Selasa, 27 Desember 2016
Kedudukan Wanita Batak
Salah satu bagian terpenting dalam siklus kehidupan adalah kelahiran anak (keturunan). Hal ini merupakan bagian dari tujuan hidup komunitas BatakToba yaitu banyak anak (hagabeon), kaya materi (hamoraon), dan prestise (hasangapon). Anak adalah anugerah terindah dari Tuhan yang Maha Esa, maka dari itu setiap keluarga akan menganggap anak sebagai rejeki dari Tuhan, bahkan ada sebagian pendapat masyarakat yang masih berfikiran bahwa “banyak anak banyak rejeki” . begitu juga dalam masyarakat suku Batak, seperti yang kita ketahui bahwa masyarakat Batak menganut sistem patrilineal, yaitu sistem yang mengambil garis keturunan dari laki-laki.
Budaya Batak adalah salah satu budaya unik yang dimiliki oleh indonesia karena budaya yang menekankan pada sistem keluarga patrilineal dan mengikat anggota-anggotanya dalam hubungan triadik, yang disebut Dalihan Na tolu, yaitu hubungan antar lineage yang berasal dari kelompok kekerabatan tertentu dalam satu clan (marga). Dalam berhubungan dengan orang lain, orang Batak menempatkan dirinya dalam susunan Dalihan Na Tolu tersebut, sehingga mereka selalu dapat mencari kemungkinan adanya hubungan kekerabatan di antara sesamanya (martutur, martarombo).
Patrilineal sendiri memiliki arti bahwa garis keturunan berasal dari laki-laki yang melakukan pernikahan dalam bentuk pernikahan jujur (sinamot) dan pihak istri akan masuk ke dalam keluarga laki-laki sehingga anak-anak juga berada di bawah kekuasaan suami atau ayah (Revida 2005). Hal tersebut membuat kedudukan laki-laki menjadi lebih tinggi dibandingkan perempuan (Nainggolan, 2005). Sistem keluarga Batak yang patrilineal menjadi hal yang penting bagi masyarakat Batak . Peta Genealogis dan sejarah orang BatakToba hanya dapat ditelusuri melalui garis laki-laki. Anak perempuan dan istri tidak tercatat dalam peta tersebut. Dalam sistem patrilineal itu laki-laki dan perempuan menyandang hak dan kewajiban yang berbeda terhadap clan mereka. Laki-laki sejak kecil sudah disadarkan bahwa mereka harus memiliki pengetahuan mengenai sejarah dan kebudayaan BatakToba, dan mereka bertanggung jawab terhadap kelangsungan clan ayahnya, maka perempuan mengenal dua clan, yaitu clan ayahnya dan clan suaminya. Walaupun demikian dalam rangka hubungannya kedua clan tersebut, posisi perempuan dalam kekerabatan adalah ambigu atau tidak jelas, karena meskipun berhubungan dengan keduanya, tetapi tidak pernah menjadi anggota penuh dari kedua clan tersebut. “She is situated between hula-hula and boru, she is associated with both, and an absolute member of neither” (Niessen, 1985:75, Simbolon, 1998:2). Oleh karena itu keluarga dapat dikatakan punah jika tidak dapat melahirkan anak laki-laki. Laki-laki yang nantinya akan membentuk kelompok kekerabatan dan perempuan akan membentuk kelompok besan. Hal ini karena perempuan menikah dengan laki-laki yang berasal dari kelompok patrilineal yang lain (Vergouwen, 1986).
Selain itu ada pandangan bahwa keluarga yang tidak memiliki anak laki-laki dalam keluarganya seperti pohon tanpa akar, karena anak laki-laki juga berkewajiban untuk mengurus dan meneruskan kelangsungan hidup keluarganya (Nurilede, 2007). Penelitian yang dilakukan oleh Nurilede (2007) diungkapkan bahwa bagi masyarakat BatakToba yang masih menganut sistem kekeluargaan patrilineal menganggap bahwa anak laki-laki memiliki arti yang penting dalam keluarga karena nantinya ia yang akan meneruskan kelangsungan hidup keluarganya.
Dalam kebudayaan BatakToba juga dapat dijumpai rumusan mengenai tujuan hidup atau nilai-nilai yang utama dalam hidup, yaitu hagabeon (diberkati karena keturunan), hamoraon (kaya),dan hasangapon (pretis). Khususnya mengenai tujuan hidup yang utama dalam hidup itu, dalam pandangan Batak tradisional memiliki banyak anak adalah sangat penting. Dalam banyak acara perkawinan selalu diungkapkan permohonan berkat agar pasangan diberi karunia banyak keturunan : tiga belas orang anak laki-laki, dan tujuh belas anak perempuan (maranak sapulu tolu, marboru sapulu pitu).
Budaya Batak juga mengenal salah satu hal yang ada dalam konsep dalihan na tolu yaitu tetap menyayangi anak dengan tulus. Selain itu somba marhula-hula juga merupakan salah satu hal yang ada dalam adat Batak memiliki kedudukan tertinggi.
Contexts yang telah dimiliki memunculkan beliefs dari nilai anak yaitu anak perempuan merupakan titipan Tuhan dan harus dijaga sebaik-baiknya. Namun anak perempuan juga harus dapat membantu pekerjaaan rumah serta membawa nama baik keluarga. Selain itu juga muncul harapan anak perempuan dapat membawa nama baik keluarga serta meningkatkan martabat ibu apabila anak sukses dan adanya anak perempuan menunjang martabat ibu di masyarakat. Perilaku yang muncul dalam belief tersebut adalah anak perempuan diharapkan dapat sukses, di pendidikan, pekerjaan, dan cita-cita tercapai. Harapan-harapan ibu tersebut daapt menjadi nilai sosial apabila kesuksesan anak perempuan dapat menunjang martabat ibu di masyarakat. Selain itu ibu juga berharap bahwa anak perempuan dapat mebawa nama baik keluarga dengan salah satu caranya adalah dengan menghormati hula-hula.
Belief yang telah dimiliki memunculkan behavior pattern yaitu ibu merasa senang saat melahirkan anak perempuan. Hal ini karena pada budaya Batak yang dijelaskan dalam konsep Dalihan Na Tolu yaitu elek marboru. Pada saat melahirkan anak perempuan kedua, ketiga, dan seterusnya perasaan yang muncul pertama kali adalah kecewa meskipun pada akhirnya dapat menerima keadaan tersebut dan bersyukur kepada Tuhan. Orang tua juga tidak membedakan pandangan antara anak laki-laki dan anak perempuan dalam budaya Batak. Dalam membantu ibu di pekerjaan rumah juga muncul dalam harapan ibu untuk anak perempuannya sehingga ibu tidak menerima sikap anak apabila anak tidak membantu mengerjakan tugas di rumah. Hal ini karena menurut budaya Batak, pada zaman dahulu anak perempuan yang bekerja seperti bekerja di sawah atau ladang. Selain itu acara adat atau pesta adat Batak tidak akan terlaksana apabila tidak ada boru atau pihak perempuan (Vergouwen, 1986).
Selain itu behavior pattern membentuk harapan ibu untuk anak perempuannya, salah satunya adalah berbakti, berguna dan menjadi kebanggan keluarga. Anak perempuan juga diharapkan dapat membawa nama baik keluarga nantinya dengan menghormati hula-hula. Dalam budaya Batak, pihak hula-hula mempunyai kedudukan yang paling tinggi dan patut untuk dihormati. Seperti yang dijelaskan pada konsep Dalihan Na Tolu yaitu somba marhula-hula (menghormati hula-hula) karena dipandang sebgai pemberi berkat bagi boru (perempuan).
Studi terdahulu yang berisi jurnal yang bertema “Perubahan Fungsi Dan Makna Anak Laki-Laki Pada Komunitas BatakToba-Kristen” suatu kajian antropologis pada masyarakat Desa Cinta Damai Kecamatan Percut Sei Tuan, oleh Morinah Tambunan juga jurnal yang bertema “ Nilai Anak Perempuan pada Keluarga Batak Ditinjau Dari Ibu Dewasa Awal dan Dewasa Madya” oleh Ruth Nauli Aninda berbeda dengan penelitian saya yang berisikan tentang kedudukan Perempuan dalam kebudayaan masyarakat BatakToba, karena kajian yang ingin diteliti disini adalah bagaimana kedudukan perempuan, serta makna anak perempuan bagi keluarga masyarakat BatakToba. Perbedaan yang paling menonjol adalah kedua jurnal tersebut adalah penelitian kuantitatif sedangkan penelitian yang saya buat adalah penelitian kualitatif.
Jurnal oleh Morinah Tambunan lebih memfokuskan penelitan terhadap terjadinya perubahan fungsi dan makna anak laki-laki pada komunitas BatakToba yang beragaam Kristen di Desa Cinta Damai . Perubahan tersebut dikarenakan oleh pentingnya tentang kesejahteraan hidup dengan memperhatikan :
1. Pendidikan. Salah satu usaha untuk mencapai kesejahteraan adalah dengan bekerja di tempat yang lebih baik dan hal itu diperoleh kalau mempunyai pendidikan yang baik.
2. Kesejahteraan itu juga akan didapat kalau jumlah anak dalam satu keluarga tidak terlalu banyak, karena mengingat biaya hidup yang tinggi sekarang ini, sehingga banyak komunitas BatakToba Kristen yang mengikuti program KB Nasional bahwa dua atau tiga anak cukup, laki-laki dan perempuan sama walaupun jumlah masih ada yang lebih dari tiga orang, tetapi untuk keluarga yang relafive lebih muda tidak lebih dari empat orang. Di samping hal tersebut perlu juga diperhatikan kesehatan ibu dalam keluarga.
Sedangkan Jurnal oleh Ruth Nauli Aninda lebih memfokuskan penelitian terhadap pandangan budaya Batak memandang anak perempuan masih di nomerduakan menurut inu dewasa awal, begitu juga pada ibu dewasa madya walaupun begitu ibu dewasa awal dan ibu dewasa madya tidak terpengaruh dalam memandang anak perempuan yang dimiliki. Ibu dewasa awal menerima anak perempuan dengan apa adanya namun juga harus membawa nama baik keluarga dengan salah satu caranya adalah menghormati hula-hula dan juga merawat orang tua dan mampu mendapatkan calon suami yang memberikan sinamot yang layak. Nilai anak tersebut turut di pengaruhi oleh nilai-nilai yang ada pada budaya Batak. Berbeda dengan ibu dewasa madya , ibu tidak menerapkan nilai ekonomis pada anak perempuanya. Nilai Batak terkait sinamot dan membantu ibu tidak digunakan oleh ibu dewasa madya. Budaya Batak yang mempengaruhi ibu dewasa madya adalah menerima anak perempuan dengan tulus dan menyayanginya dengan ikhlas serta mampu membawa nama baik serta mampu membawa nama baik keluarga dan hula-hula.
Sedangkan yang ingin diteliti dari kebudayaan masyarakat BatakToba adalah kedudukan perempuan dalam masyarakat BatakToba yang menganut sistem patrilineal, serta apa saja hak yang bisa di dapat oleh laki-laki tetapi tdak bisa di dapatkan oleh anak perempuan, juga makna anak perempuan dalam kebudayaan masyarakat BatakToba.
Ihromi (dalam Wulandari, 2009) menyebutkan bahwa keluarga dan anak biasanya menjadi topik pembicaraan saat dua sahabat lama berjumpa kembali dalam suatu momen dibandingkan dengan membicarakan kekayaannya. Hal ini berarti keberadaan anak lebih penting dibanding kekayaan atau materi lainnya. Bagi masyarakat BatakToba yang menganut sistem patrilineal, membuat kedudukan laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan (Nainggolan, 2005).
Kebudayaan BatakToba yang berakar pada sistem patrilineal dan mengikat anggota-anggotanya dalam hubungan yang triadik, yang disebut Dalihan Na Tolu , yaitu hubungan antar lineage yang berasal dari kelompok kekerabatan tertentu dalam satu clan (marga). Orang Batak menempatkan dirinya dalam susunan Dalihan Na Tolu tersebut, sehingga mereka selalu dapat mencari kemungkinan adanya hubungan kekerabatan diantar sesamanya (martutur , martarombo ).
Sistem keluarga BatakToba yang patrilineal menjadi hal yang sangat penting bagi masyarakat Batak, karena di dalamnya terdapat marga dan kelompok-kelompok suku. Semua hal tersebut diambil dari garis keturunan laki-laki. Oleh karena itu suatu keluarga dapat dikatakan punah jika tidak memiliki anak laki-laki. Laki-laki yang nantinya akan membentuk kelompok kekerabatan dan perempuan membentuk kelompok besan, hal ini dikarenakan perempuan harus menikah dengan laki-laki yang beraasal dari kelompok patrilineal yang lain (Vergouwen, 1986). Sehingga dapat dikatakan seorang anak laki-laki akan mempertahankan dan meneruskan clannya dengan cara memiliki anak dari clan lain yang otomatis akan memakai clannya di belakang namanya, sedangkan anak perempuan akan meneruskan clan dari suaminya dan akan membentuk clan yang bukan dari ayahnya melainkan dari suaminya. Oleh karena itulah laki-laki sejak kecil sudah diajarkan untuk mengetahui kebudayaan BatakToba, harus mempunyai pengetahuan tentang sejarah kebudayaannya, dan bertanggung jawab atas kelangsungan clan ayahnya. Itulah sebabnya sangat penting bagi masyarakat BatakToba untuk melahirkan atau memilki anak laki-laki.
Karena seperti yang kita ketahui dalam kehidupan masyarakat BatakToba yang menganut sistem patrilineal yaitu yang menarik garis keturunan dari laki-laki sangat penting bagi masyarakat BatakToba untuk memiliki anak laki-laki karena hanya anak laki-laki yang dapat meneruskan marga (clan) ayahnya, selain itu anak laki-laki juga diharuskan untuk mengetahui sejarah serta kebudayaan BatakToba untuk mempertahankan harga diri clan ayahnya, bila laki-laki sepanjang hidupnya hanya mengenal satu clan yaitu clan ayahnya, tidak sama dengan anak perempuan yang mengenal dua clan yaitu clan ayahnya dan clan suaminya, tetapi meskipun berhubungan dengan keduanya tetapi tidak pernah menjadi anggota penuh dari keluarganya, hal tersebut membuat kedudukan laki-laki lebih tinggi daripada perempuan, walaupun begitu bagi orangtua anak perempuan adalah anugerah dari Tuhan yang Maha Esa seperti halnya anak laki-laki, anak perempuan harus dapat membawa nama baik keluarganyadan juga harus dapat menghormati hula-hula (keluarga yang memiliki marga sama dengan pihak perempuan, ibu, istri) nya kelak karena hula-hula dipercaya akan memberikan berkat bagi boru (perempuan), sampai nanti saat sukses pun seorang perempuan harus dapat menghormati hula-hula nya, sukses dalam pendidikan ataupun pekerjaan, anak perempuan harus sukses, karena hal tersebut akan menunjukkan kesuksesan ibu dalam mengurus dan mendidik anak, sehingga ibu nantinya memperoleh menantu yang dapat memberikan sinamot yang layak sebagai tanda “dibeli” anak perempuan dari suatu keluarga
A. Kebudayaan
Sebelum mengetahui bagaimana gambaran nilai anak perempuan dalam kebudayaan masyarakat BatakToba, kita harus mengetahui dulu apa itu kebudayaan. Menurut ilmu antropologi, “kebudayaan” adalah: keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.
B. Tiga Wujud Kebudayaan
Serupa dengan J.J. Honigmann yang dalam buku pelajaran antropologinya, berjudul The World of Man (1959:hlm, 11-12) membedakan adanya tiga “gejala kebudayaan”, yaitu 1) ideas, 2) activities, dan 3) artifacts, pengarang berpendirian bahwa Kebudayaan itu ada tiga wujudnya, yaitu:
1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide, gagasan, nilai, norma, peraturan dan sebagainya.
2. Wujud kebudayaan sebaai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat.
3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Sungguhpun ketiga wujud dari kebudayaan tadi saling berkaitan, tetapi untuk keperluan analisis perlu diadakan pemisahan antara tiap-tiap wujud itu.
C. Adat-istiadat
• Nilai budaya merupakan konsep–konsep mengenai sesuatu yang ada dalam alam pikiran sebagian besar dari masyarakat yang mereka anggap bernilai, berharga, dan penting dalam hidup sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi arah dan orientasi pada kehidupan para warga masyarakat tadi.
• Pandangan hidup merupakan suatu sistem pedoman yang dianut oleh golongan-golongan atau lebih sempit lagi, individu-individu khusus dalam masyarakat.
• Konsep ideologi merupakan suatu sistem pedoman hidup atau cita-cita, yang ingin sekali dicapai oleh banyak individu dalam masyarakat, tetapi lebih khusus sifatnya daripada sistem nilai budaya.
Dalam integrasi kebudayaan kita mengenal istilah Etos Kebudayaan. Suatu kebudayaan sering memancarkan keluar suatu watak khas tertentu yang tampak. Watak khas itu dalam ilmu antropologi disebut ethos, sering tampak pada gaya tingkah laku warga masyarakatnya, kegemaran-kegemaran mereka, dan berbagai benda budaya hasil karya mereka. Berdasarkan konsep itu, maka seorang Jawa misalnya, yang mengamati kebudayaan Batak, sebagai orang asing yang tidak mengenal kebudayaan Batak dari dalam. memancarkan, ketegasan, kedisiplinan, solidaritas yang tinggi terutama pada satu sukunya, cara berbicara yang sedikit keras dan kegemaran orang Batak akan akan seni suara gondang yang keras dan memberi semangat, dan kegemaran akan karya dan gagasan-gagasan yang tidak berbelit-belit tetapi tetap indah di pandang.
D. Konsep suku bangsa
Konsep yang tercakup dalam istilah suku “bangsa” adalah suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan “kesatuan kebudayaan”, sedangkan kesadaran dan identitas tadi sering kali (tetapi tidak selalu) dikuatkan oleh kesatuan bahasa juga. Dengan demikian, kebudayaan Batak merupakan suatu kesatuan, bukan karena ada peneliti-peneliti yang secara etnogafi telah menentukan bahwa kebudayaan Batak itu suatu kebudayaan tersendiri yang berbeda dari kebudayaan Jawa, Banten, atau Bali, melainkan bahwa orang Batak sendiri sadarbahwa kebudayaan Batak memiliki kepribadian dan identitas khusus, berbeda dengan kebudayaan yang lain.
1. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah di uraikan di atas, Penelitian ini bertitik tolak dari suatu permasalahan mengenai:
“Bagaimana nilai dan kedudukan anak perempuan pada dalam kebudayaan masyarakatBatakToba?”
2. Tujuan Penelitian
Setiap kegiatan sehari-hari dapat dipastikan memiliki tujuan tertentu, begitu pula dalam kegiatan penelitian ilmiah ini tak akan lepas dari tujuan yang telah digariskan, sebab pada dasarnya tujuan ini banyak memberikan warna atau arahan pelaksanaan tujuan itu sendiri yang mengacu pada rumusan masalah yang telah ditetapkan, oleh karena itu tujuan penelitian ini dapat dikemukakan sebagai berikut :
A. Mengidentifikasi bagaimana sebenarnya kedudukan anak perempuan dalam kebudayaan masyarakat BatakToba
B. Menjelaskan apakah ada pengaruh keluarga dalam pembentukan karakter seorang anak
C. Menjelaskan pengenalan dan penanaman nilai sosial individu dan masyarakat oleh orang tua kepada anak dalam proses sosialisasi di lingkungan keluarga
3. Manfaat penelitian
Saya berharap agar proposal ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
A. Untuk mengetahui bagaimana sebenarnya kedudukan anak perempuan dalam kebudayaan masyarakat BatakToba
B. Untuk mengetahui apakah ada pengaruh keluarga dalam pembentukan karakter seorang anak
C. Untuk mengetahui pengenalan dan penanaman nilai sosial individu dan masyarakat oleh orang tua kepada anak dalam proses sosialisasi di lingkungan keluarga.
BAB II
METODE PENELITIAN
1. Paradigma Penelitian
A. Definisi Etnografi
Di dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian etnografi James P. Spardley.
Etnografi, ditinjau secara harfiah, berarti tulisan atau laporan tentang suatu suku bangsa yang ditulis oleh seorang antropolog atas hasil penelitianlapangan (field work) selama sekian bulan atau sekian tahun. Etnografi, baik sebagai laporan penelitian maupun sebagai metode penelitian, dapat dianggap sebagai dasar dan asal-usul ilmu antropologi.
Margaret Mead berkata,”Anthropology as a science is entirely dependent upon field work records made by individuals within living societies” (antropologi sebagai sebuah ilmu pengetahuan secara keseluruhan tergantung pada laporan-laporan kajian lapangan yang dilakukan oleh individu-individu dalam masyarakat-masyarakat yang nyata hidup).
Sementara itu, Clifford Geertz menandaskan, “If you want to understand what a science is, you should look in the first instance not at its theories or its findings, and certainly not at what its apologist say about it; you should look at what the practionersof it do ... In athropology; or anyway social anthropology, what the practioners do is ethnography.” (Jika anda ingin mengerti tentang satu ilmu pengetahuan, pertama-tama anda seharusnya tidak melihat pada teori-teori atau penemuannya, dan tentu saja tidak pada apa yang dikatakan oleh apologisnya tentang ilmu pengetahuan tersebut. Anda seharusnya melihat pada apa yang dilakukan oleh para praktisi ... dalam antropologi, atau khususnya antropologi sosial, apa yang dilakukan para praktisi adalah etnografi).
Adamson Hoebel secara ringkas menegaskan bahwa “The foundation of cultural anthropology is ethnography” (dasar antropologi kultural adalah etnografi). Seterusnya, Anthony F.C Wallace mengatakan bahwa, “ All of the comparative and theoritical work of cultural anthropology depends upon thorough and precise ethnographic description” (Semua karya komparatif dan teoritis antropologi kultural tergantung pada deskripsi etnografi yang cermat dan mendalam).
Terakhir adalah kutipan dari James Spardley sendiri, yang mengatakan bahwa, “Ethnographic fieldwork is the hallmark of cultural anthropology” (Kajian lapangan etnografi adalah tonggak antopologi kultural).
Jadi singkatnya, belajar tentang etnografi berarti belajar tentang jantung dari ilmu antropologi, khususnya antropologi sosial. Teknik pengumpulan data yang utama adalah onservasi-partisipasi, dan juga wawancara terbuka dan mendalam yang dilakukan dalam jangka waktu yang relatif, bukan kunjungan singkat dengan daftar pertanyaan yang terstruktur seperti pada penelitian survai.
B. Asal Mula Etnografi
Seperti sudah dikatakan di muka, etnografi berkaitan dengan asal-usul ilmu antropologi. Dengan bahasan terhadap tulisan-tulisan tersebut, mereka berusaha untuk membangun tingkat-tingkat perkembangan evolusi budaya manusia dari masa manusia mula muncul di muka bumi sampai ke masa terkini. Menjelang akhir abad ke-19, muncul pandangan baru dalam ilmu antropologi. Peneliti awal yang terkenal dalam antropologi adalah W.H.R. Rivers dari Inggris dan Franz Boas dari Amerika Serikat. Pada masa awal ini, teknik etnografi yang utama adalah wawancara yang panjang, berkali-kali, dengan beberapa informan kunci, yaitu orang-orang tua dalam masyarakat tersebut yang kaya cerita tentang masa lampau, tentang kehidupan yang “nyaman” pada suatu masa dahulu.
C. Etnografi Modern
Metode etnografi modern seperti yang umum dijalankan orang pada masa kini, baru muncul pada 1915-1925, dan dipelopori oleh dua ahli antropologi sosial Inggris, A.R. Radcliffe-Brown dan Broinslaw Malinowski. Tujuan utama penelitian etnografi, menurut malinowski, adalah “to grasp the native’s point ot of views, his relation to life, to realise his vision and his world”, (menangkap sudut pandang native tersebut, hubungannya dengan kehidupan menyadari visinya, dan dunianya). Sementara Radcliffe-Brown menjabarkan tujuan etnografi sebagaiusaha untuk membangun “a complex network of social relations”, atau “social structure”. Diaktakan oleh Radcliffe-Bron.
“i use the term social structure to denote this network of actually existing relations. It is this that I regard it as my business to study if i am working ... as a social anthropologist.” (saya menggunakan istilah struktur sosial untuk menunjuk pada jaringan hubungan yang sedang terjadi itu. Inilah yang saya anggap pekerjaan pengkajian saya jika saya bekerja ... sebagai seorang antropologi sosial).
Mengkombinasikan pandangan Malinowski dan Radcliffe-Brown, berarti tujuan dari sebuah penelitian etnografi adalah untuk mendeskripsikan dan membangun struktur sosial dan budaya suatu masyarakat. Untuk dapat mencapai tujuan tersebut, sang peneliti tidak cukup hanya melakukan interviu dengan beberapa informan tua, seperti yang dilakukan oleh par etnografer pemula, tetapi yang lebih penting lagi adalah melakukan observasi sambil berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat tersebut.
D. Etnografi baru
Metode etnografi seperti yang diuraikan di dalam buku ini adalah satu tipe yang khas, yang mulai berkembang sejak tahun 1960-an. Berbeda dari etnografi modern yang dipelopori Radcliffe-Browndan Malinowski yang memusatkan perhatiannyapada organisasi internal suatu masyarakat dan membanding-bandingkan sistem sosial dalam rangka untuk mendapatkan kaidah-kaidah umum tentang masyarakat, maka etnografi baru ini memusatkan usahanya untuk menemukan bagaimana berbagai masyarakat mengorganisasikan budaya mereka dalam pikiran mereka dan kemudian menggunakan budaya tersebut dalam kehidupan. Dalam etnografi modern, bentuk sosial dan budaya masyarakat di bangun dan di deskripsikan melalui analisis dan nalar sang peneliti. Seperti di sebutkan di atas, metode etnografi Spradley ini adalah khas aliran antropologi kognitif. Dalam usaha menciptakan definisi dari budaya Goodenough banyak terpengaruh oleh kajian-kajian linguistik.orang-orang dari aliran antropologi kognitif ini berasumsi bahwa setiap masyarakat mempunyai satu sistem yang unik dalam mempersiapkan dan mengorganisasikan fenomena material, seperti benda-benda, kejadian, perilaku, dan emosi. Jalan yang paling mudah dan paing tepat untuk memperoleh budaya tersebut adalah melalui bahasa, atau lebih khusus lagi, melalui daftar kata-kata yang ada dalam satu bahasa.
E. Etnografi baru ala Spardley
Definisi budaya dari Goodenough dan metode etnografi dari aliran antropologi kognitif generasi pertama di atas telah diperbaharui oleh generasi kedua dari antropologi kognitif, yang antara lain adalah James P. Spradley. Spradley adalah seorang sarjana antropologi yang paling menaruh perhatian dalam pengembangan metode penelitan etnografi aliran antropologi kognitif. Perbedaan etnografi Spradley dari etnografi modern ala Radcliffe-Brown & Malinowski adalah, bahwa Spradley tidak lagi menganggap antropologi sebagai satu ilmu tentang “other cultures”, tentang masyarakat kecil yang terisolasi dan hidup dengan teknologi sederhana. Metode etnografi Spradley berasal dari tradisi antropologi kognitif dengan definisi budaya yang dirumuskan oleh Goodenough. Metode etnografi yang digambarkan ini tidak bisa dijalankan oleh mereka yang mengikuti aliran semiotik ala Geertz, atau Struktural Perancis ala Levi-Strauss, atau aliran ekologi dan kultural materialisme ala Marvin Harris. Meskipun Spradley tergolong ke dalam generasi kedua dalam antropologi kognitif, namun beliau mempunyai banyak hal yang khas pada dirinya sendiri, khususnya dalam hal prosedur dan fungsi etnografi yang umumnya berisi tentang pengalaman pribadi sang etnografer. Bagi Spradley cara terbaik untuk belajar etnografi adalah melakukannya, kerjakan, terus kerjakan. Metode ini didasarkan atas 5 prinsip, yaitu teknik tunggal, identifikasi tugas, maju bertahap, penelitian orisinal, dan problem-solving. Pertama, dalam satu penelitian etnografi, sang peneliti dapat melakukan berbagai teknik penelitian secara bersamaan dalam satu fase penelitian, seperti wawancara etnografik. Observasi partisipasi, membuat peta genealogis, dan sebagainya. Kedua, setelah memilih salah satu teknik penelitian, sang peneliti pemula lebih khusus lagi harus mengenali langkah-langkah pokok yang harus dilaluinya dalam menjalankan teknik tersebut. Ketiga, setiap langkah pokok di atas sebaiknya dijalankan secara berurutan, atau maju bertahap. Keempat, belajar tentang cara melakukan wawancara etnografis ini tentunya harus dipraktikkan dalam projek penelitian sungguhan, bukan sekedar untuk kepentingan latihan. Terakhir, kelima, Alur Penelitian Maju Bertahap didasarkan atas proses Problem-Solving .
E. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah kualitatif dengan pendekatan etnografis. Penelitian Kualitatif adalah suatu penelitian yang pada dasarnya menggunakan pendekatan deduktif-induktif. Pendekatan ini berangkat dari suatu kerangka teori, gagasan para ahli, maupun pemahaman peneliti berdasarkan pengalamannya yang kemudian dikembangkan menjadi permasalahan-permasalahan beserta pemecahannya yang diajukan untuk memperoleh pembenaran (verifikasi) dalam bentuk dukungan data empiris di laporan. Penelitian kualitatif adalah penekanan pada proses dan makna yang tidak dikaji secara ketat atau belum diukur, menekankan sifat realitas yang terbangun secara sosial, hubungan erat antara yang diteliti dengan peneliti, tekanan situasi yang membentuk penyelidikan, sarat nilai, menyoroti cara munculnya pengalaman sosial sekaligus perolehan maknanya. Pendekatan etnografis adalah metode penelitian berdasarkan pengamatan terhadap sekelompok orang dengan lingkungan yang alamiah ketimbang penelitian yang menekankan latar formalitas. Perlu diketahui bahwa penelitian etnografi adalah ciri khas penelitian ilmu Antropologi. Penelitian ini mengutamakan adanya sense of realities peneliti, proses berpikir mendalam dan interpretasi atas fakta berdasarkan konsep yang digunakan, mengembangkan dengan pemahaman yang dalam serta mengutamakan nilai-nilai yang diteliti.
F. Subjek Penelitian
Menurut Suharsimi Arikunto (1998 : 200) subjek penelitian adalah benda, hal atau organisasi tempat data atau variabel penelitian yang dipermasalahkan melekat. Tidak ada satupun penelitian yang dapat dilakukan tanpa adanya subjek penelitian, karena seperti yang telah diketahui bahwa dilaksanankannya penelitian dikarenakan adanya masalah yang harus dipecahkan, maksud dan tujuan penelitian adalah untuk memcahkan persoalan yang timbul tersebut. Hal ini dilakukan dengan jalan mengmpulkan data sebanyak-banyaknya dari informan.
Dalam penelitian ini, pengambilan sumber data penelitian menggunakan teknik “purpose sampling”. Nana Syaodih Sukmadinata (2005: 101) menyatakan, sampel purposive adalah sampel yang dipilih karena memang menjadi sumber dan kaya dengan informasi tentang fenomena yang ingin diteliti. Pengambilan sampel ini didasarkan pada pilihan peneliti tentang aspek apa dan siapa yang dijadikan fokus pada saat situasi tertentu dan saat ini terus-menerus sepanjang penelitian, sampling bersifat purposive yaitu tergantung pada tujuan pada tujuan fokus suatu saat. Dalam penelitian ini yang dijadikan sebagai subjek adalah masyarakat asli ataupun keturunan suku BatakToba.
G. Setting Penelitian
Penelitian ini dilakukan di perumahan Villa Balaraja di daerah Tangerang Barat, provinsi Banten. Hal ini dikarenakan subjek tinggal di daerah Balaraja dan sering melakukan kegiatan di daerah tersebut.
H. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah observasi. Menurut Burhan (2007 : 115) observasi adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan pengamatannya melalui hasil kerja pancaindra mata serta dibantu dengan pancaindra lainnya. Dalam melaksanakan pengamatan ini sebelumnya peneliti akan mengadakan pendekatan dengan subjek penelitian sehingga terjadi keakraban antara peneliti dengan subjek penelitian.
Penelitian ini menggunakan jenis observasi non partisipan dimana peneliti tidak ikut serta terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang subjek lakukan, tetapi observasi dilakukan pada saat wawancara. Pengamatan yang dilakukan menggunakan pengamatan berstruktur yaitu dengan melakukan pengamatan dengan menggunakan pedoman observasi pada saat pengamatan dilakukan.
I. Analisis Data
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis kualitatif, yaitu data yang diperoleh disusun secara sistematis kemudian dianalisis secara kualitatif agar dapat diperoleh kejelasan masalah yang akan dibahas.
Analisis data kualitatif adalah suatu cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis, yaitu yang dinyatakan oleh informan secara tertulis atau lisan dan perilakunya yang nyata, diteliti dan dipelajari secara utuh.
Pengertian analisis ini dimaksudkan sebagai suatu penjelasan dan penginterpretasian secara logis dan sistematis. Logis sistematis menunjukkan cara berpikir deduktif-induktif dan mengikuti tata tertib dalam penulisan laporan penelitian ilmiah.
Setelah analisis data selesai maka hasilnya akan disajikan secara deskriptif, yaitu dengan menuturkan dan menggambarkan apa adanya sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Dari hasil tersebut kemudian ditarik suatu kesimpulan yang merupakan jawaban atas permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar