Selasa, 27 Desember 2016

Penanaman Nilai Sosial

PENGENALAN DAN PENANAMAN NILAI SOSIAL INDIVIDU DAN MASYARAKAT OLEH ORANG TUA KEPADA ANAK DENGAN KETERBATASAN MENTAL DALAM PROSES SOSIALISASI DI LINGKUNGAN KELUARGA diposting oleh nidia-masithoh-fisip13 pada 30 October 2013 di Pengantar Sosiologi - 0 komentar BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam konteks sosialisasi, dikenal istilah proses sosialisasi yang mana merupakan proses berlangsungnya interaksi baik yang bersifat kerja sama maupun kegiatan yang bertendensi destruktif. Proses sosialisasi meliputi segala bentuk tindakan dan perkataan yang secara baik langsung maupun tidak langsung mempengaruhi pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Menurut para ahli sosiologi, sosialisasi melingkupi seluruh proses, aktifitas, kegiatan berkembang, berhubungan, mengenal dan menyesuaikan diri dengan individu lain sejak masa kanak-kanak hingga dewasa, termasuk di dalamnya adalah kegiatan yang bersinggungan dengan penanaman nilai dan norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Pada prosesnya, sosialisasi dilakukan oleh subyek interaksi yang disebut agen sosialisasi. Di mana agen sosialisasi berperan dalam membawa dan menerima sifat, nilai, norma dan cerminan melalui proses pembelajaran salah satunya adalah keluarga. Dalam hal ini, keluarga merupakan ruang pertama dan memiliki peranan cukup besar dalam proses pengenalan dan penanaman nilai dan norma sosial baik personal maupun kelompok. Keluarga aktif membentuk mental, kepribadian dan karakter sosial budaya subyek yang bernaung di dalamnya. Proses sosialisasi dapat berjalan dengan lancar ketika agen pembawa dan penerima nilai dan norma menggunakan metode dan media dua arah, dapat dikatakan bahwa suatu proses membutuhkan adanya timbal balik antar aktor, bukan terpusat pada aktor A menguasai aktor B, dan sebaliknya. Hal itu merupakan hambatan dalam proses sosialisasi, ketika agen sosialisasi menerapkan metode paksaan dan sejenisnya dalam interaksi, akan menyebabkan pembentukan karakter yang cenderung intimidasi, ini adalah indikasi adanya kecacatan hubungan sosialisasi, di mana sosialisasi yang seharusya berperan sebagai proses pembelajaran akan kehilangan konteks esensi idealnya. Salah satu masalah yang diangkat dalam makalah ini adalah bagaimana proses sosialisasi menjadi jembatan interaksi antara orang tua dengan anak yang menderita disabilitas. 1.2 Ruang Lingkup Masalah Penelitian ilmiah ini termasuk dalam ranah ilmu sosial yangmembahas tentang pengenalan dan penanaman nilai sosial individu dan masyarakat oleh orang tua kepada anak dengan keterbatasan mental dalam proses sosialisasi di lingkungan keluarga. 1.3 Batasan Masalah 1.3.1 Mengidentifikasi penggunaan media bantu seperti komunikasi dalam proses sosialisasi antara orang tua dan anak penyandang disabilitas. 1.3.2 Mengidentifikasi upaya yang dilakukan orang tua dalam mengenalkan dan menanamkan nilai-nilai individu dan masyarakat kepada anak disabilitas. 1.3.3 Mengidentifikasi masalah-masalah yang dihadapi orang tua dan anak disabilitas dalam menjalani proses sosialisasi. 1.4 Rumusan Masalah 1.4.1 Bagaimana efektifitas penggunaan media bantu dalam proses sosialisasi antara orang tua dan anak penyandang disabilitas? 1.4.2 Bagaimana upaya yang dilakukan orang tua dalam mengenalkan dan menanamkan nilai-nilai individu dan masyarakat kepada anak disabilitas? 1.4.3 Masalah apa yang dihadapi orang tua dan anak disabilitas dalam menjalani proses sosialisasi? 1.5 Tujuan Penelitian Dalam penelitian ini beberapa tujuan yang ingin di dapat, antara lain : 1.5.1 Mengidentifikasi penggunaan media bantu seperti komunikasi dalam proses sosialisasi antara orang tua dan anak penyandang disabilitas. 1.5.2 Mengidentifikasi model sosialisasi yang digunakan orang tua dalam berinteraksi dengan anak disbilitas. 1.5.3 Menjelaskan usaha-usaha yang dilakukan orang tua dalam mengenalkan dan menanamkan nilai sosial individu dan masyarakat terhadap anak dengan disabilitas. 1.5.4 Menjelaskan masalah-masalah yang dihadapi orang tua dan anak disabilitas dalam menjalani proses sosialisasi. 1.6 Manfaat Penelitian Kami berharap agar makalah ini bermanfaat diantaranya : 1.6.1 Untuk mengetahui penggunaan media bantu seperti komunikasi dalam proses sosialisasi antara orang tua dan anak penyandang disabilitas. 1.6.2 Untuk mengetahui model sosialisasi yang digunakan orang tua dalam berinteraksi dengan anak disabilitas. 1.6.3 Untuk mengetahui usaha-usaha yang dilakukan orang tua dalam mengenalkan dan menanamkan nilai sosial individu dan masyarakat terhadap anak dengan disabilitas. 1.6.4 Untuk mengetahui masalah-masalah yang dihadapi orang tua dan anak disabilitas dalam menjalani proses sosialisasi. BAB II PEMBAHASAN MASALAH 2.1 Definisi Sosialisasi Sosialisasi merupakan proses pembelajaran, meliputi pengenalan dan penanamana nilai dan norma yang berlaku dan mengikat individu sebagai personal dan kelompok. Proses ini melibatkan individu untuk terus belajar secara dinamis dan terus menerus sejak kanak-kanak hingga dewasa. Dalam prosesnya, sosialisasi melibatkan pihak-pihak yang berinteraksi, baik pembawa atau penerima moral, karakter dan kepribadian yang bersifat mempengaruhi. Sosialisasi secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi tingkah laku, sikap dan sifat individu yang menjalaninya. Sosialisasi menjadi penting dan harus dilakukan individu untuk dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. 2.2 Metode Sosialisasi dalam Keluarga Secara teori, metode sosialisasi dapat dibagi menjadi dua pola yakni, sosialisasi represif dan sosialisasi partisipatoris. Sosialisasi represif (repressive socialization) menekankan pada penggunaan hukuman terhadap kesalahan. Ciri lain dari sosialisasi represif adalah penekanan pada penggunaan materi dalam hukuman dan imbalan. Penekanan pada kepatuhan anak dan orang tua. Penekanan pada komunikasi yang bersifat satu arah, nonverbal dan berisi perintah, penekanan sosialisasi terletak pada orang tua dan keinginan orang tua, dan peran keluarga sebagai significant other. Sosialisasi partisipatoris (participatory socialization) merupakan pola di mana anak diberi imbalan ketika berprilaku baik. Selain itu, hukuman dan imbalan bersifat simbolik. Dalam proses sosialisasi ini anak diberi kebebasan. Penekanan diletakkan pada interaksi dan komunikasi bersifat lisan yang menjadi pusat sosialisasi adalah anak dan keperluan anak. Keluarga menjadi generalized other. Dalam kasus ini, orang tua cenderung menerapkan metode satu arah, di mana orang tua memegang peranan dominan dalam proses pengenalan dan penanaman moral, karakter dan kepribadian sesuai nilai dan norma baik individu maupun masyarakat. Adanya dominansi orang tua dalam hal ini bukan merupakan suatu tindakan mengintimidasi. Hal ini disebabkan karena dominasi orang tua merupakan langkah yang tepat untuk mengontrol dan mempengaruhi pola pikir dan perilaku anak dengan disabilitas mental atau sering disebut tuna grahita. Peranan orang tua dengan metode gabungan antara represif dan partisipatoris, menimbulkan adanya interaksi yang bukan hanya bersifat menekan, dalam hal ini bukan hanya kontrol interaksi yang didominasi, namun juga ada ruang untuk anak dapat berekspresi, mengimplementasikan hasil pengenalan dan pemahaman nilai dan norma yang telah ditanamkan dengan cara mereka sendiri. 2.3 Usaha yang dilakukan Orang Tua dalam Interaksi di Lingkungan Keluarga Keluarga, bagi individu merupakan agen sosialisasi yang pertama. Keluarga baik secara langsung ataupun tidak langsung merupakan struktur sosialisasi utama yang memiliki konstruksi yang kuat dan kekal. Dari keluarga, individu mulai mengenal lingkungan sosial dan budayanya. Individu akan mengenal ayah, ibu, adik, kakak, dan akhirnya ia dapat mengenal dirinya dan dapat membedakan dirinya dengan orang lain. Orang tua dalam hal ini, mengupayakan berbagai metode pengenalan mental, karakter dan kepribadian kepada anak. Berbagai upaya mulai dari oenggunaan media permainan, media massa elektronik maupun non elektronik, serta media yang berkaitan dengan audio, visual dan kinestetik yang memiliki kapabilitas rangsang motorik. Orang tua menerapkan berbagai cara, salah satunya dengan pemberian hadiah kepada sikap dan perilaku yang berhasil dipahami oleh anak. Salah satu upaya yang dilakukan orang tua dalam proses sosialisasi sebagai media pembelajaran mental, karakter dan kepribadian adalah dengan kontrol ruang gerak tanpa membatasi karya hasil dari refleksi pembelajaran yang diterima setelah proses interaksi. 2.4 Permasalahan yang dihadapi Orang Tua dalam Interaksi di Lingkungan Keluarga Kecenderungan anak tuna grahita untuk bertingkah sesuai kehendak pribadinya, meniadakan pola nilai dan norma yang berlaku untuk individu sebagai perorangan atau kelompok pada umumnya, memberikan kesulitan-kesulitan dalam proses sosialisasi. Salah satunya, ketika bahasa umum digunakan untuk menjadi media utama dalam interaksi. Anak tuna grahita memiliki kapabilitas menerima dan mengimplementasikan hasil belajar dalam sosialisasi yang tidak sama dengan masyarakat pada umumnya. Bagaimana proses pembelajaran, pengenalan, penanaman dan pemahaman berlangsung berbeda dengan proses sosialisasi biasanya. Dalam hal ini, orang tua memiliki beban atas tanggung jawab interaksi pembelajaran nilai dan norma terhadap anak. Beban tersebut berorientasi pada, bagaimana metode-metode tepat yang relevan dalam menghadapi anak tuna grahita. Kemudian, bagaimana menyikapi pola efektor anak dari rangsangan penerapan metode yang telah dipilih. Serta bagaimana memberikan tanggung jawab anak sebagai pribadi baik dalam individu maupun kelompok masyarakat. Kebanyakan orang tua memiliki kesulitan untuk percaya terhadap anak dengan keterbatasan mental. Orang tua cenderung protektif, terlebih dalam beberapa kasus, orang tua menyikapi anak tuna grahita dengan proteksi berlebih. Hingga tidak ubahnya seperti otoriteritas yang berdampak pada pengecilan pola pikir anak, karena tidak adanya kepercayaan dan kebebasan untuk menyelesaikan hak dan kewajibannya sendiri. 2.5 Efisiensi Bahasa sebagai Media Komunikasi dalam Interaksi di Lingkungan Keluarga Adanya faktor yang menghambat proses sosialisasi seperti kemampuan bahasa menyebabkan esensi sosialisasi sebagai media interaksi sedikit hilang. Pada dasarnya, komunikasi merupakan kunci utama dalam berhubungan. Adanya kesamaan bahasa dalam komunikasi akan semakin memudahkan pihak sosialisasi dalam mempengaruhi, mengenali, memahami serta menanamkan sikap dan sifat mengenai moral, karakter dan kepribadian. Dalam hal ini, baik orang tua dan anak memiliki kesulitan untuk mengutarakan maksud dan tujuannya. Orang tua memerlukan adanya metode-metode bahasa yang dimengerti oleh anak dengan tanpa meniadakan esensi dari komunikasi itu sendiri. Dalam prosesnya, komunikasi yang bertujuan untuk menjembatani maksud dan tujuan seseorang agar dapat dimengerti oleh orang lain, mengalami perbedaan konstruksi, di mana komunikasi manusia dengan bahasa pada umunya sulit diterapkan dalam interaksi. BAB III ANALISIS HASIL WAWANCARA Dari narasumber yang telah saya wawancarai, kecenderungan anak tuna grahita untuk pasif dalam bersikap dan berperilaku menimbulkan masalah bagi orang tua sebagai agen percontohan utama dalam lingkungan keluarga. Anak dan orang tua memiliki bentuk metode sosialisasi yang berbeda. Di mana bahasa tidak sepenuhnya memegang kendali dalam ineraksi. Diperlukan adanya model-model lain yang mengindikasikan pengertian dan pemahaman proses pembelajaran. Narasumber yang saya wawancarai mengaku bahwa, tidak mudah mengenalkan dan menanamkan nilai dan norma yang berlaku kepada anak. Sama seperti ketika saat pertama kali orang tua mendapati indikasi bahwa anaknya menderita keterbatasan mental. Dalam prosesnya, orang tua cenderung memberikan perhatian lebih dalam mengenalkan anak mengenai anak sebagai individu dan anak sebagai anggota masyarakat. Pengenalan dan penanaman nilai dan norma yang berlaku terhadap anak tuna grahita tidak dapat disebut mudah, karena pada prosesnya orang tua mendapati masalah-masalah di mana masalah tersebut sering terjadi akibat komunikasi yang kurang dan tidak tepat mengenai maksud dan pola tujuan antara orang tua dan anak. Narasumber juga menyebutkan bahwa, perlu meluangkan tenaga, waktu, pikiran serta keikhlasan yang lebih dalam menghadapi anak tuna grahita. Terlebih ketika narasumber tidak hanya berusaha untuk mengenalkan dan menanamkan nilai dan norma, tetapi ketika narasumber sebagai orang tua harus bertanggung jawab atas pola pikir dan perilaku yang mencerminkan mental, karakter dan kepribadian anak yang terbentuk dalam proses sosialisasi utama dalam keluarga. Memiliki anak tuna grahita memang bukan akhir dari segalanya. Anak tuna grahita hanya perlu mendapat porsi yang lebih di hampir segala hal, termasuk proses belajar, mengenal dan memahami nilai dan norma. Walau tidak sedikit menimbulkan banyak masalah, bukan suatu aib ketika memiliki anak dengan keterbatasan. Orang tua hanya perlu menjadi orang tua yang sama seperti pada umumnya, bersyukur dan tetap selalu mengupayakan interaksi yang ideal dalam keluarga. BAB IV KESIMPULAN dan SARAN 4.1 Kesimpulan Proses sosialisasi merupakan proses pembelajaran di mana individu belajar mengenal dan memahami nilai dan norma individu maupun masyarakat. Proses pembelajaran ini bersifat dinamis dan terus menerus, sejak individu menjalani masa kanak-kanak hingga usia dewasa. Dalam prosesnya, interaksi memberikan ruang yang cukup luas kepada individu untuk saling bertukar pikiran dan pemahaman mengenai moral, karakter serta kepribadian. Dalam kaitannya dengan ini, proses sosialisasi melibatkan peran dari pihak-pihak yang membawa dan menerima materi interaksi. Di dalam keluarga, salah satu bentuk sosialisasi primer, memberikan wadah utama bagi pengenalan dan penanaman nilai dan norma yang berlaku bagi individu. Idealnya, sebelum terjun dalam kalangan masyarakat, individu sebagai personal harus memahami apa-apa yang seharusnya dilakukan dan tidak dilakukan sesuai peraturan baik agama, budaya, lingkungan dan sebagainya, yang mengikat dalam suatu kalangan. Adanya faktor penghambat seperti keterbatasan mental, mempengaruhi agen sosialisasi untuk melakukan interaksi pada umumnya. Bahasa dan komunikasi sebagai media utama dalam proses interaksi akan sedikit kehilangan esensinya. Hal ini tentu dapat mempengaruhi perkembangan pembelajaran moral, karakter dan kepribadian sesuai nilai dan norma oleh individu. Dapat disimpulkan bahwa, wadah sosialisasi dengan agen yang memadai tidak cukup mengatakan proses sosialisasi itu berhasil. Banyak faktor yang menyebabkan adanya kecenderungan untuk gagal dalam penanaman nilai dan norma ketika interaksi. Salah satunya adalah media komunikasi yang seharusnya merepresentasikan hal-hal yang menyangkut nilai dan norma untuk dikenal dan tanamkan pada pihak-pihak yang menjalani sosialisasi. Menjadi penting untuk memilih model dan metode interaksi yang tepat dan efektif dalam menyikapi permasalahan sosialisasi seperti interaksi antara orang tua dengan anak tuna grahita. 4.2 Saran Penulis mengharapkan adanya upaya dan pemahaman terhadap esensi proses sosialisasi, terutama di kalangan keluarga. Di mana lingkup keluarga memberikan wadah yang paling utama berperan dalam pembentukan moral dan karakter kepribadian individu. Adanya faktor penghambat sosialisasi, tidak berarti akan menghilangkan dan menyudahi proses sosilalisasi itu sendiri. Diharapkan adanya korelasi dan usaha dari orang tua yang dalam hal ini memegang peranan paling dominan dalam interaksi, terus mengenalkan dan menanamkan nilai dan norma sosial baik individu maupun masyarakat dengan menggunakan metode atau model sosialisasi yang tepat dan mampu dimengerti oleh anak dengan ketebatasan mental. DAFAR PUSTAKA Narwoko, J. Dwi & Suyanto, Bagong.2004.Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan.Jakarta:Fajar Interpratama Mandiri. Wawancara narasumber, tanggal 23 Oktober 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar