semenarik mungkin. Dalam satu gotongan harus cukup untuk duduk dua orang, yakni untuk budak sunat dan seorang bela. Apabila budak sunatnya adalah laki-laki, maka yang menjadi bela atau pendampingnya adalah seorang wanita yang sebaya dengan budak sunat laki-laki.Keduanya akan didandani sebagai seorang pengeran dan seorang putri. Gotongan budak sunat akan dibawa oleh empat orang pemanggul. Selain tiu saatnya untuk dipanggul masing-masing gotongan akan diiringi oleh sanak keluarga masing-masing yang sudah berdan-dan dengan rapi dan memakai pakai yang dianggap paling baik dan bagus.Sebelum gotongan diangkat dan diarak-arak menggelilingi jalanan di sekitar pedesaan. Pagai-pagi setiap kaum wanita dari keluarga yang mel-aksanakan hajat nyunatan akan melakukan gegenek, yakni memukul-mukul lesung dengan halu, hingga menimbulkan suara yang bertalu-talu, bersahutan dan merdu. Sebelum gotongan di angkat, seluruh gotongan akan dipampang disepanjang jalan dan tempat yang telah ditentukan oleh kasepuhan. Masing-masing gotongan akan menempati tempatnya masing-masing sesuai dengan urutan yang ditentukan oleh pihak adat. Gotonganyangpaling depan adalah gotongan budak sunat yang keluarganya ditunjuk sebagai Lancuran. Kasepuhan akan melakukan ritual untuk memohon perlindungan, keselamatan, dan kelancxaran dalam kegaiatan helaran budan sunat. Apabila sudah selesai melakukan ritual, maka ia akan memerintahkan bahwa helaran sudah bisa dimulai. Dimulainya helaran akan ditandai dengn suara letusan senapan beberapa kali. Selain itu akan terdengar suara go’ong besar yang ditabuh beberapa kali. Maka dengan itu mulailah seluruh tabuhan yang dibawa akan ditabuh dan menimbulkan suara gaduh dan riuh sebagai suatu hiburan dalam pelaksanaan helaran.Dalam kirab atau arak-arakan helaran budak sunat ini melibatkan seluruh segmen masyarakat. Dalam barisan arak-arakan ini terdiri barisan pertama adalah kaum jawara. Kaum jawara ini adalah pihak pengamanan kegiatan helaran yang dimaksudakan untuk menjaga hal-hal yang dimungkinkan terjadi dan akan mengganggu pelaksanaan helaran. Barisan kedua adalah rombongan kaum pemuda pemberani, yakni rombongan ujung. Rombongan ini adalah sekompok laki-laki yang memiliki keberanian dan mental kuat. Mereka akan berujung dengan penuh kegembiraan. Senjata yang digunakan dalam ujungan ini adalah senajata pecut yang terbuat dari rotan/hoe. Mereka akan saling menyabet dan menggebuk satu sama lainnya dengan senjata rotan ini. Namun anehnya mereka tidak merasa kesakitan dihantam dengan rotan-rotan ini.Saat mereka melakukan ujungan mereka akan sesekali berhenti saling menggebuk dan mengayunkan pecutnya. Saat mereka berjalan mereka akan mengucapkan Shalawat Nabipenuh semangat. Apabila shalawat selesai maka mereka akan kembali saling baku hantam dengan senjaata rotan tersebut. Hal itu terus belanjut silih berganti, sebagai ajang hiburan dan kesenian yang hingga kini masih banyak peminatnya terutama dari kalangan pemuda. Memang kegiatan ini terlihat begitu keras dan memerlukan kekebalan. Namun pada dasarnya hantaman-hantaman pecut yang terbuat dari rotan ini tidak menimbulkan rasa sakit yang berart. Hanya rasa dingin yang kita rasakan saat tubuh kita kena hantaman-hantaman rotan tersebut. Penulis pun saat masih kuliah, kebetulan pulang kampung waktu ada upacara hajat ini menyempatkan diri untuk ikut bergabung dengan yang lain dalam ujungan. Bukan maksud apa-apa, hanya sebagai hiburan dan sekedar ingin tahu apa dan bagaimana rasanya ikut ujungan saling gebuk dan hantam dengan senjata rotan. Hasilnya ya, memang tidak terasa rasa sakit itu. Rasanya hanya seperti di belai, tidak lebih!. Barisan ketiga adalah pihak pemerintahan desa yang diringi oleh kaum adat atau pihak adat. Sang kepala desa akan berdiri di tengah rombongan baris kolot yang berjalan bersama-sama pihak pemerintahan Desa. Dalam barisan baris kolot salah satu diantara mereka ada yang bertuga membawa sebuah tombak pusaka. Mereka akan berjalan sambil terus mengumandangkan shalawat-shalawat kepada Nabi Muhammad saw. Selanjutnya rombongan ini akan diikuti oleh kaum muda-mudi Citorek. Kelompok ini berdiri di belakang rombongan baris kolot dan pemerintah Desa. Kaum muda-mudi Citorek ini berjalan mengikuti arak-arakan helaran. Mereka membawa berbagai makanan khas Citorek yang disimpan di atas piring kecil. Muda-mudi Citorek ini berdandan dengan cantik. Mereka didandani dengan sangat hati-hati, pemuda kelihatan tampan dan yang wanita kelihatan sangat cantik menawan hati setiap orang yang melihat. Memang mereka yang dipilih untuk menjadi muda-mudi Citorek dalam helaran adalah pemuda yang cakep dan wanita yang cantik, apalagi jika sudah didandani. Piring yang mereka bawa biasanya berisikan nasi kuning yang berhiaskan bunga-bunga, dodol, wajit, dan makanan has lainnya. Konon, apabila diantara penonton ada yang mendapatklan nasi dan makanan lainnya yang dibawa oleh muda-mudi Citorek dalam helaran, maka orang yang mendapatkannya akan mudah dan cepat mendapatkan jodoh.Di belakang rombongan muda-mudi Citorek akan disambung oleh rombongan marhaban. Rombongan marhaban ini adalah rombongan yang khsus akan melantunkan beberapa shalawat nabi. Mereka akan melantunkan shalawat-shalat dan pujian kepada Nabi Muhammad saw. dari mulai berjalan hingga selesainya arak-arakan.Dibelakang rombongan Marhaban diikuti oleh rombongan penabuh beduk dan Go’ong Geude/Gong Besar, yang berusra bertalu-talu. Selain itu rombongan ini dilengkapi dengan peniup seruling dan ada pula yang membawa tabuhan-tabuhan lain sehingga suaranya menggema terdengar ke seluruh pelosok desa. Rombongan berikutnya dalah gotongan budak sunat. Rombongan ini ada;lah rombongan yang paling inti dari arak-arakan ini. Dalam gotongan tersebut masing-masing ada dua orang, yakni seorang budak sunat dan seorang bela pendamping. Tiap gotongan akan dipanggul oleh empat orang pemanggul. Selain itu tiap gotongan akan dilindungi oleh payung para pengiring dari masing-masing keluarga. Tiap keluarga yang mengiring gotongan budak sunatberdandan dengan rapih hingga laki-laki kelihatan cakap dan permpuan kelihatan Cantik. Di belakang rombongan tandu/gotongan budak sunatadalah grup jenaka. Grup jenaka ini adalah rombongan penghibur yang sengaja ditampilkan dalam helaran, mereka bergaya dan berjingkrak mengiringi suara tabuhan yang mengiring mereka. Mereka terus berjoget, bergaya, dan berjingkrak yang mengundang tawa seluruh penonton. Rombongan ioni adalah rombongan yang paling terakhir dari seluruh rombongan arak-arakan helaran. Arak-arakan helaran ini mengitari seluruh pelosok desa. Dan akan berhenti di depan Saung Baris kolot. Yakni tempat dimana mulainya mereka berjalan mengarak gotongan budak sunat. Arak-arakan akan berhenti kembali dengan menempati tempat masing-masing seperti semula, sebelum berangkat berkeliling.Pada akhirnya budak sunat akan turun dari gotongan dan akan dibawa oleh orangtuanya atau sanak saudaranya, mendekati areal sekitar saung Go’ong Geude/Gong Besar (Saung baris Kolot). Mereka kan berkumpul dihadapan saung tersebut untuk melakukan seni Baksa. 11.3) Kidung Budak Sunat Setelah seluruh budak sunat berkumpul di sekitar saung gong. Maka mereka akan dibariskan menghadap saung. Seorang baris kolot yang mewakili kasepuhan atau kasepuhan langsung tergantung situasi, akan membacakan kidung-kidung do’a, pujian dan pepatah (nasehat) yang diperuntukkan budak sunat. Kidung tersebut dibacakan dengan suara yang merdu, kebanyakan kidung berisikan tentang nasihat kepada budak sunat yang kelak menjadi manusia Isalam secara sempuran dan akan beranjak dewasa. Ketika Kasepuhan melantunkan kidung pujian dan do’a, ia sekali-kali menaburkan beras kuning dan merah ke arah budak sunat sebagai tanda agar budak sunat ini selalu diberkahi, mendapat keselamatan, rizki yang melimpah, dan menjadi manusia yang salih, dan senantiasa dilindungi dalam hidupnya oleh Tuhan Yang Maha Esa. 11.4) Ngabaksa (Tari Tua) Setelah kidung budak sunat usai, maka akan dilanjutkan dengan kegiatan ngabaksa. Kegiatan ngabaksa ini adalah kegiatan menarikan budak sunat oleh masing-masing keluarga.Budak sunat digendong oleh mereka yang akan menari yang biasanya dari kalangan laki-laki.Saat budak sunat sudah digendong, mereka akan menari dengan gerakan-gerakan yang sudah lazim dalam gerakan tari Baksa. Mereka menari dengan mengikuti suara tabuhan di atas saung Go’ong besar yang ditabuh oleh rombongan baris kolot. Gerakan-gerakan dalam rtari ini sangat unik. Menurut cerita kaum adat, tari ini adalah tari yang sudah berumur ratusan hingga rimbuan tahun. Jadi mungkin tari ini adalah jenis tari yang paling lama dipertahankan oleh masyarakat Adat Kasepuhan Citorek. Gerakan-gerakan tari ini melambangkan langkah-langkah dalam kehidupan yang harus pasti, bertanggungjawab, dan diharapkan setiap budak sunat saat dewasa nanti dalam mengarungi bahtera khidupan tidak pernah ragu-ragu untuk melaksanakan segala bentuk perjuangan kehidupan yang penuh dengan keyakinan, asalkan langkahnya dalam kehidupan adalah langkah-langkah yang baik, salih, dan bertanggungjawab sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan. 11.5) Neres Kegiatan neres meruapkan kegiatan yang dilakukan keesokan harinya. Neres dilakukan pada pagi hari, sebelum budak sunat disunat. Sebelum budak sunat disunatan ia akan dibawa ke sungai yang tidak jauh jaraknya dari tempat bengkong sebagai tempat untuk menyunat budak sunat. Malam sebelum dilakukan neres yakni membawa budak sunat ke bengkong. Di rumah masing-masing Sang Sohibul hajat akan digelar berbagai hiburan sebagai amalam puncak dari atau rangkaian kegiatan hajat nyunatan. Mereka menabuh berbagai jenis hiburan, seperti jaipong, dangdut, wayang golek, pongdut, organ, dan jenis hiburan lainnya sebagai tanda penghujung acara hajatan. Maksud dari kegiatan neres ini adalah agar budak sunat memiliki kekebalan dan kekuatan saat bagian kemaluannya dipotong. Kemaluan anak laki-laki dibersihkan menggunkan air dan dibacakan mantera-mantera tertentu oleh baris kolot. Apabila sudah dinggap cukup maka budak sunat akan dibawa ke tempat bengkong. Budak sunat ditemani oleh bela dan orangtuanya, ia lalu duduk di atas kursi yang telah disediakan untuk dilakukan pemotongan oleh bengkong. Budak sunat duduk diatas kursi dengan menggunakan alas daun pisang. Maka saat itulah budak sunat akan disempurnakan keislamannya. Apabila sudah selesai, maka budak sunat akan segera di bawa pulang kerumahnya masing-masing. Saat tiba dirumahnya, budak sunat langsung disambut oleh seluruh keluarga dan kerabat yang memberikan selamat. Merak menyawer pengantin sunat dengan uang yang banyak.Saat itulah budak sunat telah selesai dan tinggal menuggu masa kesembuhan. Ia telah dianggap sempurna sebagai umat Islam. 11.6) Bengkong Bengkong merupakan bagian dari perangkat Kasepuhan yang bertugas untuk menyunat budak sunat. Ia melaksanakan tugas dengan sederhana dan mengikuti aturan yang berlaku dalam adat. Bengkong merupakan orang yang memahami intrik kesehatan dan medis bagi budak sunat. Untuk jaman sekarang, bengkong masih tetap eksis dalam fungsinya walaupun banyak budak sunat yang disunat di rumah sakit. Sebagai alternatif dalam mengurangi segala resiko terhadap anak atau budak sunatnya. Hal ini tidak menjadikan masalah bagi semua pihak. 12) Upacara Adat Sidekah Bumi Maksud daru pacara tersebut adalah sebagai sebuah riual yang dilaksanakan apabila masyarakat atau pihak adat menganggap perlu terkait dengan kondisi pertanian dan keadaan tanaman-tanaman atau hasil pertanian mereka. Upacara Adat Sidekah Bumi dimaksdukan untuk menangkal segala sesutau gangguan hama dan sejenisnya yang dapat merusak dan menghabcurkan tanaman pertanian mereka. Sidekah bumi merupakan upacara adat yang dinggap jalan keluar terakhir apabila kondisi pangan masyarakat telah dinggap sangat kurang, yang hasilnya tidak baik dan mencukupi kebutuhan hidup mereka. Pada perkembangannya, uapacara adat yang satu ini saat ini tidak lagidilakukan. Selain terkait dengan cadangan pangan dan hasil pertanian yang selalu cukup bahkan melimpah, juga terkait dengan perkembangan sosial budaya dan pola pikir masyarakatnya, termasuk sosok Kasepuhan itu sendiri. Ia berpikiran lebih maju dan moderat, ia sebelum menjadi seorang ketua adat, pernah mengenyam pendidikan di salah satu perguruan tinggi Swasta di kota Bandung. Jadi nampaknya ia memilih dan memilah segala intrik yang berlaku dalam adat. Apakah masih perlu atau sudah tidak sejalan dengan kebutuhan masyarakatnya. Makna yang dapat diselami dari upacara tersebut adalah dari proses sidekah bumi dilakukan pemotongan kerbau. Secara khusus kepala kerbau tersebut akan dikubur dalam tanah. Secara simbolis bermakna membunuh sipat dan sikap kebinatangan manusia harus dikubur dalam-dalam dan harus dihindari oleh semua masyarakat adat. 13)NganyangPanganten Nganyang panganten merupakan suatu kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat Tradisi Kasepuhan Citorek. Apabila seorang telah melakukan pernikahan, maka ia akan menghadap Kasepuhan bersama rombongan keluarganya. Ia menghadap Kasepuhan melalui Jalan (semacam jabatan secretariat nehara), kedua orang pengantin baru akan diiringi oleh sanak keluarganya dan rombongan baris kolot dari pihak jalanuntuk menghadap Kasepuhan yang biasanya diterima oleh ketua adat di Rumah Timur (rumah Pagar). Kegiatan ini sebenarnya sama dengan tradisi di masyarakat Citorek non tradisi, yakni adanya kebiasaan nganyang panganten. Yaitu apabila sudah dilangsungkannya pernikahan, maka orang tua dari penganting perempuan akan membuat pasung (jenis makanan khas Masyarakat Citorek), dan ulen sebagai hidangan dalam pelakasanaa nganyang pengantin. Naganyang pengantin ini dilakukan oleh pihak orantua perempaun kepada pihak pengantin lak-laki. Hal ini adalah sebagai tanda sertrah terimanya anak-anak mereka yang telah berkeluarga dan menjadi keluarga besar mereka. Tradisi macam ini berlaku bagi seluruh masyarakat Kasepuhan Citorek. 3.4.3 Tradisi dalam Keseharian Masyarakat Citorek 3.4.3.1 Definisi Tradisi Tradisi merupakan suatu bentuk kebiasaan masyarakat di suatu tempat yang tergambar dalam pola kehidupannya sehari-hari. Tradisi dan kebudayaan hampir sama namun, tradisi lebih merujuk pada pengertian adanya suatu kebiasaan pola hidup yang tidak mengikat dalam kehidupan masyarakat adat suatu daerah termasuk Masyarakat Adat Citorek. Dalam hal ini tradisi dapat dikategorikan sebagai warna dalam kehidupan masyarakat yang tergambar dalam pola-pola kebiasaan yang disepakati yang keberdaannya disadari atau tidak oleh si pelakunya, termasuk tradisi dalam masyarakat Citorek saat ini. Pada dasarnya sulit untuk mengemukakan batasan dan pengertian tradisi secara pasti. Untuk menemukan batasan tradisi perlu ditinjau dari berbagai segi, baik secara sosiologi, psikologi, dan antropologi terutama yang terkait dengan ilmu yang memang secara khusus berkaitan dengan tradisi. Tradisi apabila kita bandingkang dengan kebudayaan terdapat hal yang hampir sama, hanya dalam hal ini nampak, bahwa kebudayaan memiliki batasan yang lebih luas dibandingkan dengan tradisi. Tradisi mengarah kepada segala kegiatan manusia yang mengarah kepada karya budi sebagai tujuan. Sedangkan kebudayaan mengarah kepada kerangka yang menyebabkan adanya tradisi. Jadi jelas bahwa kebudayaan memiliki tradisi dan tradisi terdapat dalam kebudayaan. Dalam kehidupan masyarakat Citorek terdapat beberapa pola kehidupan masyarakatnya yang dapat digolongkan sebagai sebuah tradisi, seperti tradisi naheun corak, naheun sosog, naheun buwu, naheun badodon, ngabedolkeun situ/kobak, ngabedolkeun sawah, ngaregreg, berok lauk, ngendogkeun, liliuran gawe, dan tradisi Nasi kabuli. 3.4.3.2 Tradisi Masyarakat 1) Tradisi Naheun Corak Tradisi naheun corak merupakan sebuah tradisi yang sudah sekian lama ada dan dijalankan oleh masyarakat Adat Citorek. Kebanyakan pelaku dari tradisi Naheun Corak ini adalah anak-anak. Naheun Corak merupakan sebuah tradisi yang sudah dinggap sebagai kebiasaan yang telah turun-temurun. Corak adalah sejenis alat untuk menangkap belut di pesawahan. Corak terbuat dari bahan bambu yang bagian-bagiannya sebagai berikut, yakni Ruas (bambu yang berukra sedang) yang dipotong secukupnya dari masing-masing buku bambu, bahan yang kedua dari Corak adalah sikur (anak corak) sebagai alat untuk menjerat belut yang sudah masuk ke dalam lubang bambu. Dalam hal ini sikur merupakan alat yang paling vital dalam menjerat ikan belut. Sikur terbuat dari bahan bambu yang sengaja di anyam sedmikian rupa hingga dapat di pasang di dalam lubang corak yang bermafaat untuk menipu ikan belut. Selain itu sikur juga berfungsi sebagai alat menyimpan umpan. Umpan yang biasanya digunakan dalam tradisi naheun corak adalah cacing tanah. Cara membuat Corak tidaklah begitu sulit. Bahan-bahannya dapat ditemukan dengan mudah, yakni di hutan-hutan sekitar wilayah Citorek. Adapaun jenis bambu yang biasanya digunakan untuk membuat corak adalah bambu Tali (Awi Tali) dan bambu Buluh(Awi Buluh). Bambu yang dijadikan bahan corak adalah bambu yang belum begitu tua, bambu bahan corak haruslah bambu yang tergolong masih muda. Setelah bambu diambil dari hutan maka biasanya bambu akan dipotong-potong menjadi ruas peruas. Selanjutnya dirapikan sedemikian rupa, setelah dianggap rapi, biasanya bagian kedua dalah membuat anyaman bambu yakni Sikur, alat ini biasa disebut anak corak. Maka apabila sebuah ruas bambu sudah dilengkapi dengan sebuah anak corak(Sikur), maka berarti corak sudah siap digunakan untuk menangkap ikan belut. Cara dalam memasang corak (Naheun Corak) disawah adalah sebagai berikut: a) Mencari umpan (Opan). Biasanya umpan mudah untuk didapat, yakni di tipa-tiap pematang sawah. Jenis umpan yang digunakan adalah cacing tanah. b) Setelah umpan dirasakan cukup, maka umpan dari cacing tanah akan dihaluskan dengan menggunakan batu atau alat lain yang dapat digunakan untuk menghaluskan umpan hingga dianggap cukup halus. c) Umpan yang sudah halus, akan dimasukkan ke dalam anak corak (Sikur). d) Setelah seluruh corak dipasang sikur, maka selanjutnya satu persatu corak akan dipasang di tengah sawah. Memasang corak tidak asal pasang namun, tanah yang sudah gembur di sawah akan digali sedikit lalu corak ditancapkan di dalam tanah lumpur, hingga hanya terlihat lubang bagian depanya saja. Jika telah selesai maka dipasang, maka keesokan harinya pada pagi hari, sesudah subuh anak-anak ramai mengambil corak yang kemarin di pasang. Pada saat anak-anak bangun pagi dan bersiap untuk mengambil kembali coraknya yang kemarin telah dipasang dengan penuh harap-harap dan kegirangan mereka berangkat bersama-sama untuk mengambil corak. Mereka berangkat mengambil corak biasanya cukup pagi yakni, sekitar pukul 05.00/atau ba’da Adzan Shubuh. Dalam kegirangan mereka yang penuh harap-harap mendapat ikan belut yang cukup banyak, mereka mengafresiasikan kegirannya itu dengan selalu bernyanyi bersama saat berjalan menuju sawah. Salah satu nyanyian yang mereka adalah sebagai berikut: O…. eo eo eo ah! O…. eo eo eo ah! O…. eo eo eo ah! Corak aing corak buluh, Diasupan belut. Pinuh! Dipaisna mani ngeunah! O…. eo eo eo ah! O…. eo eo eo ah! O…. eo eo eo ah! Dalam menyanyikan nyanyian ini biasanya mereka terus menerus saling bersahutan sejak turun dari rumah sampai mereka tiba di sawah yang dituju. 2) Tradisi Naheun Sosog Sosog termasuk salah satu tradisi masyarakat Citorek dalam menangkap ikan. Tradisi naheun sosog termasuk sebuah tradisi yang musiman. Yakni hanya pada musim ngabedolkeun sawah/nyogolan dan yang paling dianggap baik adalah saat cuaca selalu hujan. Sosog biasanya di pasang pada sore hari dan akan diambil/diangkat pada pagi harinya untuk mengambil ikan yang sudah terperangkap dalam sosog. Sosog ini di pasang pada kokocor sawah ( saluran pengairan antar sawah). Jika musim hujan cukup sering dan panjang (usim ngijih), maka bisanya sosog di pasang pada kokocor sawah sebanyak dua kali yakni pada siang hari dan malam hari. Sosog terbuat dari bambu yang cukup besar dengan rata-rata ukuran 10 dia meter. Pada saat prosesnya bagian ujung sosog akan dibelah-belah kecil secukupnya lalu dianyam dengan menggunakan tali (ikatan) dari bahan bambu. Apabila sudah selesai bagian atas sosog akan terbuka lebih lebar seperti buaya yang sedang membuka mulutnya. Ukuran hasil anyaman pada ujung sosog rata sekitar 20 cm yang selanjutnya akan difungsikan sebagai alat jerat ikan yang turun dari sawah melalui kokocor. 3) Tradisi Naheun Buwu Buwu adalah jenis alat untuk mengambil ikan yang biasanya digunakan oleh masayarakat Citorek dari semua lapisan dan usia serta latar belakang. Buwu biasanya dipasang bukan hanya dikokocor sebagaimana dalam sosog. Buwu ternyata lebih banyak fungsinya, yakni bukan hanya dapat dipasang pada kokocor sawah namun dapat pula di pasang pada congcorowokan.Buwu ternyata dapat berfungsi sesuai dengan jenis buwunya. Adapun jenis buwu adalah sebagai berikut: a) Buwu Diuk Buwu diuk biasanya digunakan pada saat mengambil ikan dengan teknik ngarak-rak paimahan, ngaregreg, dan dipasang di leuwi-leuwi sungai.Buwu jenis ini terbuat dari bahan bambu yang teknik dan model pembuatannya mirip dengn sosog (lihat atas). b) Buwu sosog Buwu Sosog ini digunakan pada saat mengambil ikan di sawah dan dapat pula di pasang di kokocor. Bahan pembuatan jenis buwu ini adalah sapu lidi yang dianyam dengan menggunakan simpai dari rotan. Buwu model ini terbagi dua bagian yang paling penting yakni, induk buwu dan anak buwu. Induk Buwu berfungsi untuk menampung ikan yang sudah terejebak di dalamnya, sedangkan anak buwu berfungsi sebagai jeratannya, karena anak buwu inilah, biasanya ikan yang sudah masuk melalui celah dalam anak buwu dan masuk dalam ruang buwu induk tidak dapat keluar kembali. Buwu model ini pula yang bisanya digunakan untuk menangkap ikan Lubang (buwu lubang). 4. TradisiNaheun Badodon Badodon adalah jenis alat penangkap ikan yang khusus di pasang di sungai-sungai yang cukup besar dan deras. Dalam memasang badodon di sungai dianggap cukup rumit dan sulit namun tergantung dari besar dan arus sungai itu sendiri. Sebelum memasang alat penjerat ikan pada tang badan sungai terlebih dahulu harus membuat bendungan yang sederhana dengan menggunakan batuan yang tersedia di sungai. Badodon biasanya sengaja di pasang pada parung sungai. Parung sungai merupakan bagian badan sungai yang biasanya berarus air deras.Bagian-bagian yang disebut badodon adalah adalah sebagai berikut: a) Tanggul Badodon. Yaitu bagian bendungan yang berfungsi untuk memusatkan arus air ke pusat pasangan badodon. Tanggul ini biasanya sederhana ydan terbuat dari batuan sungai yang ditumpuk menyerupai bendungan (dam). b) Puser Badodon. Yaitu pusat arus air sungai yang sudah terp[usat yang megikuti aluran bendungan dari batuan sungai sehingga arus air sungai yang megalir kehilir memusat pada pasangan badodon yang terbuat dari bambu-bambu yang dipasang di tengah pusar. c) Sosog Badodon. Yaitu alat penjerat ikan yang dipasang tepat pada ujung arus air yang sudah memusat pada puser badodon. Memasang sosog badodon bukanlah pekerjaan yang gampang. Dalam prosesnya memerlukan tanaga, keahlian dan waktu yang cukup banyak. 5. Tradisi Ngaregreg Ngaregreg adalah salah satu teknik pengambilan ikan disungai-sungai terutama pada bagdan sungai yang dianggap banyak ikannya dan tidak berarus air deras.Tradisi jenis ini bisanya dilakukan oleh lebih dari satu atau dua orang, bahkan bisa mencapai puluhan orang apabila ngaregreg badan sungai yang besar dan dianggap sebagai tempat bersemayamnya ikan yang banyak. Ngaregreg selalu menggunakan buwu sebagai alat Bantu menangkap ikannya, selain utu juga digunakan saringan yang bisanya disebut sair. Ngaregreg bisanya membendung bagian sungai yang berarus lemah serta mengurangi air yang ada untuk memudahkan penangkapan ikan. Air yang sudah dibatasi oleh tanah atau sejenisnya dengan tujuan menghindari adanya kebocoran air akan di tawu (dibuang) dengan menggunakan peralatan yang secukupnya hingga air dalam lingkaran menjadi surut. Pada saat air sudah surut maka dapat dikatakan sudah siap untuk menangkap ikan. 6. Tradisi Berok Ikan/Rangkeng Ikan Tradisi ini lebih merupakan alat atau tempat penangkaran ikan. Terutama ikan emas. Masyarakat Citorek selain membuat balong untuk ikan sebagai tempat tempat penangkaran ikan juga selalu menggunakan pengkaran ikat yang di sebut sebagai rangkeng luk atau berok ikan.Berok atau rangkeng ini biasanya dipasang disungai-sungai besar yang airnya cukup deras, namun dalam memasang berok ikan atau rangkeng ikan ini biasaya dipilih bagian-bagian badan sungai yang memiliki atus sungai tidak deras. Dengan kata lain fungsi berok/rangkeng adalah sebagai tempat menyimpan ikan emas atau penangkaran ikan. Berok atau rangkeng terbuat dari bahan kayu yang sangat kuat dan dibuat meyerupai kubus. Pada sisi kanan dan sisi kiri ditutup dengan sangat rapat sebagai bagian badan berok yang memeperkuat berok terhadap arus sungai yang sekli-kali terjadi banjir. Pada sisi ini selalu dipasang batu-batu besar untuk memperkuat berok dari air yang deras. Pada bagain depan dan belakang bagian-bagian kayu dipasang dengan menggunakan senggang antar kayu yang dibelah dengan lebar sekitar 5 cm. Senggang atau jarak antar pasangan kayu ini berfungsi sebagai aliran air yang cukup untuk ikan di dalam berok tersebut. Bagian atas berok ditutup dengan menggunakan papan kayu tebal yang terbuat dari bahan kayu yang sudah kuat. Jenis-jenis kayu/pohon yang biasanya digunakan sebagai bahan membuat berok adalah kayu Jurang, Rasamala, Huru, Huru Batu, Ki Kawat, Ki Besidan kayu lainnya yang dinggap berkualitas baik. Selain itu ada pula berok yang terbuat dari bahan bambu, namun sifatnya hanya sementara dan di pasang hanya di sawah, di balong, atau di tepat lain yang dinggap aman dari arus sungai karena bahannya yang sederhana dan tidak menjamin keamanan. 7. Tradisi Ngendokeun Lauk Ngedogkeun (mengawinkan induk betina dan induk jantan ikan Mas agar bertelur). Istilah ini maksudnya adalah mengawinkan ikan sebagai teknik pengembangbiakan. Ikan yang masih bentuk telur dibiarkan hingga menjadi besar yang nantinya pada saat melakukan kegiatan nyogolan dijadikan sebagai pupulur yang bekerja. Tradisi ngendogkeun (mengawinkan) induk betina dan induk jantan dalam masyarakat Citorek sudah menjadi suatu tradisi yang dilakukan oleh semua masyarakat dalam sistem pertaniannya. Hal ini semata-mata sebagai bentuk swadaya ikan dan pengembangan ikan emas terutama, yang dapat mencukupi kebutuhan lauk pauk dalam kehidupan sehari-hari. 8. Tradisi Moro Peusing (Trenggiling) Moro Peusing/berburu Peusing sudah menjadi kebiasaan dan rutinitas masyarakat Citorek. Tradisi ini sudah ada sejak lama dan terus secara turun temurun dipertahankan. Hingga kini tradisi moro peuising masih dilakukan oleh masyarakat Citorek. Tradisi yang satu ini tergolong ke dalam tradisi yang bersifat musiman. Biasanya mereka (Pemburu) sudah hapal dan mengenal kebiasaan binatang peusing itu sendiri. Mereka dalam pelaksanaan moro peusing ini tidaklah mengandalkan kecepatan atau bahakan mereka tidak menggunakan binatang anjing yang biasanya digunakan untuk berburu. Dalam berburu Peusing, mereka cukup dengan mempelajari gelagat dan kebiasaan binatang peusing itu sendiri, yakni hidup di atas pohon bisa pula di dalam goa. Biasanya dengan hanya mengenal bekas kaki peusingnya saja tanpa banyak menguras tenaga. Jika bekas kaki peusing sudah ditemukan amaka jalurnya akan diikuti, biasanaya hingga pada sarangnya. Saat ini tradisi berburu trenggiling sedikit menurun mengingat adanya undang-undang perlindungan hewan jenis ini. 9. Tradisi Ngalasan Buah Saninten Tadisi ngalasan buah Saniten meruapakan tradisi masyarakat Citorek yang dilakukan secara bermusim pula. Adanya perilaku musiman ini lebih disebabkan karena pohon Saninten berbuah hanya pada waktu-waktu tertentu saja. Biasanya Saninten berbuah pada tiap tahun, namun pada tiap tahun itu belum tentu buahnya dapat dianggap beneur (berisi). Dalam masa empat tahun berbuah, hanya satu tahun yang mendatangkan buah yang melimpah pada sela satu tahun dari empat tahun itulah yang biasanya banyak masyarakat yang berbondong-bondong mengambil buah saninten di hutan belantara. Yang mesti diingat adalah jenis pohon saninten ini secara fisik mirip dengan rambutan, hanya saja jika buah rambutan tidak tajam bulu pada buahnya sedangkan buah saninten tajam dan di dalamnya ada tempurung yang cukup keras. Buah saninten dapat dogolongkan sebagai buah hutan liar yang tumbuh dihutan-hutan belantara. 10. Tradisi Kokodok Lauk Tradisi Kokodok Lauk mungkin dapat kita golongkan pada kebiasaan sehari-hari, mengingat si pelakunya merupakan masyaraklat dari semua kalangan dan dari semua usia. Tradisi ini dilakukan tidak secara musiman namun, jika ingin dilakukan tiap hari pun dapat pula dilakukan.Kokodok pada dasarnya hampir sama maksudnya, yakni untuk mencari ikan. Yang membedakannya dari teknik mengambil ikan yang lain adalah bahwa kokodok dilakukan dengan mencari lubang-lubang yang dianggap agem atau baik untuk dihuni ikan. Jika sudah diketemukan maka liang/goa kecil yang dianggap akan ada ikannya akan dikodok atau tangan kita dimasukan ke dalam lobang itu secukupnya untuk mengambil ikan. Ikan yang biasanya didapat dari kokodok adalah ikan lele, ikan belut, ikan nenel, ikan berelut, ikan sarelot, ikan benteur, ikan emas, ikan sepat, ikan mujair, dan jenis ikan lainnya. 11. Tradisi NgalasanHumut Ngalasan humut adalah sebuah kebiasaan dan teradisi masyarakat Citorek dalam mengisi waktu senggannya. Tradisi ini dapat digolongkan sebagai sebuah tradisi yang musiman pula, mengingat kebanyakan masayarakat pelakuknya melakukan kegiatan ngalasan humutini adalah pada waktu-waktu tertentu saja. Waktu yang biasanya dipilih sebagai waktu yang tepat untuk ngalasan humut adalah pada saat bulan Ramadhan (Shaum), ketika adanya upacara Hajatan, dan upcara-upcara lainya. Dari segi tujuanny ngalsan humut ini adalah mengambil sebagian pohon yang dapat atau bisa dimakan serta tidak berbahaya bagi kesehatan dan tubuh manusia. Biasanya humut (gali) dijadikan sebagai lalap-lalapan dalam tradisi makan di tatar Sunda. Tumbuhan yang bisanya diambil humutnya adalah pohon aren (Kaung), pohon kelapa (nyiur), pohon bimbin, tumbuhan bubuaydan lain sebagainya. 12. Tradisi PaimahanLauk Tradisi paimahan lauk dalah sejenis teknik mengambil ikan di sungai-sungai yang biasa dilakukan oleh masyarakat dari semua kalangan dan usia. Paimahan secara maknawi dapat diartikan sebagai perumahan. Maka dapat kita ambil definisi bahwa paimahan lauk dalah perumahan ikan. Artinya masyarakat dalam menjaring ikan dengan cara menggunakan teknik membuat rumah-rumahan untuk ikan bersembunyi. Paimahan bisanya dibuat disungai-sungai yang cukup besar dan mengambil tempat yang tidak begitu deras, bahkan sama sekali tidak deras. Bahan dalam pembuatannya, amatlah sederhana, yakni dengan hanya membuat tumpukan-tumpukan batuan di dalam sungai di bagaian yang dianggap paling dalam sebagai tempat untuk ikan bersembunyidari segala gangguan. Jika sudah sekitar 1 (satu) sampai 2 (dua) bulan, maka biasanya paimahan akan segera dibongkar dan diambil ikannya yang sudah terjebak di dalam paimahan. 13. Tradisi MarakLauk Marak adalah salah satu teknik pengambilan ikan disungai-sungai terutama pada bagdan sungai yang dianggap banyak ikannya dan tidak berarus air deras. Tradisi jenis ini bisanya dilakukan oleh lebih dari satu atau dua orang, bahkan bisa mencapai puluhan orang apabila Marak badan sungai yang besar dan dianggap sebagai tempat bersemnayamnya ikan yang banyak. Marak selalu menggunakan buwu sebagai alat Bantu menangkap ikannya, selain utu juga digunakan saringan yang bisanya disebut sair. Marak bisanya membendung bagian sungai yang berarus lemah serta mengurangi air yang ada untuk memudahkan penangkapan ikan. Air yang sudah dibatasi oleh tanah atau sejenisnya dengan tujuan menghindari adanya kebocoran air akan di tawu (dibuang) dengan menggunakan peralatan yang secukupnya hingga air dalam lingkaran menjadi surut. Pada saat air sudah surt maka dapat dikatakan sudah siap untuk menangkap ikan. 3.4.3.3 Permainan yang Dikategorikan Tradisi Selain tradisi-tradisi yang telah diuraikan di muka, maka beberapa hal yang dapat dikategorikan sebagai tradisi yang ada dalam kehidupan masyarakat Citorek. Permainan meruapakan sebuah corak dan bentuk afresiasi masyarakat dalam membina kehidupan bermasyarakat, sebagai masyarakat pedesaan yang bersahaja yang memiliki karateristik. Dalam uaraian berikut peniulis mencoba untuk menguraikan beberapa permainan yang sudah memasyarakat dan bersifat turun –temurun dari kenerasi-kegenerasi, hingga dianggap sebagai sebuah tradisi, dianataranya adalah: 1) Tradisi Permainan Tumpak Gorobag/Padati (Pedati) Tradisi permainan tumpak gorobag (grobag) atau biasa disebut pedati, merupakan sebuah tradisi yang dilakukan oleh anak-anak dan remaja. Permainan ini secara turun temurun dari tiap generasi dan hingga kini masih dapat dilihat dalam perilaku masyarakat Citorek. Pedati atau grobag yang dimaksud di sini berbeda dengan grobag atau pedati yang kita kenal di perkotaan. Diperkotaan pedati atau grobak biasanya berbentuk segi empat untuk tumpangan barang atau bahkan jasa angkutan dan biasanya ditarik oleh manusia atau hewan seperti kuda dan sapi. Sedangkan untuk pedati atau gerobag yang ada dalam masyarakat Citorek adalah grobag yang dibuat sederhana dan digunakan untuk tumpangan anak-anak yang suka bermain dengan menggnakan grobag, dapat pula grobag atau pedati inin dianggap sebagai pengganti sepeda bagi anak-anak desa saat mereka belum mengenal sepeda atau kendaraan sejenisnya. Grobak yang digunakan bermain oleh anak-anak Citorek adalah gerobak atau pedati yang terbuat dari kayu dan bambu. Roda yang digunakan untuk pdati terbuat dari kayu gelondongan yang dibuat tipis meyerupai ban mobil dan beroda empat. Tempat duduk sebagai jok dalam grobak atau pedati ini terbuat dari bahan bambu. Sedangkan untuk bahan gardan dan sasis terbuat dari bahan kayu yang cukup kuat. Jangan kita sangka jenis kendaraan tradisi anak Citorek ini tidak memnggunakan oli, oli digunakan dalam, kendaraan ini untuk melincinkan putaran roda dalam gardan kendaraan. Oli yang dugunakan dibuat sendiri yakni dati hasil sadapan getah pohon karet yang dikeringkan secukupnya lalu dicampur dengan minyak tanah dan selanjunya aduk-aduk hingga minyak dengan getah karet menyatu. Cara menggunakannya dalah dengan cukup hanya memoleskan oli tersebut kebagian putaran roda dengan gardan pedati. 2) Tradisi Permainan Manyer Kolecer (Kincir) Tradisi Permainan Kolecer (kincir) ini merupakan sebuah tradisi yang dapat dikategorikan sudah sejak lama ada dan tidak dapat diketahui kapan munculnya tradisi tersebut. Hal yang paling umum dalam tradisi ini adalah adanya suara kolecer (kincir) yang bersuara bermacam-macam. Ada sebuah istilah bahwa suara kolcer itu sangat Indah, sebab ada suara nyeguknya.Bentuk fisik kolecer tersebut sebenarnya sangat sederhana, namun pada dasarnya sulit dalam proses pembuatannya. Kerumitannya yang paling urgen adalah prinsip keseimbangan dalam membuat bentuk kolecer/kincir itu sendiri. Bahan yang digunakan biasanya dapat dari bahan kayu dan dapat pula menggunakan bambu. Yang paling umum adalah penggunaan bahan kolecer / kincir dari kayu (pohon). Masyarakat penggemar kolecer biasanya dari semua usia mulai dari anak-anak hingga orangtua. Anak-anak biasanya menggunakan kolecer yang dibuat dari bahan bambu, sedangkan kolecer yang dibuat dari bahan kayu/pohon bisanya digunakan oleh orangtua. Dalam hal ini dapat dimaklumi, karena memang sesuai dengan tingkat kesulitan dan kerumitannya dalam proses pembuatannya. Hingga saat ini tradisi manyerkolecer masih bertahan dan masih digandrungi oleh semua kalangan di tengah masyarakat Wewengkon Citorek. Istilah manyer kolecer adalah sebagaimana bentuk fisiknya, kolecer yang sudah dibuat akan dipasang di atas tiang yang dibuat dari potongan batang bambu. Intinya pamanyer (tiang Pemancang) dalam bahasa Indonesia biasa disebut tiang Kolecer (tiang kincir). 3) Tradisi Permainan Kekeboan Permainan kekeboan atau bermain kerbau dilakukan oleh anak-anak sebagai pengganti mainan lain. Mainan kebo-kebioan ini diabuat dari pelepah phon kelapa yang masih berwaran hijau namun sudah tua. Pelepah akan dipotong-potong sekitar 15 cm panjangnya dan direka-reka. Bagian belakang lebih besar dan bagian depan lebih kecil atau lebih lancip. Bagian depan dianggap sebagai kepala kerbau. Setelah pelepah disipkan, maka yang berikutnya adalah pembuatan tanduk kerbau. Tanduk kerbau ini dibuat dari tempurung kelapa yang keras. Setelah tempurung dipasangkan apda bagian pelepah yang telah dipotong dan direka tadi maka jadilah mainan itu sebagai mainan kerbau (permaianan kerbau-kerbauan). Selanjutnyaanak-anak pemilik kerbau-kerbauan siap beraksi. 4) Tradisi Permainan Kucing-kucingan(Aro-aroan) Permainan ini sejak lama telah ada dalam masyarakat Citorek. Permainan jenis ini dilakukan oleh anak-anak dan remaja. Permainannya memerlukan banyak anggota, dan biasanya dilakukan pada saat mereka beremain disungai atau pada saat sore hari ketika orangtua mereka baru tiba dari sawah dan ladang. Permainan ini menggunakan sistem tuduhan “aro” (gatal) maka yang dituduh aro atau gatal tadi akan mengejar-ngejar anggota lainnya untuk memindahkan gatalnya. Jika salah satu anggota dari permainan ini sudah tertular maka si tertilar akan kembali mengejar yang liannya. Begitulah terus permainan ini dilakukan dan berlamngsung hingga ada kesepakatan antara anggota untuk berhenti atau menghentikan permainan ini. 5) Tradisi Permainan Susumputan (Petak Umpet) Permainan ini barangkali tidak jauh beda dengan daerah lainnya di masyarakat suku Sunda. Permainan petak umpet ini dibagi menjadi dua kelompok. Dari masing-masing kelompok biasanya terdiri dari beberapa orang. Sebelum petak umpet dilakukan maka terlebih dahulu diadakan kesepakatan antar kelompok mengenai aturan permainan. Konsepnya dalah satu kelompok akan bersembunyi dan tiap anggota bersembunyi secara menyebar. Jika tempat perembunyiannya telah diketemukan dan seluruh anggota telah diketemukan pula, maka selanjutnya dalah giliran kelompok berikutnya untuk bersembunyi. Begitulah selanjutnya permainaan tersebut dilaukan. 6) Tradisi Permainan Kasti Permainan kasti ini sudah merupakan permainan yang bersifat nasional, bedanya dengan masyarakat Citorek adalah bahwa masyarakat Citorek sebagai pelau kasti bersifat terbatas yakni, hanya anak-anak dan remaja belaka dan bahan bola yang digunakan pun tergolong sederhana, yaitu terbuat dari buah jeruk yang sengaja dibuatkan untuk dijadikan sebagai bola dalam permaianan kasti yang mereka lakukan. 7) Tradisi Permainan Congklak. Permainan ini meruapakan permainan yang cukup unik namunmemerlukan perhitungan yang matang pula. Permainan congklak ini akan berlangsung antar kelompok. Bahan congklak terbuat dari kayu kecil. Congklak anak dan congklak induk. 8) Tradisi Permainan Gobag (Cipek). Permainan ini dilakukan kebanykaan oleh anak-anak wanita. Permainan yang satu ini tergolong sebagai permainan yang banyak menarik kaum wanita. Permianan ini bisa dilakuka oleh satu atau dua orang dalam satu kelompok. Sebelum permainan dilakukan, terlbih dahulu anak-anak akanmembuat garis sebagai sarana bermaian gobag atau cipek. Tiap kotak berukuran sekitar 60x60 cm yang berfungsi sebagai injakan bagi si pemain. Jika dari salahsatu anggota atau kelompok ada yang menginjak garis saat bermainan maka dianggap mati dan selanjutnya akan diselang oleh lawannya. Diselang maksudnya adalah digantikan dan lawannya hars menunggu pula hingga lawannya yang sedang bermain cipek dapat dianggap mati permainannya. 9) Tradisi Permainan Bebentangan. Permaian bebentangan merupakan permainan anak-anak yang memerlukan banyak anggota antara 10 smpai 30 orang. Permainan ini biasanya anak-anak akan saling berpegangan tangan dengan sangat kuat dan melingkar. Satu orang yang berdiri di tengah dilingkari oleh anak-anak yang lain dianggap sebagai bentang yang harus menabrak pegangan yang lain hingga terlepas. Apabila telah terlepas maka ia akan menggabungkan diri berpegangan tangan dengan yang lainnya dan sebagai pengganti bentangnya adalah yang berhasil dilepaskan pegangan tangannya pada saat si bentang menabrakkan badannya tadi. Demikia permaianan itu terus berlangsung. 10) Tradisi Permainan Pane. Permainan ini termasuk ke dalam bentuk permainan anak-anak. Permainan pane dapat dibagi menjadi dua (2) yaitu pane kecil dan pane besar. Teknik permainan ini adalah melindungi batu yang dianggap sebagai beneteng pertahanan. Kelompok yang melindungi benteng akan berusaha keras agar musuhnya tidak dapat menjangkau atau bahkan menyentuh benteng yang mereka lindungi. Apabila ternayata musih dapat menyentuh benteng (pane) tersebut maka dapat dianggap kalah. Dan selanjutnya giliran kelompok lainnya yang akan bertugas mengalahkan kelompok berikutnya yang melindungi benteng. 11) Tradisi Permainan Galah. Permainan galah merupakan permainan yang berkelompok. Permainan ini menggunakan garis segi empat di dalamnya terdapat beberapa garis dan ruang yang membentuk kota-kotak.Kelompok pertama adalah kelompok yang bertugas menjaga garis. Sedangkan kelompok kedua bertugas untuk melewati garis yang dijaga ketat oleh kelompok lain. Jika pada saat melewati garis ternyata dapat disentuh oleh penjaga garis makadengan hal itu dinyatakan kalah. Penjaga garis dibagi menjadi beberapa bagian dengan nama yang berbeda sesuai dengan fungsi penjagaannya itu sendiri. Berikut adalah anama-nama penjaga garis, yakni. 1) Penjaga serepet. 2) Penjaga Pangasinan. 3) Penjaga Gelandang: a) Gelandang 1 b) Gelandang 2 c) Gelandang 3 Perlu diketahui bahwa jumlah gelandang tidak terbatas. Banyaknya gelandang bergantung pada jumlah anggota yang ikut permainan. Apabila anggota permainan banyak maka gelandang aklan banyak pula. Gelandang bertugas menjaga garis tengah. 12) Tradisi Permainan Damdas. Damdas merupakan jenis permainan yang mirip dengan permainan catur. Permainan ini dimainkan oleh dua orang. Saat melakukan permainan ini diperlukan alas yang cukup untuk mebuat petak dan garis sebagai lintasan bagi pasukan dalam permainan. Yang pasti permainan damdas mirip dengan catur hanya bedanya terletak pada garis lintas dan bentuk papan permainan serta jenis pasukannya juga tentunya aturan jauh berbeda pula. 13) Tradisi Permainan Riri Jamuri Permainan ini dapat dialakukan oleh banyak anggota permainan. Anak-anak yang akan bermain permainan ini terlebih dahulu akan menentukan dua orang yang disebut sebagai kucing dan satu orang lagi disebut sebagai ayam. Setelah menentuan hal ini maka kelompok akan melingkar atau membuat lingkaran dengan dengan pegangan tangan yang kuat. Si Ayam akan lari karena dikejar oleh kucing. Saat itulah kelompok yang membentuk lingkaran dengan pegangan tangan akan bernyanyi memanggil-manggil ayam yang sedang dikejar-kejar oleh kucing untuk diselamatkan.Nyanyian yang biasa dinyanyikan oleh anak-anak kelompok anggota melingkar adalah sebagai berikut. Riri jamuri, jamuri jamu naon. Kurrrrrrrrrrrrr..! Kotok! Riri jamuri, jamuri jamu naon. Kurrrrrrrrrrrrr..! Kotok! Riri jamuri, jamuri jamu naon. Kurrrrrrrrrrrrr..! Kotok! Riri jamuri, jamuri jamu naon. Kurrrrrrrrrrrrr..! Kotok! Riri jamuri, jamuri jamu naon. Kurrrrrrrrrrrrr..! Kotok! Riri jamuri, jamuri jamu naon. Kurrrrrrrrrrrrr..! Kotok! Pada saat mereka sedang bernyanyi itulah si ayam akan tiba dengan dikejar-kejar oleh kucing. Si ayam akan masuk dalam lingkaran setelah diberi jalan oleh lingkaran tadi untuk dislematkan. Dan si kucing selalu berusaha untuk masuk dalam lingkaran. Apabila si kucing berhasil masuk lingkaran, maka si ayam akan secepatnya dikeluarkan dari lingkaran untuk berlari. Jika si kucing sudah ada dalam lingkaran maka ia ingin keluar namun selalu dijaga ketat oleh lingkaran tadi. 14) Tradisi Permainan Main Kaleci. Permainan tradisional ini pada dasarnya sudah merupakan tradisi bagi masyarakat secara global termasuk masyarakat Citorek. Yang menjadi embeda dalam permainan Kaleci pada masyarakat Citorek adalah jenis klerengnya, yakni jenis klereng yang dugunakan dalam permainan kelreng oleh anak-anak Citorek berasal dari buah gompong yang sudah matang dan berwarna hitam atau kecoklatan. Buah gompong bisa didapatkan dihutan-hutan sekitar Citorek. 15) Tradisi Permainan Jajangkungan. Tradisi ini bukan haya dilakukan oleh anak-anak Citorek belaka, namun sebagian besar suku-suku bangsa di tanah air mengenal permainan jajangkungan ini. Permainan ini merupakan permainan yang cukup beresiko mengingat faktor ketinggian bambu yang digunakan sebagai pijakan dalam jajangkungan. Bambu yang sudah dibuat jajangkungan akan dinaiki dan orang yang menaikinya akan berjalan mengunakanbambu itu. Maka permainan ini disebut sebagai permainan jajangkungan. 16) Tradisi Permainan Beklas Perminan beklas pada anak-anak Citorek tidaklah lazim seperti pada anak-anak diperkotaan. Pada anak-anak Citorek permainan ini menggunakan batu-batuan yang dipilih secara sengaja. Batu-batuan itu mereka pilih di sungai saat mereka mandi bersama. 3.5 Sistem Ilmu dan Pengetahuan 3.5.1 Konsep Konservasi Hutan Wewengkon Adat Kasepuhan Citorek Lingkungan alam paling primer bagi masyarakat Kasepuhan adalah hutan yang merupakan sumber kehidupan. Hutan di sekitar Citorek secara adat dibedakan sesuai dengan fungsinya. Di Citorek dikenal 3 (tiga) jenis hutan, yakni: 1) LeuweungTutupan Leuweung Tutupan atau Leuweung Geledegan arti harfiahnya adalah hutan tua, yaitu hutan yang masih lebat dengan berbagai jenis tumbuhan asli besar dan kecil, lengkap dengan semua satwa penghuninya. Hutan jenis ini sama sekali tidak boleh dijamah oleh manusia, dalam istilah secara umum oleh pihak perhutani terutama disebut hutan primer. Hutan jenis ini menurut Adat Kasepuhan Citorek tidak boleh dirusak karena dianggap sebagai pelindung kehidupan atau seumber kehidupan, intinya merupakan sumber mata air (hulu cai’). Contoh jenis hutan ini adalah kawasan hutan di dalam TNGHS (Taman Nasional Gunung Halimun Salak). Yang mengelilingi wilayah Citorek. 2) LeuweungTitipan (Hutan Titipan) Leuweung Titipan merupakan Leuweung Kolot juga yang dikeramatkan. Hutan jenis ini sama sekali tidak boleh dieksploitasi atau diganggu. Bahkan hanya untuk melewatinya atau memasukinya saja cukup sulit. Setiap warga yang hendak lewat atau masuk ke dalam hutan jenis ini harus meminta ijin khusus dari Sesepuh (ketua adat). Penggunaan hutan tersebut dimungkinkan apabila telah datang ilapat/wangsit dari nenek moyang kepada ketua adat. Adanya jenis Leweung ini lebih memudahkan pemerintah dalam melaksanakan perlindungan hutan dan kawasannya yang sejalan dengan prinsip-prinsip Masyarakat Adat Citorek dalam melestarikan dan melindungi hutan dari segala bentuk pengrusakan dan bahkan penjarahan.Leuweung Titipan di Citorek terletak di bagian timur, yakni di Gunung Ciawitali yang merupakan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), dan di bagian barat Citorek, tepatnya di kawasan Gunung Nyungcung (Cibedug) dan Gunung Bapang. Leuweung titipan yang paling dominan adalah dikenal dengan hutan Sangga Buna dan hutan Lebak Cawene. 3) Leuweung Bukaan/Garapan Leuweung Sampalan atau Leuweung Bukaan merupakan hutan yang dapat dimanfaatkan warga untuk pembukaan ladang, pengembalaan ternak (kerbau), membuat petak sawah, mengambil kayu dan hasil hutan lainnya. Jenis hutan ini terletak di sekitar tempat pemukiman dan mengelilingi perkampungan Citorek. Jika pembukaan hutan tersebut telah melibatkan penanaman kayu albasia dan sejenisnya atau kayu keras lainnya dan terjadi pertumbuhan sekunder, maka hutan jenis ini disebut juga sebagai reuma ngora (blukar baru), dan reuma kolot (blukar tua) bagi yang prosesnya lebih lanjut. Jenis hutan ini kondisi pada saat ini telah mengalami berbagai penggarapan seiring makin meningkatnya kesadaran masyarakat untuk memanfaatkan lahan-lahan tersebut untuk menanam berbagai jenis pohon produksi dan buah-buahan. Kebiasaan berladang secara berpindah-pindah telah ditinggalkan oleh masyarakat Adat Kasepuhan Citorek. Mereka dalam melaksanakan bercocok tanam kini telah menetap dan berusaha untuk mengindari kerusakan hutan dan ekosistemnya dari akibat pembukaan dan penggarapan lahan dari leweung bukaan tersebut. Pembagian peruntukkan hutan secara adat tersebut menunjukkan bahwa dalam kearifan adat, disadari sepenuhnya fungsi hutan untuk konservasi. Dalam hal ini hutan sebagai hulu/sirah cai’, yang mempunyai pengertian secara harfiah adalah kepala air, yang dimaksudkan sebagai pelindung mata air. Secara tradisi/adat masyarakat Adat Kasepuhan Citorek menyadari bahwa hutan sangat berperan dalam mempertahankan kelangsungan mata air dan tersedianya air. Hal ini tidak berbeda dengan konsep ilmu pengetahuan modern. 3.5.2 Sistem Kalender dan Pengetahuan Astronomi Dari kukuhnya masyarakat Kasepuhan Citorek memegang dan mematuhi kearifan trdisional nenek moyang tersebut berdampak positif, yaitu terlestarikannya jenis padi tradisional yang dimiliki masyarakat Tradisi. Secara sengaja masyarakat Kasepuhan Citorek menjaga bahkan memperkaya dengan cara tradisional varietas padi sehingga bertambah banyak jenis padi berharga yang menjadi gudang plasma nutfah. Secara umum masyarakat Citorek yang mayoritas petani telah mengetahui dan memahami, varietas padi yang mana yang cocok untuk ditanam ditempat yang berbeda dengan ketinggian yang berbeda pula. Sampai saat ini masyarakat Kasepuhan Citorek memiliki sampai 148 varietas padi lokal. Dengan demikian telah jelas bahwa, kearifan Tradisional masyarakat Kasepuhan Citorek telah melestarikan plasma nutfah padi. Mungkin di masyarakat lain atau masyarakat di luar komunitas Kasepuhan Citorek telah punah tersisih padi bibit unggul hasil revolusi hijau. Jika ditelaah lebih jauh dan mendalam, masyarakat Kasepuhan Citorek dalam bercocok tanam baik sawah atau huma meiliki patokan waktu musim tanam yang dihitung secara jeli dan matang berdasarkan pedoman astronomi. Perhitungan waktu tersebut berdasarkan munculnya rasi bintang atau bahkan planet tertentu, serta peredaran bulan mengelilingi bumi. Dikalangan kelompok elit Kasepuhan Girang, para saksi ada yang betugas mengurus urusan tani yang berkewajiban dan bertanggungjawab menghitung waktu yang sesuai dengan tiap tahapan dalam bertani. Kalender pertanian Kasepuhan Citorek didasarkan pada perputaran bulan dan kedudukan bintang tersebut kerap disejajarkan dengan kelender Islam. Yang sama-sama didasarkan pada perputaran bulan. Perhitungan model ini berbeda dengan perhitungan masehi yang lazim kita gunakan sehari-hari yang berdasarkan perputaran bumi mengelilingi matahari. Sebenarnya kalender pertanian yang digunakan masyarakat Kasepuhan Citorek cukup umum, pada masyarakat tradisi adat lainnya di berbagai daerah di Indonesia. Patokan musim bertani yang didasarkan pada posisi bintang dikenal juga oleh masyarakat Jawa Tengah. Selain itu masyarakat suku Baduy juga menggunakan patokan bertani dengan menggunakan perhitungan berdasarkan perputaran bulan pada bumi serta letak posisi bintang tertentu. Jika dibandingkan, maka terdapat persamaan, yakni patokan bintang yang digunakan Bintang Kidang, di masyarakat Adat Kasepuhan Citorekadalah Bintang Waluku pada Masyarakat Jawa Tengah, dan pada astronomi modern disebut Rasi Orion. 3.6 Sistem Kemasyarakatan 1) Sistem Sosial Masyarakat Kasepuhan Wewengkon Citorek dalam kehidupan sosial menganut tiga sistem, yaitu: 1) Negara (jaro/lurah), 2) Agama (panghulu), 3) Karuhun (kasepuhan/kaolotan). 2) Latar Belakang Lembaga Adat Dalam komunitas Kasepuhan Wewengkon Citorek, Lembaga Adat merupakan Lembaga yang dianggap formal. Keberadaannya merupakan bagian yang terpenting dalan sisten kehidupan sosial masyarakatnya. Pemimpin adat merupakan sosok pemimpin yang dipatuhi. Kepatuhan terhadap pemimpin adat merupakan hal yang tidak dapat terbantahkan. Maka, dengan sendirinya Pemimpin Adat harus mampu membawa masyarakat pada kondisi yang lebih baik. Sesui dengan kebutuhan komunitas adat, Adat Kasepuhan Citorek memiliki moment penting yang menjadi latar belakang terbentuknya struktur kelembagan Adat Kasepuhan Citorek. Moment ini telah membetnuk posisi-posisi/jabatan-jabatan tertentu sesuai dengan fungsinya dalam kelembagaan Adat Kasepuhan Citorek, moment yang dimaksud adalah: 1) Moment Kelahiran 2) Moment Kehidupan /Penghidupan 3) Moment Kematian. Moment kelahiran menjadi cikal bakal adanya jabatan Bengkong, momen Kehidupan melahirkan jabatan Jaro Adat dan momen Kematian melahirkan jabatan Panghulu dalam struktur Adat KasepuhanCitorek. Adapun adanya Baris Kolotdalam struktur merupakan bagain dari kebutuhan seorang pemimpin terhadap struktur dalam mengawal setiap kebijakan yang akan ditetapkan. Dalam perkembangannya kelembagaan ini tidak berubah dari segi struktur, namun mengalami perluasan dalam hal fungsi masing-masing posisi/jabatan. Perluasan ini sebagai akibat dari adanya interaksi dengan komunitas lain, sehingga tugas posisi/jabatan dari cukup sederhana menjadi lebih kompleks. Namun perluasan fungsi ini tidak terlepas dari garis merah yang sebelumnya telah ditetapkan. Sebagai contohnya adalah perluasan fungsi penghulu yang tadinya hanya mengurusi masalah kematian kini fungsinya lebih luas dalam mengatur masalah keagamaan seperti pernikahan, khitanan dan lainnya. 3) Struktur Kelembagaan Adat Kasepuhan Citorek Kasepuhan merupakan jabatan tertinggi dalam struktur kelembagaan adat Kasepuhan Citorek. Katua Kasepuhan diberinama Oyok. Oyok adalah pemimpin, pengatur dan pelindung masyarakat. Dalam melaksnakan tugasnya sebagai pemimpin, Oyok dibantu oleh Baris Kolot, Jaro Adat, dan Penghulu. Baris Kolot adalah kumpulan orang-orang penting dalam struktur kelembagaan terdiri dari 7 (tujuh) orang dengan fungsi/spesifikasi tertentu yang bertugas memberikan nasehat, arahan, teguran, kritikan dan masukan-masukan kepada Oyok. Jaro Adat adalah orang yang bertugas dalam prosesi keAdatan, misalnya Seren Taun. Jaro Adat juga merupakan orang pertama yang harus ditemui oleh pihak luar sebelum berhubungan dengan kasepuhan. Jaro Adat adalah jembatan penghubung antara pihak luar dengan Kasepuhan (bagian Kanagaraan). Inung Beurang adalah sebuah jabatan yang bertugas dalam mengurusi kelahiran, dengan kata lain setiap kelahiran harus di tangani langsung oleh Inung Beurang. Dalam bahasa sehari-hari masyarakat umum menyebutnya paraji bahkan disebut dukun kelahiran. Bengkong merupakan bagian dari panghulu akibat tugas yang sangat kompleks sebagai perluasan dari kedudukan panghulu. Bengkong bertugas secara khusus dalam momen khitanan. Jaro Pamarentah adalah pejabat Kepala Desa yang dipilih dan ditetapkan sebagai Kepala Desa sesuai dengan peraturan dan sistem yang diterapkan pemerintah NKRI. Dalam tatanan lembaga adat Kasepuhan Citorek, Jaro Pamarentah disebut Juragan Nagara. Panghulu merupakan orang yang bertanggungjawab dalam prosesi keagamaan, kalahiran, perkawinan, kematian, khitanan, pengajian dan lain-lain. Ia adalah orang yang memiliki pengetahuan agama yang kuat. Senapati adalah pimpinan tinggi dari barisan keamanan, jabatan ini mirip sebagai seorang panglima dalam sebuah Negara. Dalam melaksanakan tugasnya Senapati dibantu oleh staf-stafnya yang disebut Ponggawa, Ponggwa ini sama halnya dengan prajurit pilihan yang masing-masing Ponggawa memiliki barisan dan kelompok masing-masing secara khusus dan pembagian tugasnyapun berbeda-bedamirip dengan kesatuan-kesatuan pada perangkat TNI di Indonesia. Singkatnya Senapati dan Ponggawa adalah pihak yang dianggap bertanggungjawab pada ketentraman dan keamanan lingkungan sekaligus sebagai pihak yang bertanggungjawab apabila ada gangguan-gangguan dari luar. 4) Mekanisme Musyawarah Kasepuhan Citorek menjungjung tinggi mekanisme musyawarah. Walaupun Jaro Adat adalah orang yang bertanggungjawab dalam prosesi keAdatan Seren Taun, namun penentuan waktu Seren Taun tetap ditentukan melalui mekanisme musyawarah terlebih dahulu. Para pihak yang bermusyawarah mereka para Baris Kolot termasuk di dalamnya Jaro Adatdan Juragan Nagaradan Penghulu. Semuanya wajib hadir saat melakasanaan musyawarah. Bilamana tidak dapat hadir, maka harus ada yang menggantikan sebagai wakil. 5) Desentralisasi Kekuasaan Dalam Pemerintahan Desa juga dibentuk struktur kelembagaan seperti yang ada di Kasepuhan. Hal ini merupakan bagian dari fungsi desentralisasi kekuasaan Kasepuhan. Dalam pelaksanaan tiap struktur kelembagaan yang ada di desa harus merupakan tokoh adat/kokolot yang mendapat mandat untuk memimpin desa tersebut dalam konteks kelembagaan adat. Selain itu juga mereka berfungsi sebagai penyambung lidah dari setiap hasil musyawarah di pusat kasepuhan, dan bisa juga sebagai patner desa dalam melaksanakan program untuk kesejahteraan masyarakatnya. 6) Masa Jabatan dan Proses Pemilihan Masa jabatan dalam tiap posisi dalam strutur kelembagaan adalah sepanjang masa hidupnya. adapun bilamana ada hal-hal yang diluar dugaan maka mekanisme musyawarah dijalankan dalam mengambil keputusan. Yang menggantikan posisi tiap jabatan jika yang bersangkaitan meninggal dunia adalah dari kalangan keluarga yang memenuhi syarat dan dianggap sesuai dengan wangsit/uga yang dirasakan oleh pejabat sebelumnya. 7) Hubungan dengan Kelembagaan Formal Dalam lembaga desa yang berada di wilayah/Wewengkon Citorek, kelembagaan adat merupakan bagian dari struktur formal kelembagaan desa dan sudah tertulis. Hal ini dapat dilihat dalam struktur kelembagaan di desa yang berada di Wewengkon Citorek, yakni Desa Citorek Tengah, Desa Citorek Timur, Desa Citorek Kidul, Desa Citorek Barat dan Desa Citorek Sabrang sebagai berikut: 8) Petatah Petitih dalam Sistem Nilai 1) “Tilu sapamulu, opat sakarupa. Eta-eta keneh” “Tiga sewajah empat serupa, itu- itu juga--sekalipun terdapat bermacam-macam keinginan, sikap dan sifat, pada hakikatnya manusia berasal dari sumber yang “Satu” ‘Yang Maha Kuasa.’ 2) Ka cai jadi saleuwi ka darat jadi salebak. 3) Sing alus catur ka dulur, sing hade carek ka saderek 4) Ka lembur oba dulur, ka kota loba baraya 5) Hareup teuing bisi tijongklok, tukang teuing bisi tijengkang 6) Sing saha nu bias ngwinkeun langit jeung bumi, manusa jeung kamanusaanana, eta nu disebut pancer pangawinan. 7) Mipit kudu amit, ngala kudu menta, nganggo kudu nyuci, dahar kudu halal, kalawan ucap kudu sabenerna, mufakat kudu sarerea, ngahulu ka hukum, ngahunyar ka nagara. 8) Nyaur kudu diukur, nyabda kudu diuger. 9) Ciri sabumi, cara sadesa. 10) Sacangreud patri, sagolek pangkek. 11) Leuweung aya maungan, lebak aya badakan. 12) Urang lain turunan pinter, tapi turunan bener jeung jujur. 13) Urang mali sadurunge ulah nihang beusi. Arti: - Hirup ngumbara isuk pageto bakal pinanggih jeung ajal, maot ngarana. - Urang di Citorek ngan sementara, cawisan urang parung kujang, urangmah bakal pinah ka Lebak Cawene. Oge mun engke anu lima gunung geus bitu. 14) Jaga rang héés tamba tunduh, nginum twak tamba hanaang, nyatu tamba ponyo, ulah urang kajongjonan.Yatnakeun maring ku hanteuaga rang ngajadikeun gaga sawah,tihap ulah sangsara jaga rang nyieun kabeu/a/n tihap ulah ngu(n)deur ka huma bet sakalih,ka huma lega sakalih, hamo ma beunang urang laku sadu. Contoan ulah tihap meuli ulah ti tihap nukeur,pakarang ulah tihap nginjeum si(m)but sawet mulah kasarataan,hakaninuman ulah kakurangan. sanguni tu meor, ngodok nyepet, ngarebut, ngarogoh, papanjingan, maka nguni di tohaan di maneh, itu leuwih mulah dipiguna, dipitwah ku urang hulun,ulah mopake na sabda atong teuang guru basa, bakti sukila di pada janma, di kula kadang baraya. Jaga rang dipiguhakeun,mulah surad di tineung urang, sangunisalah tenbal, kajeueung semu mo suka ku tohaan urang, ulah, pamali bisi urug beunang di tapa, hilang beunang Hartina Upama urang saré saukur ngaleungitkeun rasa tunduh, nginum tuak saukur keur kahanaangan, dahar saukur keur lapar, montong kaleuleuwihan. Poma, jaga géto téh urang moal boga nanaon.Pama nyawah, sakadar henteu sangsara,upama ngebon sangkan henteu ngala sayur-sayuran kebon leutik anu batur atawa kebon lega anu lian, lantaran urang henteu bisa menta, mulasara ingon-ingon sakadar pikeun henteu meuli atawa tukeur, ngabogaan pakakas sangkan henteu nginjeum, simbut jeung pakéan bisa kacumponan dahar nginum teu kakurangan. Ngabobodo, nyokot, nyopét, ngarebut, ngarogoh, maling harta anu keur saré,oge mondok moek di dunungan. Nu karitu téh omat ulah dipilampah. Ulah tinggaleun ti ucap anu daréhdéh, hormat, sopan, soméah ka papada kadang baraya. Upama meunang kapercayaan nyekel rusiah, poma ulah codéka,kitu deui salah ngawaler, katingali raja urang teu sukaeun, ulah pamali bisi batal hasil tatapa urang, bisi leungit beunang hésé, anu antukna urang pinanggih jeung kasangsaraan. 3.7 Sistem Religi 1) Sistem Kepercayaan Kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Kasepuhan Citorek 100% beragama Islam. Dengan sedikit pola sinkretisme, ini terjadi pada hampir semua umat Islam Indonesia. Hal itu lebih disebabkan dalam mengembangkan dakwahnya para sufi dari daerah pantai pindah menuju daerah pelosok dan pedalaman pulau Jawa, ini bertujuan agar proses Islamisasi cepat diterima dengan beberapa pertimbangan yang cenderung melakukan sinkretsime dengan kebiasaan penduduk pribumi. (Hirokoshi, 1976:37). Berkenan dengan hal ini Delier Noer (1973:14) menyatakan bahwa: “Pentingnya kedudukan mistik dalam Islam di Indonesia janganlah dipandang remeh, terutama jika kita membicarakan Islam pada pertukaran abad yang lalu. Panteisme pun, sebuah ajaran yang sangat bertentangan dengan Islam, mendapat tempat yang subur dalam kehidupan rohaniah dan kehidupan emosional orang-orang Indonesia sejak pertama-tama Islam tiba di sini yang disebabkan pula oleh tabiat alam pikiran Indonesia dan oleh pengaruh berabad-abad dari agama Hindu dan Budha.” Masuknya para guru sufi ke pedalaman dan pelosok pulau Jawa dengan gaya dakwah yang khas, yaitu melakukan sinkretisme dengan kebiasaan penduduk pribumi, seperti mengubah pertapaan orang Hindu Budha dengan tata cara masyarakat Muslim. (Hirokoshi, 1976:37). Jadi dapat dianggap wajar pula apabila masyarakat Citorek mencerminkan pola sinkretiknya dalam kehidupan beragama. 2) Ritual Seren Taun Seren Taun adalah ritual yang dilakukan oleh masyarakat Citorek tiap satu tahun sekali, biasanya di bulan Syawal. Tujuannya untuk menghormati dan sebagai tanda terima kasih kepada Yang Maha Kuasa dan Leluhur yang telah memberikan keberkahan dan kesuburan. Masyarakat Citorek setiap mengadakan perayaan Sunatan/hajatan selalu dilakukan saat Seren Taun, perayaan sunatan dilakukan secara besar-besaran. Proses Seren Taun di Wewengkon Adat KasepuhanCitorek adalah sebagai berikut: 1) Ngabakti dan ngajiwa Ngabakti merupakan kegiatan membawa/masrahkeun hasil pertanian berupa Padi kepada kasepuhan. Ngajiwa merupakan konsep sensus jiwa warga adat dan harta benda di lingkungan Adat Kasepuhan Citorek. 2) Hiburan/raramean Hiburan dilakukan pada malam hari sebelum perayaan seren taun, biasanya hiburan topeng, koromong, Angklung, dan kesenian moderen. 3) Memotong Kerbau Motong kerbau dilakukan pagi hari dilakukan oleh para sesepuh/kokolot setelah itu daging tersebut yang disebut daging jiwaan dibagikan kepada seluruh masyarakat Citorek / kepada tiap keluarga (susuhunan), semua masyarakat harus dapat bagian walaupun sedikit. Daging kerbau tersebut dibeli dari iuran masyarakat. 4) Ziarah/ ngembangan Ziarah ketanah leluhur atau ke karuhun. 5) Rasul serah tahun / syukuran / selametan Syukuran dilakukan di Citorek Timur di tempat Kasepuhan, biasanya para Kasepuhan/Kokolot,jaro, panghulu berkumpul sambil bermusyawarah mengevaluasi hasil pertanian dari tahun ke tahun dan makan secara bersama-sama. 6) Hajatan/Sunatan Kebiasaan masyarakat Citorek setelah melakukan upacara Adat Seren Tahun dilangsungkan dengan kegiatan hajatan secara masal, yang diiringi dengan arak-arakan (helaran). 7) Asup Leuweung Pertanda warga Adat/Incu putu memulai kegiatan pekerjaan di sawah dan di ladang, acara ini biasanya diiringi dengan menabuh Goong gede. 3) Kitab suci : a) Al Qur’an b) Tanzzul Muluk 3.8 Hukum dan Masyarakat Adat Kasepuhan Citorek Kehidupanmasyarakat Citorek yang heterogen, pengaturan dalam konteks kehidupan dan segala sesuat didasarkan pada peraturan hukum yang berlaku, baik hukum Adat, hukum Negara, dan hukum Agama. Dalam praktiknya, hukum-hukum yang dijalankan oleh masyarakat Citorek terkadang terjadi kesimpangsiuran dan ketidak jelasan penggunaannya. Semisal dalam hukum waris yang mereka gunakan, apakah murni menggunakan salah satu hukum seperti hukum adat, hukum agama dan hukum negara. Sejauh ini yang terjadi adalah ketidak pastian, mereka menggunakan sistem waris dengan sistem ketiga hukum secara tumpang tindih. Tidak jelas dalam pelaksanaanya. Apakah yang menjadi landasan dan sistem waris adalah hukum adat, hukum negara, ataukah hukum agama. Dalam peraturan hukum dan pelakunya terkadang tidak bisa dimengerti. Kalangan agama misalnya ia tidak mengerti benar akan hukum agama dalam pengaturan hak waris seseorang, ataubahkan mereka faham aturan hukumnya, namun untuk menjalankannya tidak memiliki integritas dan kesanggupan. Begitu pun dengan hukum adat, boleh jadi seorang pemuka adat tidak begitu faham dengan hukum adat yang mengatur masalah hak waris seseorang, sebab hingga kini batasannya tidak pernah jelas akan masalah hukum adat tersebut. Lain pula dengan hukum Negara, sebagai bagian dari Hukum Negara Republik Indonesia. Para aparatur negara, terutama Kepala Desa dan seluruh staf jajarannya sama sekali mereka tidak memiliki pengetahuan dan pemahaman dalam bidang hukum negara yang berlaku. Jadi pada dasarnya semua pihak, baik pihak ulama, pihak adat, pihak pemerintahan dalam hal ini adalah pihak desa tidak menguasai dan mengenal macam hukum, maksudnya tidak pernah faham hukum apa sebenarnya yang mereka jadikan acuan dalam menyelesaikan masalah, semisal masalah waris tadi. Kondisi seperti ini banyak menyebabkan kebingungan masyarakat yang hendak berurusan dengan hukum. Dari kenyataan yang ada mengenai penggunaan sarana hukum yang digunakan oleh masyarakat hingga kini pada dasarnya lebih banyak menggunakan hukum adat, walapun model dan formulasi bentuk hukum tersebut belum secara jelas dan lugas dapat didokumentasikan dalam bentuk tertulis. Jadi dalam hal ini, masyarakat baik yang pro dan kontra terhadap eksistensi dan keberadaan adat dan segala pengaturannya tidak perlu menafikannya atau menolak disebut sebagai masyarakat yang menggunakan hukum adat, jika selama ini telah menggunakan hukum adat dalam kehidupannya seharai-hari, semisal urusan waris dan sebagainya. Hal ini berdasarkan pengamatan penulis telah jelas dari berbagai masalah dan kasus hukum baik perdata maupun pidana yang terjadi di masyarakat Citorek. Sifat heterogen dari masyarakat Citorek, bukan berarti penggunaan hukum mesti bercampur aduk dan tumpang tindih. Hal ini membuktikan adanya kelompok masyarakat yang tidak memiliki persamaan visi dalam kehidupan yang mengarah kepada sistem demokrasi. Secara tidak langsung bentuk pengkotak-kotakan masyarakat dari segi hukum ini memperlihatkan kelemahan ketiga aspek hukum tadi dalam artian pelakunya yang masih belum cukup dalam pemahaman dan penguasaan hukum. Jelasnya belum cakap pendidikan dan pengetahuan dalam penegakkan hukum itu. Ketiga sumber hukum yang sampai kini belum jelas fungsinya dalam menyelesaikan segala bentuk konflik atau perkara dalam masyarakat Citorek dan bahkan belum dapat tersusun secara tertulis serta belum ada kesepakatan dari tiap pihak untuk mendokumentasikan serta memberikan penerangan dan penyuluhan atau sosialisasi kepada masyarakat secara menyeluruh adalah hukum adat, hukum agama, dan hukum negara. 1. Hukum Agama. Hukum agama sebagai hukum ilahiah tidak berjalan sesuai fungsinya mengingat kondisi sebagian ulama tidak begitu faham dan memahami duduk perkaranya yang berkiatan dengan hukum-hukum agama dengan kenyataan hidup masyarakat. Disis lain masih adanya pihak-pihak dari pihak keagamaan yang terkadang dia sendiri sebagai ulama tidak sanggup untuk menyelesaikan segala permasalahan secara total dengan menggunakan hukum agama. Kondisi di atas lebih diperparah oleh tidak adanya lembaga hukum yang secara khusus jelas mengakomodir berbagai problematika umat Islam. Lembaga hukum Agama yang berjalan dan mampu serta ada diseluruh pelosok tanah air, termasuk di Citorek baru terbatas pada Lembaga Pernikahan, yakni KUA. Namun lembaga ini tidak difokuskan pada penanganan masalah atau kasus lain dari segi hukum agama. Jika berkaca pada daerah lain atau secara kelembagaan, maka terlalu dilematis. Masalahnya adalah jangankan dipelosok-pelosok dan desa, di pusat pun Lembaga yang khusus sebagai lembaga Hukum Agama sama sekali tidak berjalan. Lembaga-lembaga yang saat ini berjalan dan telah merambah kesemua kalangan dan lapisan serta seluruh daerah di Indonesia tekesan hanyalah sebuah lembaga Keuangan yang berlabel Islam. Kontoh Konkret adalah BAZ (Badan Amil Zakat). Termasuk di Citorek hal yang seperti ini berjalan. Segala hal yang terkait dengan dana selalu berjalan. Zakat, infak, sodaqoh, dan lembaga-lembaga amal lainnya justru tumbuh dimana-mana dengan subur. Namun, jenis lembaga yang lain yang tidak kalah penting bagi penegakaan hukum serta sebagai alternatif penataan hukum dan penataan masyarakat yang sadar akan hukum, terutama hukum Islam justru mengalami kemunduran yang amat menyedihkan.Yang perlu dicatat, bahwa dalam hal ini pihak ulama atau kiai bukanlah pihak penegak hukum, tetapi berfungsi sebagai pendidik ajaran agama Islam yang menitik beratkan kepada ibadah mahdoh dan gair mahdoh. 2. Hukum Adat Pada kenyataanya hukum Adat merupakan hukum yang paling banyak digunakan dan dijadikan dasar dalam segala permasalahan atau sengketa perdata yang terjadi di masyarakat. Hukum Adat ini justru digunakan oleh semua pihak baik kalangan Adat itu sendiri maupun kalangan Pemerintah Desa dan kalangan Agama.Kondisi yang terjadi dalam masyarakat Citorek adalah adanya cambur baurnya tiga bentuk hukum, yakni hukum nasional, hukum agama dan hukum adat seperti yang telah dibahas dimuka. Kondisi yang paling urgen adalah masyarakat Citorek dalam mengahadpi segala permasalahan hukum sering mengalami kebingungan dan ketidak pastian. Hukum mana yang akan digunakan. Apakah hukum adat, hukum agama, ataukah hukum nasional. Hal ini menjadi sebuah masalah tersendiri pada masyarakat Citorek. Sisi lain pihak pemerintah sebagai pejabat berwenang secara birokrasi belum mampu memberikan altenatif dan pilihan hukum bagi masyarakat dalam sebuah kasus. Ini semata-mata dilatarbelakangi oleh beberapa faktor.Pertama, Hukum Adat, pihak adat belum mengatur pihak dan perangkat dalam bentuk lembaga yang secara khusus memfokuskan perhatian dan kinerjanya pada masalah-masalah yang terjadi. Lebih jauhnya aturan adat belum terdokumentasikan dalam bentuk tulisan. Sanksi terhadap si pelaku pelanggar norma belum teraktualisasikan dalam bentuk tulisan. Kedua, Hukum Agama, tidak dan belum berjalannya lembaga hukum nasional atau negara yang berfokus pada penanganan segala kasus hukum berdasarkan pertauran hukum agama.Hal ini tidak terlepas dari masalah-masalah secara nasional dapat kita lihat. Bahwa, di negara kita belum ada lembaga hukum yang berlebel agama. Sisi lain adalah sumber daya manusia, terutama di Citorek yang belum begitu memahami alur-alur hukum yang digunakan. Ketiga, Hukum nasional, untuk hukum nasional bermuara pada lemahnya sumber daya pemerintahan dalam mengani segala permsalahan di masyarakat Citorek. Selain masalah yang lebih universal kaitannya dengan hukum negara, kondisi dan suber daya masnusia sebagai pelaku pemerintahan desa rendah dan minim pengalama serta pendidikan. Masyarakat Citorek yang terkait dengan hukum atau mengahadapi kasus hukum selalu membawa alur fikirannya sendiri. Akibatnya ketiga bentuk hukum selalu digunakan untuk dapat memenangkan perkaranya secara hukum. hal ini semata-mata karena belum adanya alternatif pilihan hukum dalam membawa masalah di muka hukum. 3. Hukum Negara Penyebab yang paling utama tidak berfungsinya hukum negara secara maksimal adalah pihak Penyelenggaran Desa adalah pihak yang tidak begitu tahu dan paham akan segala hal yang terkait hukum negara. Termasuk faktor pendidikan dan pengalaman yang menjadi tersendatnya pelaksanaan hukum di masyarakat, selain itupula faktor sosialisasi amat lemah. Hal yang terjadi pada masyarakat Citorek adalah pihak desa merupakan pihak yang cukup sentral dalam urusan dan penanganan hukum dan segala bentuk pelangarannya. Desa merupakan pihak penyelenggara pemerintahan desa dan hukum di wilayahnya. Terjadinya kesimpang siuran hukum yang digunakan oleh masyarakat yang ditangani langsun oleh pemerintahan desa, lebih diakibatkan oleh lemahnya sumber daya manusia dalam perangkat desa. Sampai saat ini desa belum mampu menyediakan alternatif pilihan hukum yang dimaksud di atas pada masyarkatnya. Padahal dalam kenyataanya, ketiga bentuk hukum ykni, hukum agama, nasional dan hkum adat selalu digunakan oleh masyarakat Citorek. Namun, desa tidak mamapu mengkafer semu sumber hukum tersebut. Dalam kaitannya dengan di atas barangkali kita tidak adil jika hal ini selalu dialamatkan kepada pihak pemerintah desa. Secara keseluruhan jelas hal ini akibat lemahnya para penyelnggara dan penegak hukum di tanah air kita masih lemah dan minim pengalaman, jika kita bandingkan dengan negara-negara yang lebih maju. Semua pihak diatas, yakni pihak Pemerintah Desa, Pihak Tokoh Agama dan Masyarakat, serta Pihak Adat perlu duduk bersama untuk menyikapi masalah-masalah yang terkait dengan peristiwa hukum-hukum yang terjadi di masyarakat. Semua pihak harus memberikan acuan yang jelas dalam penjalanan dan pemberlakuan hukum bagi masyarakat. Apalagi jika menilik hukum agama, tentu Hukum ini tidak pernah ada keraguan bagi kita semua. Hukum agamalah yang semestinya menjadi landasan bagi kehidupan kita. Kita perlu bersikap lebih fleksibel dalam mengani kerancuan ketiga hukum di ats. Bukan berarti selama ini kita bersikap subjektif, namun dalam kenyataan pemberlakuan ketiga sumber hukum ini sering bertumpang tindih atau rancu. Untuk hal ini, kita fleksibel maksudnya lebih mengarah kepada bagaimana langkah yang mengacu kepada pendokumentasian serta sosialisasi ketiga hukum tadi dapat terwujud secepatnya. 4. Sistem Arbistatur dalam Sengketa Sistem arbistatur atau perwasitan dalam menyelesaikan sengketa atau kasus hukum perdata dan pidana dalam masyarakat Citorek, merupakan salah satu jalan yang ditempuh. Ini merupakan salah satu jalan yang ditempuh apabila sengketa tidak menemui titik temu dan terjadi deadlock hukum pada tingkat pemerintahan desa.Sistem arbistatur atau perwasitan merupakan jalan yang terakhir ditempuh untuk penyelesaian sengketa. Arbistatur merupakan juru damai yang dianggap paling terakhir dalam usaha penyelesaian sengketa. Dalam hal ini, yakni arbistatur ((juru damai) biasanya ada pihak yang ditunjuk. Mereka yang ditunjuk sebagai “juru damai” bisa dari unsur pemerintah desa, yakni Kades, orang lain di luar perangkat desa atau beberapa orang yang ditunjuk oleh para pihak yang bersengketa untuk mendamaikan perkaranya. Sistem ini (Arbistatur) dengan menggunakan juru damai, lebih menitikberatkan kepada musyawarah dengan maksud untuk menemukan jalan dari kebuntuan yang terjadi sebelumya. Apabila dalam Arbistatur kembali terjadi kebuntuan atau deadlock, maka perkara yang menjadi sengketa kedua belah pihak dapat diajukan ke lembaga yang lebih tinggi, yakni Pengadilan Negara. Pola Penegakkan/Penanganan Hukum Di Masyarakat Citorek Sistem penegakan hukum yang ditempuh oleh masyarakat Citorek ini sudah merupakan sebuah kesadaran hukum yang cukup tinggi. Arbistatur merupakan jalan terakhir dari perkara atau sengketa yang menemui kebuntuan pada saat masalah/sengketa hanya ditangani oleh satu pihak, yakni pihak kepala desa. Apabila ternyata menemui kebuntun, maka barulah sistem ini biasanya ditempuh. 6. Penyebab Kerancuan Penegakkan Hukum Dari semua uraian di atas mengenai segala kondisi, masalah hukum dan politik di tengah masyarakat Citorek. Kini kita perlu melihat segala penyebabnya dengan kacamata yang lebih bijak dan objektif serta untuk memberikan sebuah masukan dan solusi bagi semua pihak. Masyarakat Citorek mayoritas menggunakan hukum adat dalam perkara perdata, terutama hukum waris, gadai, perjanjian, dans lain-lain. Dalam hal ini, hukum positif (hukum negara)dan hukum Islam terlihat samar. Mengenai hukum perkawinan, masyarakat Citorek menggunakan hukum Islam, hanya dalam resepsi perkawinan atau upacara perkawinan berdasarkan tradisi. Lebih lanjut, belum adanya lembaga hukum adat sebagai penengah hukum pada masyarakat Citorek, menyebakan adanya masyarakat Citorek yang tidak menyadari jika ia menggunakan hukum adat dalam segala permasalahan semisal upacara pernikahan, waris, gadai dan laian-lain. Masalah penegakan hukum melalui hukum adat hanya ditegaskan dengan system kebendon/kualat sebagaia bentuk hukuman atas pelanggaran hukum adat. Masyarakat Adat Citorek mayoritas homogen dalam budaya adat dan agamis serta. Saat ini budaya adat mulai terkikis oleh kemajuan dan modernisasi. Sisi lainnya adalah, belum adanya kodifikasi hukum adat.Peran pihak ulama atau kiai bukanlah pihak penegak hukum, tetapi berfungsi sebagai pendidik ajaran agama Islam yang menitik beratkan kepada ibadah mahdoh dan gair mahdoh. Ulama dan kiai bukan sebagai praktisi hukum Islam dan di Indonesia belum ada lembaga hukum Islam secara universal.begitu pula di pedesaan termasuk Citorek, kecuali hukum perkawinan. Kepala Desa serta staf dan jajarannya dalam Pemerintahan Desa sebagai tempat mengadu masyarakat yang bermasalah atau yang mengadukan masalah/perkara yang berkaitan dengan hukum yang ada, yakni hukum adat, hukum Islam, dan hukum negara)kurang atau bahkan tidak memahami dengan baik atau tidak memilki kecakapan tentang materi hukum yang ada. Selain itu, sampai saat ini pihak pemerintah atau pihak lainnya yang terkait tidak pernah dan belum pernah memberikan pendidikan hukum kepada pihak apartur desa. Pemerintahan Desa dituntut untuk mampu memberikan pilihan hukum kepada pihak yang bersengketa, agar dalam proses penegakkan hukum tidak berbenturan dengan norma-norma hukum yang ada (hukum adat, hukum Islam, dan hukum negara) yang ada dalam masyarakat Citorek. Jika pihak Pemerintah Desa telah mampu untuk memberikan alternatif pilihan hukum kepada pihak yang bersengketa dan pihak masyarakat Citorek secara umum, maka hal ini akan memudahkan penyimpulan sengketa dari pihak-pihak bersengketa dalam mengambil kata sepakat.Menyikapi hal ini kita perlu menekankan sifat hukum itu sendiri, bahwa hukum itu bersifat mengatur dan memaksa. Dari semua permasalahan yang menyangkut masyarakat, sumber hukum, dan penegakkannya kan berakar dan bertumpu pada peranan pendidikan yang dalam hal ini memiliki pengaruh besar. Peran pendidikan dalam masyarakat formal dan informal, dalam hal ini sangat mempengaruhi terdidik. Pendidikan harus diarahkan kepada Spektrum Intelegensi agar memiliki sikap berintelektual tinggi, mampu mengakomodir, menganalisa, menyimpulkan segala masalah secara sistematis terhadap lingkungan sekitarnya, dalam hal ini adalah masyarakat adat Citorek, serta mampu menumbuhkembang-kan dalam pembangunan pendidikan hukum adat, hukum agama, dan hukum negara secara berkesinambungan. Apabila pendidikan formal dan informal dapat memberikan peran dan fungsinya di dalam masyarakat Citorek serta mampu menggali spektrum intelegensi, maka masyarakat terdidik akan mampu berfikir ilmiah, berfikir sistematis, berfikir kritis, serta mampu berfikir kreatif dan inovatif. Jika hal ini telah menjadi kenyataan, kita tinggal tunggu waktu dalam mencapai kejayaan dan keemasan menuju kehidupan masyarakat yang madani. Tentu bagi masyarakat Wewengkon Citorek. Harapan penulis, masyarakat Citorek memerlukan model dan formula hukum dan aturan yang terdokumentasikan sebagai udang-undang tersendiri dalam pengaturan masyarakatnya dalam setiap lini kehidupan. BAB IV PERMASALAHAN DAN HARAPAN PENGEMBANGAN 4.1 Permasalahan Klaim tanah yang dilakukan oleh Taman Nasional Gunung Halimun Salak sangat merugikan pihak Adat Kasepuhan Citorek. Permasalahannya terletak pada batas-batas yang ditentukan sendiri oleh TNGHS tanpa kesepakatan dari pihak Kasepuhan. Tanah adat telah dipersempit oleh perluasan taman nasional. Seiring dengan kebijakan pemerintah tersebut masyarakat Adat Kasepuhan Citorek merasa makin terpingirkan dari kacamata kebijakan pemerintah tentang kehutanan. Selain itu, legalitas pengakuan terhadap keberadaan adat kasepuan oleh pemerintah sampai saat ini belum terwujud, penggodokan Perda Adat yang diharapkan pihak Adat Kasepuhan Citorek sebagai bentuk pengakuan pemerintah pada adat ternyata masih belum terwujud. Generasi muda kurang peduli terhadap kebudayaannya sendiri bahkan hampir lupa dan melupakan akar budayanya. Generasi muda seolah dipaksa untuk menjadi manusia modern melalui kurikulum-kurikulum di sekolah yang sama sekali tidak memperhatikan potensi lokal, sumberdaya lokal, dan keadaftipan lokal. Hal tersebut sesuai dengan kurangnya kepedulian pemerintah pada benda-benda yang bernilai sejarah yang kaya makna. Benda-benda tersebut seperti situs parigi, batu bedil, punden berundak, batu meungpeuk, dan lain-lain dibiarkan terlantar tanpa sedikit kepedulian dari pemerintah. Hajat helaran dan kegiatan serah taun mengalami pergeseran dari segi prosesnya terkait dengan kemampauan dana yang ada dan tersedia hasil dari swadaya masyarakat, sehingga prosesnya seren taun kurang maksimal. Dari segi sarana, Ketua adat selalu kerepotan ketika menerima tamu dari dalam dan luar negeri yang bertujuan untuk melihat atau tujuan untuk ilmu pengetahuan karena tidak memiliki balai yang dikhususkan dan difungsikan untuk para tamu yang datang.Sarana kesenian semisal peralatan “Gong Geude” yang dimiliki oleh kasepuhan sudan mulai rusak termakan usia. Karena telah ratusan tun. Peralatan tersebut digunakan pada saat pelaksanaan Helaran Hajatan. Saat ini apabila aka nada pelaksanaan upacara Adat Helaran, maka peralatan gong Geude harus menyewa dari daerah lain. Kerugian yang paling banyak dirasakan oleh warga kasepuhan adalah penelitian kebudayaan, kehutanan, dalan lain-lain di Kasepuhan Citorek yang dilakukan oleh suatu lembaga atau oleh perseorangan dirasakan oleh Warga Kasepuhan tidak ada manfaatnya serta tidak jelas refleksinya bagi Warga Kaspuhan. Penelitian yang dilakukan hanya untuk ilmu pengetahuan, terbukti hasilnya tidak pernah disosialisasikan kepada Wag Kasepuhan oleh pihak-pihak pelaku penelitian. 4.2 Harapan 1) Batas Tanah Adat dengan TNGHS perlu dibahas bersama dalam satu meja untuk mencari mufakat bersama. 2) Pemerintah seyogyanya segera merealisasikan Perda tentang Pengakuan Adat Kasepuhan Citorek yang telah lama diajukan kepada Pemerintah Daerah Kab. Lebak. 3) Sebaiknya kurikulum di sekolah yang berada disekitar wilayah Adat Kasepuhan Citorek mampu mengkafer potensi lokal seperti kebudayaan setempat sebagai sumber pembelajaran bagi generasi muda agar mereka tidak lupa pada akar budayanya sendiri. Kurikulum sekolah harus memperhatikan tiga hal, yakni: a. Kearifan lokal b. Budaya lokal c. Potendi dan sumber daya lokal 4) Pemerintah mesti bergerak cepat dan tepat untuk segera menginventarisasi benda-benda dan situs-situs bersejarah yang sarat dengan nilai-nilai kesejarahan agar warisan luhur nenek moyang tidak punah. 5) Sebiknya pemerintah dapat mendukung dan membantu pendanaan bagi terselenggaranya kegiatan seren taun. 6) Pemerintah seharusnya mampu memberikan fasilitas yang sangat dibutuhkan terkait dengan gedung pertemuan adat yang dapat digunakan untuk para tamu yang datanga berkunjung kepada kasepuhan. 7) Kebutuhan sarana sangat mendesak maka melalui tulisan ini kami mengharapkan agar pemerintah berkenan memberikan bantuan peratalan goong geude untuk kegiatan hajat helaran. 8) Wilayah Adat Kaspuhan Citorek yang secara administrasi dibagi menjadi 5 (lima) desadengan segala potensi dan sumberdayanya hendaknya dalam waktu dekat dijadikan sebagai kecamatan yang bersifat khusus dengan mengacu kepada sosiobudayanya. 9) Sebaiknya selalu dilakukan penelitian yang bertujuan dan mengarah kepada bagaimana pemberdayaan pada masyarakat Adat Kasepuhan Citorek, bukan hanya untuk kepentingan ilmu pengetahuan belaka. 4.3 Pengembangan dan Pelestarian Kearifan dan pengetahuan tradisional merupakan suatu konsep atau sistem pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat tradisional Citorek. Yang telah teruji dalam jangka waktu yang panjang. Pengetahuan tradisional terdiri dari berbagai jenis, yakni yang berkaitan dengan informasi, keterampilan praktis dan teknologi, kepercayaan, peralatan, bahan material, percobaan, sumberdaya hayati, sumberdaya manusia, komunikasi dan pendidikan. Kearifan tradisional tersebut sangat berguna bagi masyarakat karena tiga hal, yaitu: 1) Kearifan tradisional merupakan dasar bagi swadaya dan swasembada masyarakat. 2) Kearifan tradisional merupakan alternatif yang efektif disamping pengetahuan ilmiah, sehingga kebijakan pembangunan yang hendak dilakukan akan lebih banyak memiliki kemungkinan dan pilihan. 3) Pengetahuan tradisional pada umumnya lebih murah dan adaptif karena didasarkan pada keterampilan, material, dan kondisi lingkungan lokal. Dengan pengkajian sistem kearifan tradisional diharapkan pengetahuan praktis tersebut dapat dipelajari dan diterapkan kembali dalam rangka mengatasi permasalahan lingkungan, keanekaragaman hayati, dan ketergantungan berlebihan pada petani dari luar. Selain itu, jika kearifan tradisional dapat terdokumentasi secara ilmiah, maka kepunahan dan usaha pembajakan yang dilakukan oleh pihak asing dapat dihindari. DAFTAR PUSTAKA Asyari, Imam. (1986). Patologi Sosial. Surabaya: Usaha Nasional Abdullah, Chusein. (2002).Mafahim Islamiah (Menajamkan Pemahaman Islam. Bangil: al-Izzah. Adimiharja, Kusna. (1992). Kasepuhan Yang Tumbuh Di Atas Yang Luruh (Pengelolaan Lingkungan Secara Tradisional di Kawasan Gunung Halimun Jawa Barat). Bandung: Transito. Bakker, SJ. (1984). Filsafat Kebudayaan. Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Kanisius. Edih, M. (2006). “Hukum dan Penegakkannya Di Citorek” dalam makalah. Citorek. Ellen, Sue. (2005). “Posisi Masyarakat Adat dalam Pemilihan Kepala Pemerintahan Di Australia” dalam Majalah GaungAman. Jakarta: AMAN Harada, Katuhiro. (2003). Taman Nasional Gunung Halimun. Jakarta: Biodiversity Conservation Project-JICA Hidayati, P.P. (1999). Penelitian Kualitatif. Bandung: Lemlit Unpas. Iskandar, Yosep, dkk. (2001). Sejarah Banten. Jakarta. Triana Sjamu’n Corf. Kahmad, Dadang H. (1999). Metodologi Penelitian Agama. Bandung: CV Pustaka Setia. King. D.A. (1986). Islamic Mathematical Astronomy. London: Voriorum Reprint Kontjaraningrat. (1988). Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia. ________________ (1988). Kebudayaan dan Mentalitas Pembangunan. Jakarta: Mizan. ________________ (1982). Budaya Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: gramedia. Kusman, Cecep. (2003). “Hutan Penyelamat Kita” dalam Buletin Wanadri Edisi 18. Jakarta: WANADRI. Mangle, Majalah. (edisi Juli-Desember 2002). Bandung. Moleong, Leksi , J.A. (1988). Komposisi. Surabaya: Kronika Nurkib, Desa, Kepala.(1980). Hari Jadi Desa Citorek; dalam Naskah Pidato: Citorek. O’dea, F.T. (1994). Sosiologi Agama. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada Priangani, Ade. (2003). “Peran Lembud Unpas Dalam Pelestarian danPengembangan Budaya Sunda” dalam Majalah Mizan No. 122/Mei. Bandung: Lembud Unpas. Simanjuntak, Posma. (1998). Ilmu Antropogi suatu Pengantar. Surabaya: Erlangga. Santoso, Andri. (2006). “Menyangga Alam Untuk Kehidupan” dalam Majalah Sanggabuana Edisi IV. Bogor: RMI Santoso, Budi. (2004). “Konsep Pertanian Tradisional KasepuhanCitorek” dalam Laporan Penelitian Ilmiah. Jakarta: Biologycal Science Club - BSCC Sobana, M. (2000). Dasar-dasar Penelitian Ilmiah. Bandung: Angkasa. Suleman, Munandar. (1987). Ilmu Budaya Dasar. Bandung: Eresco Sumaatmaja. (2005). Persfektif Global. Jakarta: Universitas Tebuka Teguh, dkk. (2002). Taman Nasional Gunung Halimun. Jakarta: Biodiversity Conservation Project-JICA Umiasih, M.Hum. Dra. (2004). Manusia Dalam Perkembangan Jaman. Bandung: Ganeca Exact. Lampiran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar