Selasa, 27 Desember 2016
pertentangan 5 Buku Filsafat
pertentangan di lima (5) buku filsafat
Setiap buku pasti memilki perbedaan atau pertentangan satu sama lainnya, walaupun memiliki bahasan yang sama, tetapi penafsiran atau pemaknaan pengarang berbeda-beda tentang suatu hal, disini saya mencoba melihat apa saja pertentangan yang ada di lima buku tersebut, yang terdiri dari : 1) Kritik Atas Akal Budi Praktis, 2) Filsafat Pendidikan Masa Depan, dan 3) Filsafat Pendidikan.
Dalam buku filsafat Kritik Akal Budi Praktis oleh Imannuel Kant terdapat sub judul yang membahas :
“Eksistensi Tuhan sebagai Dalil Akal Budi Praktis Murni”. Hukum moral, pada analisis selanjutnya, mengarah pada suatu masalah praktis yang hanya terdapat pada akal budi murni dan tanpa diikuti oleh dorongan inderawi. Ini adalah masalah kesempurnaan bagian pertama dan prinsipil dari kebaikan tertinggi, yaitu moralitas ; karena masalah ini hanya dapat dipecahkan di dalam keabadian, ini mengarah pada dalil imortalitas. Hukum yang sama juga pasti mengarahkan kita untuk mengakui adanya kemungkinan elemen kedua kebaikan tertinggi, yaitu kebahagiaan yang sesuai dengan moralitas tersebut; dia pasti melakukannya dengan begitu enggan oleh akal budi yang sepenuhnya imparsial. Ini dapat dilakukan dnegan mengandaikaneksistensi suatu sebab yang sesuai dengan efek ini, jadi dia harus mendalilkan eksistensi Tuhan sebagai sesuatu yang niscaya menjadi bagian dari kemungkinan kebaikan tertinggi (objek kehendak kita yang niscaya terkait dengan legilasi moral akal budi murni). Kita mulai menunjukkan kaitan ini secara meyakinkan.
Kebahagiaan merupakan kondisi seorang mahluk rasional di dunia ini, yang di dalam segenap eksistensinya segala hal berjalan menurut harapan dan kehendaknya. Jadi, dia terletak pada harmoni sifat dasar dengan seluruh tujuan dan dengan dasar penentu kehendak esensialnya. Namun hukum moral memerintah sebagai hukum kebebasan melalui motif yang sepenuhnya independen dari sifat dasar dan berjalan secara harmonis dengan hawa nafsu kita (sebagai pendorong). Memang, mahluk rasional yang hendak bertindak di dunia ini pada saat yang sama bukan menjadi penyebab dunia dan sifat dasar itu sendiri. Jadi, tidak ada dasar paling lunak di dalam hukum moral bagi suatu hubungan niscaya moralitas dengan kebahagiaan proporsional seorang mahluk yang ada di dunia ini sebagai salah satu bagiannya dan yang independen darinya. Tanpa menjadi penyebab sifat dasar, niat dengan kekuatannya sendiri tidak dapat membawa sifat dasar, ketika dia bersentuhan dengan kebahagiaan, ke dalam harmoni secara menyeluruh dengan prinsip-prinsip praktisnya. Namun, dalam tujuan praktis akal budi murni, yaitu di dalam pencarian terus-menerus terhadap kebaikan tertinggi, kaitan tersebut didalilkan sebagai sesuatu yang niscaya: kita seharusnya berupaya menemukan kebaikan tertinggilebih jauh lagi (yang paling tidak mungkin dilakukan). Dengan demikian, eksistensi juga didalilkan sebagai sebab musabab dari seluruh sifat dasar, yang berbeda dari sifat dasar, yang mengandung dasar bagi kesatuan pasti kebahagiaan dengan moralitas. Sebab tertinggi, bagaimanapun, harus berisi dasar kesepakatan sifat dasar bukan hanya dengan hukum kehendak mahluk rasional namun juga dengan ide hkum ini sejauh mereka menjadikannya sebagai dasar tertinggi determinasi kehendak. Jadi, hal ini berisi dasar kesepakatan sifat dasar yang tidak hanya dengan tindakan yang bermuatan moral namun juga dnegan moralitas mereka sebagai motif bagi tindakan semacam itu, yaitu dengan kehendak moral mereka. Dengan demikian, kebaikan tertinggi hanya mungkin ada di dunia ini berdasarkan atas pengandaian tentang sebab tertinggi sifat dasar yang kausalitasnya berhubungan dengan kehendak moral. Kini seorang mahluk yang mampu bertindak menurut ide hukum adalah seorang pandai (mahluk rasional), dan kausalitas mahluk tersebut menurut ide hukum ini adalah kehendaknya. Dengan demikian, sebab tertinggi sifat dasar, selama diaharus diasumsikan sebagai kebaikan tertinggi, adalah mahluk yang menjadi sebab (dan konsekuensinya adalah sang pencipta) sifat dasar melalui pemahaman dan kehendak, yaitu Tuhan. Konsekuensinya, dalil tentang kemungkinan adanya kebaikan turunan tertinggi (dunia terbaik) pada saat yang sama menjadi dalil bagi realitas kebaikan asli tertinggi, yaitu eksistensi Tuhan. Kini tugas kita untuk mencari kebaikan tertinggi; dan ini bukan hanya kedudukan istimewa kita melainkan satu keniscayaan yang terkait dengan kewajiban sebagai suatu syarat untuk meyakini adanya kemungkinan adanya kebaikan tertinggi. Keyakinan ini hanya diciptakan menurut kondisi eksistensi Tuhan, dan kondisi ini terkait erat dengan keyakinan adanya kewajiban. Dengan demikian, secara moral perlu untuk berasumsi tentang eksistensi Tuhan.
Cukup jelas di sini bahwa keharusan moral ini bersifat subyektif, yaitu suatu kebutuhan, dan tidak bersifat objektif, atau kewajiban itu sendiri. Tidak mungkin ada kewajiban untuk mengasumsikan eksistensi sesuatu, karena keyakinan semacam itu hanya terkait dengan pemakaian akal budi secara teoretik. Juga tidak perlu dipahami bahwa asumsi tentang eksistesi Tuhan adalah sesuatu yang dibutuhkan sebagai dasar dari semua kewajiban secara umum (ini, sebagaimana telah ditunjukkan, semata-mata terletak pada otonomi akal budi itu sendiri). Yang menjadi bagian dari kewajiban adalah pencarian untuk menghasilkan dan memperdalam kebaikan tertinggi di dunia ini, di mana eksistensinya mungkin dapat didalilkan kendati akal budi kita tidak dapat menkonsepsikannya kecuali dengan mengandaikan adanya intelegensia tertinggi. Asumsi tentang adanya eksistensinya ini ada terkait dengan kesadaran akan kewajiban kita, kendati asumsi itu sendiri menjadi bagian dari ranah akal budi teoritik. Hanya dipandang dalam kaitannya dengan yang kedua, ini adalah suatu hipotesis, yaitu, suatu dasar penjelasan. Namun ketika mengacu pada komperehensibilitassuatu objek (kebaikan tertinggi) yang ditempatkan di hadapan kita oleh hukum moral, dan sebagai suatu kebaikan praktis, ini bisa disebut dengan iman dan bahkan bisa juga disebut dengan iman rasional murni, karena akal budi murni itu sendiri(berdasarkan atas penjelasan secara teoritik maupun secara praktis) merupakan sumber yang dari situ ia menjadi tumbuh.
Dari deduksi tersebut kini menjadi jelas mengapa bahwa mazhab Yunani tidak pernah berhasil memecahkan masalah kemungkinan praktis adanya kebaikan tertinggi. Ini karenamereka membuat aturan pemakaian di mana kehendak manusia menjadikan kebebasannya sebagai dasar tunggal dan mandiri dari kemungkinan ini, dengan berpikir bahwa mereka tidak memerlukan eksistensi Tuhan untuk keperluan ini. Mereka sepenuhnya benar ketika membangun prinsip moral menurut dirinya sendiri, yang tidak tergantung kepada dalil dan semata-mata dari relasi akal budi dengan kehendak, sehingga menjadikan prinsip moralitas sebagai syarat praktis tertinggi dari kebaikan tertinggi; namun prinsip bukan kondisi menyeluruh dari kemungkinan ini. Filsafat Epicurean benar-benar telah mengemukakan prinsip moralitas yang sama sekali salah, yaitu kebahagiaan, menjadi suatu prinsip tertinggi, dan hukum telah memelihara suatu maksim dari pilihan arbitrer masing-masing menurut kecenderungannya. Namun mereka berjalan cukup konsisten, ketika mereka mendegradasikan kebaikan tertinggi pada proporsi tertentu menjadi bagian terendah prinsip dan mereka tidak mengharapkan kebahagiaan yang lebih tinggi daripada yang dapat diperoleh melalui kebijaksanaan manusia. (Di mana pengekangan dan lunaknya kecenderungan ada di dalamnya), kendati setiap orang tahu bahwa kebijaksanaan cukup jarang dan menimbulkan beragama hasil menurut situasinya, tanpa menyebutkan pengecualian yang terus-menerus harus diakui oleh maksim mereka dan yang menjadikannya tidak bernilai sebagai hukum. Filsafat Stoic, pada sisi lain, telah memilih prinsip praktis tertinggi mereka, yaitu kebajikan, secara tepat sebagai kondisi kebaikan tertinggi. Namun ketika mereka membayangkan derajat kebaikan yang diperlukan bagi hukum murni yang sepenuhnya dapat dicapai dalam kehidupannya, mereka tidak hanya membesar-besarkan kapasitas moral manusia, yang diberi nama “orang bijak”, di luar semua batas sifat dasarnya, menjadikannya sebagai sesuatu yang dipertentangkan oleh semua pengetahuan tentang manusia; mereka juga menolak untuk menerima komponen kedua kebaikan tertinggi, yaitu kebahagiaan, sebagai satu objek khusus hasrat manusia. Justru, mereka menjadikan orang bijak mereka, seperti Tuhan ketika menyadari kehebatan manusia, sepenuhnya independen dari sifat dasar (terkait dengan kepuasan diri), mendekatkannya kepada kejahatan-kejahatan kehidupan namun tidak membiarkannya tunduk kepada mereka. (Mereka juga menampilkannya bebas dari segala hal jahat secara moral), karena mereka menempatkan kebaikan tertinggi hanya karena bertindak dan demi memuaskan kehormatan manusia, yang dimasukkan ke dalamnya di dalam kesadaran akan karakter moral. Namun suara sifat dasar mereka dapat saja menyangkalnya.
Doktrin Kristen , bahkan ketika tidak dipandang sebagai doktrin religius, pada titik ini memberikan konsep tentang kebaikan tertinggi (Kerajaan Tuhan)yang cukup memadai bagi keinginan paling keras dari akal budi praktis. Hukum moral bersifat suci (tidak pernah berubah) dan menghendaki kesucian moral, kesempurnaan moral yang dapat dicapai manusia hanyalah kebajikan, yaitu suatu disposisi kepatuhan hukum yang muncul dari penghormatan terhadap hukum yang kemudian menimbulkan kesadaran akan kecenderungan terus-menerus untuk melanggarnya atau paling tidak kecenderungan untuk melakukan pencemaran, yaitu campuran dari sekian banyak motif palsu (bukan moral) terhadap ketaatan hukum; konsekuensinya, manusia hanya dapat mencapai keyakinan yang berpadu dengan kehinaan. Dan terkait dengan kesucian yang diwajibkan oleh hukum Kristen, tidak ada yang tersisa bagi mahluk kecuali kemajuan tiada akhir, meskipun untuk alasan yang sama harapan akan rentangwaktu-yang-ada-akhir dapat dibenarkan. Nilai dari karakter yang sepenuhnya sejalan dengan hukum moral tidak akan ada batasnya, karena semua kemungkinan kebahagiaan dalam penilaian sang pemberi kebahagiaan yang bijak dan maha kuasa tidak memiliki batas lain kecuali kurangnya kepatuhan mahluk rasional terhadap kewajiban mereka. Namn hukum moral tidak dengan sendirinya menjanjikan kebahagian, karenayang kedua, menurut konsep yang berasal dari jenis sifat manapun, tidak serta-merta terkait dengan kepatuhan terhadap hukum. Etika Kristen mengandung kelemahan dari komponen kedua yang tak tergoyahkan dari kebaikan tertinggi dengan menyajikan suatu dunia yang di dalamnya mahluk rasional secara pribadi mengabdikan dirinya kepada hukum moral; inilah Kerajaan Tuhan, di mana sifat dan moralitas hidup secara harmonis, yang asing satu-sama lain, melalui sang Pencipta Suci dunia ini, yang memungkinkan lahirnya kebaikan tertinggi. Kesucian moral dijejalkan kepada mereka didalam hidup ini sebagai petunjuk perrilaku, namun sesuai dengannya, yaitu kebahagiaan, dipandang hanya dapat tercapai di dalam keabadian. Ini disebabkan oleh fakta bahwa yang pertama pasti selalu menjadi pola perilaku mereka setiap saat, dan kemajuan ke arahnya di dalam ini pun mungkin dan perlu, sementara yang kedua, yang diberi nama kebahagiaan, tidak dapat (sesuai dengan kemampuan kita) dicapai di dalam kehidupan ini sehingga hanya dijadikan sebagai objek harapan. Namun, prinsip Kristen tentang moralitas tidak bersifat teologis sehingga dia heteronom, yang menjadi otonomi akal budi praktis itu sendiri, karena ini tidak menjadikan pengetahuan Tuhan dan kehendaknya sebagai basis hukum ini namun menjadikan pengetahuan semacam itu sebagai basis untuk mencapai kebahagiaan tertinggi di dalam kepatuhan terhadap hukum-hukum ini; dia tidak menempatkan pendorong kepatuhan sejati terhadap hukum dalam konsekuensi kepatuhan yang dikehendaki namun di dalam konsepsi kewajiban itu sendiri, di dalam aturan agama sebenarnya yang terdiri dari kemampuan untuk meraih yang kedua.
Dalam hal ini, melalui konsep kebaikan ternggi sebagai objek dan tujuan akhir akal budi praktis, hukum moral mengarah kepada agama. Agama adalah pengakuan atas semua kewajiban sebagai perintah ilahi, bukan sebagai sanksi, yaitu hukum yang arbitrer dan tidak menentu dari suatu kehendak dari luar sana, namun sebagai hukum esensial dari segala kehendak bebas. Dengan demikian, mereka harus dipandang sebagai perintah Zat Yang Maha Tinggi karena kita hanya dapat mengharapkan kebaikan tertinggi (memperjuangkan agar kewajiban yang kita jalankan patuh kepada hukum) dari suatu kehendak yang sempurna secara moral dan maha kuasa; dan, dengan demikian, kita hanya dapat berharap akan mencapainya melalui harmoni dengan kehendak ini. Namun sekali lagi segala hal tetap tidak sempurna dan hanya didasarkan atas kewajiban, tanpa didasarkan atas ketakutan atau harapan sebagai pendorong, yang, jika mereka menjadi prinsip, akan merusak seluruh nilai moral tindakan ini. Hukum moral memerintahkan kita untuk menjadikan kebaikan paling tinggi dunia ini sebagai objek final dari seluruh tindakan kita. Dalam hal ini saya tidak dapat berharap untuk berjalan dengan baik kecuali melalui kesepakatan kehendak saya dengan Sang Pencipta dunia yang maha suci dan maha murah. Dan meskipun kebahagiaan saya dimasukkan ke dalam konsep kebaikan tertinggi sebagai suatu keselruhan di mana kebahagiaan tertinggi dipandnag terkait secara pasti dengan derajat kesempurnaan moral tertinggi mungkin bagi para mahluk, ini tetap tidak dinamakan kebahagiaan melainkan hukum moral (yang pada kenyataaannya secara tegas menempatkan kondisi yang membatasi pada penantian kebahagiaan tiada ujung) yang terbukti menjadi dasar yang menentukan kehendak agar semakin menyempurnakan kebaikan tertinggi.
Dengan demikian, moralitas sebenarnya bukan doktrin tentang bagaimana menjadikan diri kita bahagia namun bagaimana kita layak memperoleh kebahagiaan. Jika agama ditambahkan kepadanya sajalah maka harapan ini dapat muncul dari seseorang yang berpartisipasi di dalam kebahagiaan dalam proporsi yang kita yakini tidak senilai dengannya.
Seseorang layak memiliki sesuatu atau suatu kondisi ketika kepemilikannya berjalan harmonis dengan kebaikan tertinggi. Kita dapat dengan mudah melihat bagaimana semua kelayakan ini menjadi persoalan tindakan moral, karena ini menjelaskan kondisi segalahal (yang menjadi bagian dari kondisi sesxeorang) di dalam konsep kebaian tertinggi, yaitu partisipasi di dalam kebahagiaan. Dari sini dismpulkan bahwa orang tidak boleh memandang moral itu sendiri sebagai doktrin kebahagiaan, yaitu sebagai satu intruksi tentang bagaimana mmemperoleh kebahagian. Moral hanya berkaitan dengan kondisi rasional (conditio sine qua non) kebahagiaan tidak terkait dengan sarana untuk mencapainya. Namun ketika moral (yang hanya memaksaan kewajiban dan tidak menyediakan aturan bagi harapan-harapan egois) sepenuhnya dijelaskan, dan suatu harapan moral telah dimunculkan untuk mencapai kebaikan tertinggi (membawa Kerajaan Tuhan kepada kita). Yang merupakan satu harapan yang didasarkan atas hukum dan sesuatu yang tidak memberi tempat kepada pikiran egois, dan ketika demi harapan ini langkah menuju kepada agama telah dilakukan – maka etika yang dapat disebut sebagai doktrin kebahagiaan, karena harapan akan terciptanya hal ini mula-mula muncul dari dalam agama.
Dari sini juga terlihat bahwa, jika kita mengikuti tujuan akhir Tuhan ketika menciptakan dunia, kita harus menamainya bukan sebagai kebahagiaan mahluk rasional di dunia ini melainkan kita sebut dengan kebaikan tertinggi, yang menambahkan kondisi lebih jauh kepada harapan mahluk rasional agar menjadi bahagia, yaitu, kondisi layak memperoleh kebahagiaan, yang merupakan moralitas mahluk ini, karena dia sendiri mengandung standar yang dengannya mereka dapat berpartisipasi di dalam kebahagiaan di tengah pencipta yang bijaksana. Ketika kebijaksanaan dipandang secara teoritis, saranapengetahuan kebaikan tertinggi, dan, secara praktis kecocokan kehendak dengan kebaikan tertinggi, orang tidak dapat memberi label kepada kebijaksanaan independen tertinggi sebagai suatu tujuan yang hanya didasarkan atas kemurahan hati. Kita tidak dapat mengkonsepkan tindakan kemurahan hati ini (dalam kaitannya dnegan kebahagiaan mahluk rasional) kecuali ketika sesuai dengan sejumlah kondisi yang membatasi harmoni dnegan kesuciankehendak-Nya sebagai kebaikan asli yang tertinggi. Mungkin kemudian mereka yang telah menempatkan tujuan penciptaan demi kejayaan Tuhan, karenaini tidak dipandang secara antropomorfis sebagai satu kecenderungan yang harus dipertahankan, telah menentukan istilah terbaik. Tidak ada yang mengagungkan Tuhan di atas hal yang paling dapat diperkirakan di dunia ini, yaitu, penghormatan terhadap perintah-Nya, aturan tentang kewajiban sakral yang dipaksakan olehhukum kepada kita; ketika ditambahkan kepada rencaan agung-Nya untuk membangun kerajaan berupa suatu tatanan luar biasa dengan kebahagiaan yang terkait dengannya. Jika yang kedua, dalam konteks manusia, menjadikan-Nya layak dicintai, oleh yang kedua Dia adalah objek kecintaan. Manusia dapat memperoleh cinta kasih dnegan berlaku baik, namun hanya dengan itu saja tidak akan memperoleh penghargaan; kebaikan akbar hanya menjadi martabat dengan cara dijalankan menurut kebaikan.
Dengan sendirinya, berdasarkan atas tatanan tujuan, manusia (dan setiap mahluk rasional) merupakan tujuan itu sendiri, jadi dia tidak pernah dipahami hanya sebagai sarana bagi seseorang (bahkan bagi Tuhan) tanpa pada saat yang sama menjadikan dirinya sebagai tujuan, dan kemanusiaan di dalam diri kita dengan sendirinya pastilah suci bagi kita, karena manusia tunduk kepada hukum moral dan dengan demikian tunduk kepada hal-hal yang suci, dan hanya ketika sejalan dan sepaham dengan hal inilah maka suatu hal dapat disebut suci. Hukum moral didasarkan atas otonomi kehendaknya sebagai suatu kehendakbebas, yang berdasarkan atas hukum universalnya pasti mampu untuk setuju dengan hal-hal yang menjadi sandaran dirinya.
Dalam buku Filsafat Pendidikan Masa Depan terdapat subjudul yang membahas :
“Intelektualisme dan Spiritualisme”. Konsep-konsep dasar yang diperbincangkan sekurang-kurangnya dapat dilihat di dalam diskusi-diskusi yang telah dijelaskan sebelumnya.
Buku berjudul Kurikulum 2013: Sebuah Inovasi Struktur Kurikulum Penunjang Masa Depan (2013) karya Loeloek Endah Poerwanti memberikan gambaran tentang dasar-dasar pengembangan kurikulum 2013 dan praktik di lapangan. Dasar pengembangan kurikulum baru menurutnya terletak pada pentingnya mewujudkan konsep “kurikulum terintegrasi” (2013:15) sebagai perwujudan dari keberhasilan pendidikan di bidang spiritual, afektif, kognitif, dan konatif. Dasar penjabaran gagasannya diletakkan pada Peraturan Pemerintah No 20 tahun 2003 tentang Standar Pendidikan Nasional. Standar penidikan ini menurutnya tidak bisa dilepaskan dari standar keahlian yang telah diterbitkan oleh Pemerintah sebelumnya, yakni Peraturan Presiden No 8 tahun 2013 tentang kerangka kualifikasi Nasional Indonesia. Mengacu pada dasar pemikiran itu, dia membayangkan wujud pendidikan di Indonesia pda masa datang :” Berdasarkan standar kualifikasi seperti itu, kemampuan yang dihasilkan setiap jenjang pendidikan tinggi bisa dibaca secara universal. Maksudnya, identitas yang berwujud world class university dapat dicapai karena dengan standar itulah hasil pengajaran universitas bisa diterima ‘dunia internasional’ (Poerwanti, 2013:276).” Uraian menunjukkan adanya pemahaman terhadap kurikulum sebagai bagian dari berbagai standar pelaksanaan pendidikan.
Buku ini memang memuat prinsip-prinsip dasar kurikulum, tetapi belum memuat praktik pelaksanaan pengajaran di kelas. Buktinya, Poerwanti belum memasukkan Permendikbud Nomor 81A tahun 2013 tentang Implementasi Kurikulum. Bila dilihat secara lebih detail, di sinilah langkah-langkah operasional kurikulum 2013 di ruang kelas. Dijelaskan pula tentang muatan-muatan yang harus ada pada setiap kelas dari SD sampai SMA. Buku itu juga belum memuat peraturan-peraturan yang baru terkait dengan revisi kurikulum 2013.
Demikian pula di dalam buku berjudul Ilmu Pendidikan Perspektif Kontekstual (2011) karya As’aril Muhajir. Dia melihat pentingnya pendidikan berbasis pada nilai-nilai keagamaan. Hal iti karena pendidikan yang berjalan selama ini telah mengalami “demoralisasi” (2011:31). Menurutnya, “Diakui atau tidak, terdapat kecenderungan bahwa perilaku pelajar kita sekarang kian bebas dan permisif (2011:35).” Gagasannya tampak melihat secara esensial tentang konsep-konsep kurikulum 2013. Faham tentang liberalisme dan permisivitas telah ditemukan.
Temuan tersebut memberikan arti penting tentang sumbangannya terhadap praktik kurikulum. Dalam banyak hal, praktik-praktik liberal itu juga bisa ditemukan dalam mata pelajaran yang lain. Sebagai contoh, Muhammad Rohmadi dan SlametSubiyantoro mengumpulkan isu pembelajaran bahasa, sastra, dan seni dalam buku Bunga Rampai Model-model Pembeajaran Bahasa Sastra, dan Seni. Buku ini menampilkan model-model pembelajaran yang telah pakem sehingga tugas para penulis adalah mempraktikkan dalam proses pembelajaran. Rohmadi tidak mendudukkan praktik-praktik pembelajaran itu dalam kerangka Kurikulum 2013 yang menggunakan metode-metode tertentu. Kendati demikian, Rohmadi memberikan keterangan tentang masalah-masalah dasar dalam pembelajaran yang belum ditemukan sebuah semangat yang sesuai dengan nilai-nilai kebangsaan.
Kenapa nilai filosofis kebangsaan dalam dunia pendidikan itu penting? Hal itu karena sebuah praktik pembelajaran tidak pernah bisa dilepaskan dari dasar-dasar esensial atau niat dasar yang terdapat di dalam pelaku pendidikan. Niat dari guru serta manajemen yang mengitarinya menjadi batu dasar untuk menegakkan sebuah praktik pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai kebangsaan.
Konsep dasar itulah yang membuat Muhammad Rifai Politik Pendidikan Nasional
(2011) menjelaskna tentang pentingnya politik dalam pendidikan. Falta-fakta yang terjadi di Indonesia, ketersediaan sumber daya bukanlah faktor utama untuk meningkatkan pendidikan. Secara linear, peningkatan kualitas pendidikan membutuhkan smber daya yang memadai, tetapi secara aktual, sumber daya yang memadai tidak ternyata tidak serta-merta menjadi faktor penyebab. Mental korupsi menjadi fakta yang tidak terhindarkan ketika disediakan sumber daya yang melimpah. Itulah kenapa polotik pendidikan perlu disadari sebagai startegi mengembangkankualiatas pendidikan di Indonesia.
Kualitas yang terdapat dalam pendidikan sekarang ini tampak jelas didasari oleh pertimbangan-pertimbangan yang mengatasnamakan ilmiah, rasional, efektivitas, dan efisiensi. Pertimbangan atas nama rasionalitas itulah yang kemudian yang menjadikan pendidikan di Indonesia adalah sebuah pendidikan yang kering. Praktik pengajaran mengedepankan epistemologi rasionalitas pencerahan ketimbang nilai-nilai metafisis. Lihatlah simpulan Rifai yang sanagt baik berikut ini:
Tidaklah terlau salah atas sinyalemen yang muncul bahwa jika sistem pendidikan kita terlau menonjolkan persaungan dan peringkat kelas yang akan melahirkan pribadi-pribadi individualistis yang rendah kepekaan sosialnya. Semua berlomba ingin menduduki peringkat teratas. Semua ingin menjadi pemenang dan harus mengalahkan yang lain. Fenomena semacma hampir terjadi di semua tingkatan pendidikan (Muhammad Rifai, 2011:151).
Kutipan di atas memberikan sebuah simpulan tentang kualitas yang mementingkan peraingan dan tujuan-tujuan rasional. Rasionalitas inilah yang sebetulnya bisa menjerumuskan dalam praktik pendidikan. Dalam bahasa Sosiologi Habermas, kita terjebak di dalam rasionalitas-bertujuan. Sebuah rasionalitas kering yang hanya mengutamakan tujuan-tujuan akhir.
Dalam kebudayaan, sebuah rasionalitas bertujuan bukanlah bagian paling penting karena proses untuk membantun rasionalitas tersebut jugamenjadi bagian dari kualitas rasional tersebut. Sebagai contoh, sebuah kegiatan ritual menjelang ujian nasional bukanlah tindakan yang rasional. Hal itu akan membuang waktu dan tenaga secara rasional. Tetapi sebagian besar melakukan itu untuk “menguatkan nilai-nilai spiritualitas”. Niali-nilai itu dijadikan sebagai faktor pendorong untuk berprestasi.
Fakta-fakta di lapangan, faktor spiritualitas itudianggap sebagai “inisiatif yang baik” dalam praktik pembelajaran, tetapi tidak bisa dituangkan di dalam rencana pembelajaran. Paling banter hal itu bisa dilakukan di dalam penjabaran kompetensi inti dalam tujuan pembelajaran. Kompetensi itu hanya dilakuakn sebagai “topeng-topeng” spiritual yang miskin praktik.
Hal itu merupakan sebagian kecil masalah yang dihadapi pemerintah sepuluh tahun kemudian. Hal itu sekurang-kurnanya telah diprediksi di dalam tulisan Tim Kreatif LKM Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Mereka memberikan usul tentang pentingnya perubahan pendidikan dalam Restorasi Pendidikan Indonesia: Menuju Masyarakat Terdiri Berbasis Budaya (2011). Dalam buku itu dijelaskan tentang masalah-maslah dasar pendidikan di Indonesia, seperti pengaruh globalisasi, orientasi pasar, badan hukum pendidikan, ujian nasional, dan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK).
Dalam buku Filsafat Pendidikan oleh Prof. Dr. MUHMIDAYELI, M. Ag. Terdapat subjudul yang membahas tentang :
“Teori Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Konteks Islam”. Untuk melihat bagaimana teori pengembangan sumber daya manusia dalam Islam dapat diwali dengan menganalisis isyarat yang ditunjukkan Tuhan melalui kita dalam firman-Nya surat al-Nahl ayat 78 yang artinya: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, agar kamu bersyukur.” Ayat ini memberikan isyarat kepada kita, bahwa manusia memperoleh ilmu pengetahuan melalui pendayagunaan fungsionalitas instrumen pendengaran, penglihatan, dan nalar.
Tampaknya ayat di atas memberikan keterangan bahwa proses pengembangan humanitas manusia dimulai dengan fase pengembangan persepsi terhadap sesuatu yang terbatas pada dua indra, pendenganran dan penglihatan yang kemudian akan menjadi membaik dengan dukugan daya fu’ad (nalar fitri) sebagai daya persepsi identifikatif manusia yang ditransformasikan oleh alat-alat indrawi dan melalui pencarian relasi-relasi objektif.
Ketika manusia belum dapat menginternalisasikan potensinya secara nyata, pendengaran dalam hal ini justru merupakan saranapaling tepat untuk mengembangkan smber daya manusia. Hal ini tidak saja karena pendengaran adalah instrumen awal yang potensial yang untuk pengembangan sumber daya manusia, tetapi juga karena pendengaran adalah sumber daya manusia yang erat kaitannya dengan daya ingat dan daya mencerna yang di dalamnya dapat dilihat dari kesanggupan seseorang dalam mengungkapkan kembali apa yang ada dengan menjelaskan, menguraikan dan atau menggambarkan apa yang telah diterima lewat penggunaan daya pendengaran. Kedua daya ini mengamdung unsur kehati-hatian yang erat kaitannya dengan kosentrasi dan imajinasi kreatif. Tanpa sifat ini mustahil seseorag akan mampu menampung sebanyak-banyaknya informasi dan menuangkannya kembali sesuai dengan apa yang ia dengar dengan menghindarkan diri dari kesalahan-kesalahan yang akan menggangu nilai kebenarannya.
Pendengaran sebagai instrumen ilmu, tentulah yang dimaksudkan bahwa ilmu pengetahuan diperoleh melalui pengupayaan secara maskimal daya pendengaran dalam mengumpulkan berbagai informasi dan data yang diperlukan. Dari sini dapat dipahami bahwa syarat pertama dan utama meski dimiliki seseorang dalam meraih ilmu adalah memiliki daya dengar/ menyimak yang baik, sehingga apa yang ia terima dapat dideskripsikan secara baik dan benar dan ini pun menjadi modal bagi pengembangan daya analisis seseorang yang secara nyata memiliki kaitam yang erat dengan daya ingat, daya mengungkapkan, daya menjelaskan dan mengelompokkan data, daya membedakan dan membandingkan, daya menghubungkan informasi, daya menguraikan dan daya imanijasi seseorang.
Apabila dikaitkan dnegan pengembangan sumber daya manusia dalam dunia pendidikan, maka dengan cara melatih daya dengar subjek didik terhadap suatu bunyi dan atau nada dalam beberapa informasi, maka mereka dapat membuat deskripsi logis berbagai informasi yangia terima dengan cara baikdan benar pula. Melatih daya dengar, berarti pendidikan dunia menyimak uraian yang dengannya memberikan konsekuensi terhadap kemampuan mengklarifikasi dan menjelaskna berbagai informasi, menghubungkan berbagai realitas pengetahuan yang didengarnya yang tidak lain merupakan aktivitas strategis dalam mengembangkan kemampuan intelektual subjek didik, di mana lebih dari separuh dunia ilmu berada pada wilayah ini. Dengan demikian sasaran edukasi di sini tentulah berkenaan dengan melatih konsentrasi subjek didik terhadap suatu atau beberapa objek ilmu. Hal ini tentu memerlukan metode latihan dan pembiasaan dalam mencerna realitas pengetahuan, terutama yang berkenaan dengan pengetahuan otoritatif yang bernuansakan teoretis.
Selain hal di atas, jika kita amati pula pengaksentuasian pencarian ilmu melalui instrumen penglihatan, terlihat bahwa Islam mengakui pengembangan ilmu pengetahuan melalui empiris-eksperimentasi atatupun empiris-fenomenologis yang menonjolkan observasi sebagai metodenya. Melalui metode ini, seseorang akan memperoleh beragam data yang dibutuhkan untuk membangun sebuah pemahaman tentang objek kajian sedemikian rupa sehingga melahirkan rumusan-rumusan teori sebagai lambang bagi kemajuan ilmu pengetahuan itu sendiri. Dengan demikian, melalui fungsionalisasi daya al-abshar ini, manusia akan memperoleh gambaran yang objrektif tentang sesuatu yang diteltit, sehingga melalui upaya menghubungkan antara beragai fakta dan realita akan memunculkan pengetahuan yang sangat berguna bagi kemanusaiaan. Penegmbangan daya ini memiliki hubungan erat dengan daya pengembangan daya persepsi, daya kritik, daya analisis, daya deskripsi, membandingkan, menghubungkan, membedakan, daya kretivitas dan daya inovasi.
Dalam mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan ini diperlukan daya nalar dan kecermatan daya pandang yang baik. Daya nalar akan menjadi baik apabila selalu berhadapan dengan berbagai problem yang mesti diatasi. Oleh karenaitu memupuk kepekaan subjek didik terhadap dunia realita dan mampu membuat rumusan terhadap masalah-masalah yang ia hadapi merupakan sesuatu kemestian dalam mengembangkan sumber daya manusia dalam konteks ini.
Dapat dikatakan pula, bahwa ada hubungan dialogis anatar daya yang bersumber dari pendengaran dan ynag bersunber dari penglihatan manusia.Oleh karenaitu, slogan seumpama sebanyak apa saya mendnegar informasi, maka sebanyak itu pula saya lupa dapat ditopang dengan dikembangkannya daya penglihatan manusia yang akan mengokohkan apa yang ia dengar. Apa yang dipikirkan mestilah pula dapat dibuktuikan dalam tatanan empiris. Dan apa yang dilihat mesti pula di deskripsikan secara sistematis oleh akal manusia.
Apabila kita analisis pula kata fu’ad (nalar) dengan merujuk firman Allah surat al-Qashash ayat 10:” Dan menjadi kosonglah fu’ad (nalar) ibu Musa. Sesungguhnya hampir saja ia menyatakan rahasia tentang Musa seandainya tidak Kami teguhkan hatinya supaya ia termasuk orang-orang yang beriman”. Tampaknya ada hubungan signifikan antara fu’ad (nalar) dan qalb (hati) ketika pengetahuan manusia yang besumber dari daya nalarnya diiringi dengan keteguhan hati karena memang manusianya memiliki keyakinan dan kesadaran diri terhadap apa yang ia ketahui, maka pengetahuan yang bersangkutan akan menjadi kukuh. Untuk membangun hal ini dalam realitas pendidikan, diperlukan adanya upaya pendidikan yang berpusat pada subjek didik. Hal ini mengingat daya-daaya kemanusiaan yang seprti digambarkan di depan mensyaratkan pendidikan pada kesadaran diri dan individualitas sebagai gerak langkah pengembangan kemanusiaan.
Muhammad Iqbal (1873-1938) dalam hal ini menyebutkan, bahwa kesadaran diri dan individualitas ini sebagai kata kunci bagi penempurnaan kemanusiaan. Gerak sejarah manusia selalu ditentukan oleh peran ego yang memiliki kebebasan untuk mengekspresikan kebebasan dirinya. Individualitas adalah suatu gerak maju yang menjadi saluran segala objek dan benda. Dengan memperkuat kepribadian, ego manusia dapat menguasai lingkungan dan mendekati ego Tuhan dengan sifat-sifatNya, sehingga manusia itu pun mencapai kesempurnaanya. Jadi, perubahan sejarah, sangat tergantung pada kualitas individu dalam memmahami dan memaknai hakikat hidup.
Teori kebebasan Muhammad Iqbal ini memestikan ia memahami hakikat manusia sebagai segenap kekuatan diri yang akan menentukan siapa ia. Apabila dirinya dapat berkembang dengan baik, makaeksistensinya dalam masyarakat dan dunia pun akan di akui. Jika manusiatidak mengambil prakarsa dan tidak berkeinginan untuk mengembangkan dirinya dan atau tidak ingin merasakan gejolak batin hidup yang lebih tinggi, maka ruh yang ada padanya akan mengkristal dan perlahan-lahan akan menjadi dirinya tereduksi kepada benda-benda mati atau mahluk hidup yang memiliki karakter kehidupan berbeda dengan manusia. Dalam konteks ini, Muhammad Iqbal berpendapat bahwa untuk membangun hmanitas manusia diperlukan penataan sistem pendidikan yang bermuara padapengembangan potensi diri dan akal manusia dalam memandang realitas kehidupan, tidak saja yang bersifat rasional-idealis seperti yang ditawarkan Plato, tetapi jugasesuatu yang bersifat indrawi. Untuk itu, pendidikan terbaik yang sesuai dengan watak manusia tentulah pendidikan yang mengaksentuasikan aktivitasnya pada pemberikan pengetahuan kepada subjek didik melalui metode problem solving, yaitu suatu cara yang efektif untuk melatih berpikir kreatif, kritis, dan inovatif. Dengan cara ini, menurutnya, dapat membentuk cakrawala berpikir subjek didik sedemikian rupa sehingga menjadi ia manusia yang responsif terhadap berbagai prolematika kehidupan dalam masyarakat. Tindakan moral dan agama dalam keseluruhan dimensinya merupakan bukti nyata dari tindakan memilih dan menentukan atas ragam realitas yang ada. Kesemua ini tidak akaan teraplikasi jika tidak didasarkan pada pengenalan dan penyadaran diri yang erat kaitannya dengan cara seseorang dalam memahami realitas itu sendiri.
Dalam konteks inilah, iman sebagai realisasi ketauhidan manusia memiliki implikasi strategis terhadap penegakan nilai-nilai moral dan agama sebagai lambang humanitas, maka upaya penumbuhkembangan perilaku moral manusia mesti dengan duniapendidikan ke arah yang membangun kesadaran anak dalam berperilaku. Upayapenyadaran ini tidak dapat dilakukan jika seorang pendidikan dalam mengembangkan sumber daya manusia tidak dengan membuat pengimbangan pada tiga instrumen di atas.
Kecuali hal di atas, manusia tauhid pun selalu menginginkan sesuatu yang benar dan senantiasa menegakkan kebenaran, karena memang tidak akan ada suatu keyakinan ketauhidan tanpa kebenaran.
Berdasarkan tesis ini pulalah, maka pendidikan agama dan moral yang diarahkan pada pengupayaan pembinaan kesadaran subjek-subjek didik ini dapat dilakukan melalui pendekatan rasional, yaitu suatu pendekatan moral melalui pertimbangan-pertimbangan rasional. Hal ini sangat penting, terutama mengingat kesadaran manusia atas sesuatu selalu berhubungan dengan dapat tidaknya rasio mereka mencerna dan menerima sebuah ajaran bagi sebuah keyakinan ontologis yang mesti diaktualisasikan dalam tindakan senyatanya.
Pendidikan sekolah yang diorientasikan pada nilai-nilai moral dan agama merupakan suatu kebutuhan nyata dan memiliki urgensi bagi pengembangan sumber daya manusia. Membangkitkan nilai-nilai moral sebagai motivasi dalam segala aktivitas pendidikan dalam hal ini adalah suatu kemestian. Hal ini tidak saja mengingat bahwa upaya pendidikan selalu mengarah pada perbaikan dan perubahan, tetapi lebih dari itu adalah bahwa pendidikan bersentuhan langsung dengan penumbuhkembangan moralitas yang merupakan suatu hal yang esensial bagi humanitas manusia. Konsekuensinya dalam pengembangan kemampuan memahami suatu ilmu pengetahuan semestinya pula diiringi dengan kemampuan pengapresiasian nilai-nilai moral yang ada dalam ilmu pengetahuan tersebut. Dalam konteks evaluasi pembelajaran pun selain dievaluasi kemampuan memahami suatu ilmu pengetahuan semestinya pula diiringi dengan mengapresiasikan nilai-nilai moral yang ada dalam ilmu tersebut dalam tindakan nyata. Tegasnya pengembangan sumber daya manusia tidak hanya untuk melahirkan orang pintar yang menguasai ilmu pengetahuan, tetapi mampu melahirkan orang yang cerdas dan brilian dalam mengapresiasikan nilai-nilai moral dari ilmu pengetahuan yang dimilikinya sehingga teraktualisasi ke dalam perilaku moral yang terpuji.
Mengingat pengembangan sumber daya manusia diarahkan tidak saja untuk membangun manusia seperti yang digambarkan di depan, maka tujuan pendidikan mestilah pula diorientasikan untuk membangun dunia bagi masyarakat dnegan menggunakan kemampuan akal, indra, dan intuisi. Ketiga aspek ini mesti tertuang dalam pengembangan kurikulum pendidikan. Hak ini menjadi penting mengingat ilmu pengetahuan yang diperoleh subjek didik di lembaga pendidikan adalah sebagai wahana bagi perealisasian nilai-nilai spiritual. Untuk itu perlu adanya upaya integrasi intelektual dan cinta sedemikian rupa agar pencarian ilmu penegtahuan benar-benar dilakukan dengan penuh kesadaran, tanggung jawab, dan syarat dengan minat dan motivasi yang menjadikan diri tahan berlama-lama berada dalam kenikmatan ilmu dan kebenaran, sebab hidup bukanlah rutinitas, tetapi seni yang kreatif, konstruktif, dan inovatif.
Dari sini dapat dilihat bahwa pendidikan sejak awal sejarah perkemabngan Islam terlihat selalu mengarah padaprogresivitas dan transformativitas dalam kehidupan manusia, baik yang bernuansakan jasmani maupun ruhani. Konsekuensinya, pendidikan memuat sesuatu yang dibutuhkan manusia, tidak saja ynag berdimensi pragmatis, tetapi juga idealis; tidak saja bercorakkan yang profan, tetapi juga yang sakral; tidak saja sarat dengan muatan pengetahuan, tetapi juga moral; baik untuk kepentingan individu maupun sosial yang mencakup kepentingan kehidupan sekarang dan mendatang. Sedemikian rupa maka dapat dikatakan, bahwa esensi pendidikan Islam tidak lain adalah pengupayaan sadar yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang pada individu atau kelompok tertentu ke arah terjadinya perubahan-perubahan perilaku yang lebih “baik”. Dengan demikian berarti, bahwa bila tidak terjadi perubahan-perubahan sebagaimana yang diinginkan, sesuai dnegan tujuan-tujuan yang telah digariskan oleh suatu lemmbaga pendidikan, sama artinya tidak terjadi proses pendidikan itu senidiri. Konsekuensinya, setiap lapisan pengelola pendidikan sekolah mesti senantiasa sadar akan tugas pentingnya untuk membawa subjek-subjek didik ke arah yang telah ditetapkan. Segala aktivitasnya dan hal-hal yang berkenaan dengannya mesti pula ditata secara baik dan tepat guna dalam rangka peraihan tujuan-tujuan yang telah digariskan.
Kecuali itu, pengembangan sumber daya manusia di sini selalu berkenaan dengan upaya pengembangan potensi manusia yang meniscayakan penyentuhannya dengan kebutuhan dasar manusia, maka pengembangan sumber daya manusia dalam hal ini adalah bagaimana menumbuhkembangkan pitensi ini agar bergerak dan berkembang secara baik ke arah yang diinginkan. Oleh karena itu, pengembangan sumber daya manusia dalam islam selau berkenaan dengan pengembangan kebutuhan dasar manusia itu sendiri, yaitu kebutuhan akan pencarian dan berbuat kebenaran, kebebasan berkehendak, kebutuhan akan pendidikan dan mengadakan perubahan, kebutuhan hidup bersosial dan bermoral, pengembangan bahasa dan seni, pengembangan imu pengetahuan, dan lain sebagainya.
Dari keseluruhan analisis di atas dapat dijelaskan bahwa tiga unsur pokok pengembangan sumber daya manusia ini mesti dilakukan secara berimbang dan berkesinambungan. Hal ini bukan saja karena keseluruhan dimensi keilmuan menurut ketiga hal ini, tetapi juga mengingat eksistensinya dalam pengembangan watak asasi manusia memang meniscayakan ketiga hal itu.
Firman Allah SWT dalam al-Qur’an surat al-Nahl ayat 78 seperti diuraikan diatas juga memberi petunjuk betapa pentingnya proses panjang untuk mengisi kemanusiaan. Ayat di atas memberikan pemahaman bahwa manusia tidak akan dapat menjadi manusia utuh yang memiliki ilmu pengetahuan yang berguna bagi kemudahan kehidupnya, jika ia belum mampu memaksimalkan fungsi instrumen-instrumen jasmani dan ruhaninya. Hanya dengan cara demikian seseorang menjadi lebih baik dan memilki nilai-nilai kemanusiaan sebagai lambang bagi dirinya. Hal yang sedemikian itu memerlukan pengondisian yang terarah dan tertata rapi, sehingga dua potensi manusai itu dapat berkembang dan terbina untuk melahirkan berbagai pengetahuan yang akan membentuk pemikirannya yang selanjutnya menjadi sikap diri yang menunjuk pada jati diri manusia itu sendiri. Upaya pengaturan kondisi inilah yang disebut dengan pendidikan.
Dalam buku Filsafat Ilmu Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis oleh Drs. A. Susanto, M.Pd. terdapat subjudul yang membahas :
“Jalinan Filsafat, Agama, dan Ilmu”. Sejarah umat manusia sesungguhnya tidak pernah sunyi dari para pencari Tuhan. Dengan dorongan sifat fitri keimanan (religionitas), umat manusia melakukan pencarian Tuhan yang sebenarnya. Bagi sebagian orang, agama memang menjadi jawaban. Namun demikian, sejak ratusan tahun bahkan ribuan tahun silam, dunia telah diramaikan oleh para filsuf yang selalu terlibat dalam diskursus ketuhanan (teologi), bahkan dalam wacana tentang asal-usul alam semesta (ontologi) dan ilmu pengetahuan (epistemologi).
Manusia menjalani liku-liku perjalanan dalam upaya mencari Tuhan. Sebagian besar dari mereka benar-benar menemukan Tuhan. Akan tetapi, sebagian lainnya terlena dalam igauan yang tak jelas ketika mencoba terlalu jauh mengembara di belantara metafisisme, sehingga tidak sedikit yang masuk ke dalam perangkat skeptisisme, bahkan ateisme. Menurut al-Jisr (2001:470) dalam konteks agama sikap ini tentu saja kontraproduktif, sekaligus kontraproduktif dengan semangat keagamaan yang selalu memerintahkan manusia untuk memikirkan hal-hal yang indrawi dan rasional ketika berbicara tentang eksistensi, bukan esensi Tuhan sebagai Pencipta (al-Khaliq).
Namun demikian, kontribusi filsafat dan ilmu dalam mengantarkan keimanan kepada Tuhan bukannya tidak ada. Dalam batas-batasa tertentu, filsafat dan ilmu bisa mendukung berbagai bukti kebenaran eksistensi dan kekuasaan Tuhan yang telah diungkap oleh agama.
a. Titik Persamaan
Baik ilmu, filsafat, maupun agama bertujuan sekurang-kurangnya berurusan dengan hal yang sama, yaitu kebenaran. Ilmu pengetahuan dengan metodenya sendiri, mencari kebenaran tentang alam dan termasuk di dalamnya manusia. Filsafat dengan wataknya sendiri pula, menghampiri kebenaran, baik tentang alam maupun tentang manusia, yang belum atau tidak dapat dijawab oleh ilmu, karena di luar atau di atas jangkauannya, ataupun tentang Tuhan. Agama dengan karakteristiknya sendiri pula memberikan jawaban atas segala persoalan asasi yang dipertanyakan manusia, baik tentang alam maupun tentang anusia dan tentang Tuhan.
b. Titik Perbedaan
Baik ilmu maupun filsafat, keduanya hasil dari sumber yang sama, yaitu ra’yu (akal, budi, rasio, atau reason) manusia. Sedangkan agama bersumberkan dari wahyu Allah.
Ilmu pengetahuan mencari kebenaran dengan jalan penyelidikan (riset), pengalaman (empiris), dan percobaan (eksperimen) sebagai batu ujian. Filsafat menghampiri kebenaran dengan cara menulangkan (mengembarakan atau mengelanakan) akal budi secara radikal (mengakar) dan integral (menyeluruh) serta universal (alami atau mengalam) tidak merasa terikat oleh ikatan apapun, kecuali oleh ikatan tangannya sendiri bernama logika, sebagaimana disinggung oleh Anshari (1987:173), bahwa filsafat itu ialah rekaman petualangan jiwa dengan kosmos.
Manusia mencari dan menemukan kebenaran dengan dana dalam agama dengan cara mempertanyakan (mencari jawaban tentang) pelbagai masalah asasi dari atau kepada kitab suci, kodifikasi firman ilahi untuk manusia di atas planet bumi ini.
Kebenaran ilmu pengetahuan adalah kebenaran positif (berlaku sampai dengan saat ini), kebenaran filsafat adalah kebenaran spekulatif (dugaan yang tak dapat dibuktikan secara empiris, riset, eksperimen). Baik kebenaran ilmu maupun kebenaran filsafat, keduanya nisbi (relatif) . sedangkan kebenaran agama bersifat mutlak (absolut), karenaagama adalah wahyu yang diturunkan oleh dzat yang Maha Benar, Maha Mutlak, dan Maha Sempurna, yaitu Allah swt. Baik ilmu maupun filsafat, kedua-duanya dimulai dengan sikap sanksi atau tidak percaya. Sedangkan agama dimulai dengan sikap percaya dan iman.
c. Titik Singgung
Tidak semua masalah yang dipertanyakan manusia bisa dijawab secara positif oleh ilmu pegetahuan, karena ilmu terbatas, terutama oleh subjeknya (sang penyelidik), oleh objeknya (baik objek material maupun objek formalnya) dan juga oleh metodologinya.
Tidak semua masalah yang tidak atau belum terjawab oleh ilmu, lantas dengan sendirinya dapat dijawab oleh filsafat. Jawaban filsafat sifatnya spekulatif dan juga alternatif tentang suatu masalah asasi yang sama terdapat pelbagai jawaban filsafat (para filosof) sesuai dan sejalan dengan titik tolak sang ahli filsafat itu.
Agama memberi jawaban tentang banyak (pelbagai) soal asasi yang sama sekali tidak terjawab oleh ilmu yang dipertanyakan. Namun tidak terjawab secara bulat oleh filsafat.
Akan tetapi, perlu ditegaskan di sini juga tidak semua persoalan manusia terdapat jawabannya dalam agama. Adapun soal-soal manusia yang tiada jawabannya dalam agama dapat kita buktikan sebagai berikut : 1) soal-soal kecil, detail, yang tidak prinsipil, seperti jalan kendaraan sebelah kiri atau sebelah kanan, soal rambut panjang atau pendek bagi pria dan wanita, dan sebagainya, 2) persoalan-persoalan yang tiada secara jelas tersurat dalam AlQuran dan As-sunnah; 3) persoalan-persoalan yang tetap merupakan misteri dikabuti rahasia yang tiada terjangkau akal budi dan fakultas-fakultas rohaniah manusia lainnya karena keterbatasannya. Yang merupakan ilmu (dengan sifat mutlak) Allah swt, yang karena kebijaksanaannya, tiada dilimpahkannya kepada manusia, seperti hakikat ruh, hakikat qadha dan qadar, dan lain sebagainya.
Dengan kekuatan akal budi, ilmu dan filsafatnya, manusia “naik” menhampiri sendiri yang terbatas itu. Di samping itu, dengan kapasitanya “menurunan” wahyu-Nya dan “atas” kepada umat manusia di atas planet bumi ini, agar mereka mencapai dan menemukan kebenaran asasi dan hakiki, yang tidak dapat dicapai dan ditemukan hanya sekedar dengan kekuatan akal budinya semata-mata.
Allah telah menganugerahkan kepadamanusia : alam, akal budi, dan wahyu. Denganakal budi manusia dapat lebih memahami, baik ayat quraniyah (wahyu) maupun ayat kauniyah (alam) untuk kebahagiaan mereka yang hakiki.
Mustahil terdapat pertentangan antara agama Islam pada satu pihak dengan ilmu pengetahuan dan filsafat yang benar pada pihak lainnya. Sebab ilmu dna filsafat yang berhasil dalm memahami kenyataan alam, susunan alam, pembagian alam, bagian-bagian alam dan hukum (yang berlaku bagi) alam. Alquran (ayat quraniyah) tidak lain adalah pembukuan segenap alam semesta (ayat kauniyah) dalam satu Alkitab. Kedua ayat Allah (ayat quraniyah dna ayat kauniyah) itu saling menafsirkan. Penafsiran yang satu terhadap yang lainnya tidak akan pernah kontradiktif, karena kedua-duanya berasal dari Allah, yang pertama sabda Allah (the words of Allah) dan kedua karya Allah (the works of Allah).
Perbedaan perumusan antara agama (Alquran) pada satu pihak dan ilmu dan filsafat yang benar pada pihak lainnya adalah mungkin saja. Perbedaan formulasi antara ilmu lainnya tentang suatu masalah tertentu adalah lazim dalam dunia ilmu pengetahuan. Bahkan, formulasi antara dua antropologi (antropologi fisik pada satu pihak dan antropologi budaya pada pihak lainnya) mengenai “perbedaan antara manusia dengan hewan” umpamanya, besar kemungkinan berbeda sekali.
Agama (Alquran) lebih banyak dapat dihayati, dipahami, diselami, dan dialami, oleh karena itu lebih banyak berbicara kepada manusia yang berilmu pengetahuan dan berfilsafat luas dan dalam. Agama (Alquran) memberikan dorongan (motif), pengarahan, dan tujuan kepada ilmu dan filsafat.
Pada prinsipnya antara ilmu, filsafat, dan agama mempunyai hubungan yang erat dan saling terkait antara satu dan lainnya. Di mana ketiganya memiliki kekuatan daya gerak dan refleksi yang berasal dari manusia. Dalam diri manusia terdapat daya yang menggerakkan ilmu, filsafat, dan agama yaitu melalui akal pikir, rasa, dan keyakinan.
Akal pikiran manusia sebagai daya gerak dan berkembangnya ilmu dan filsafat. Sedangkan keyakinan menjadi daya gerak agama. Ilmu diperoleh melalui akal pikiran manusia dari pengalaman (empiris) dan indera (riset). Filsafat mendasarkan pada otoritas akal murni secara bebas, sedangkan agama mendasarkan diri pada otoritas wahyu.
Hubungan lain adalah bahwa filsafat identik dengan ilmu pegetahuan, sebagaimana filosof juga identik dengan ilmuwan. Objek materi ilmu adalah alam dan manusia, dan objek material filsafat adalah alam, manusia, dan Tuhan. Sedangkan objek kajian agama adalah Tuhan.
Selain itu, masih dalam kaitan antara ilmu, filsafat, dan agama, bahwa filsafat mengkaji tentang kebijaksanaan. Manusia berusaha untuk mencari kebijaksanaan, mencari dengan cara yang ilmiah tentang kebenaran. Akan tetapi, manusia tidak akan sampai pada derajat bijaksana, karena hanya Tuhan sajalah yang bersifat bijaksana. Manusia hanya berusaha untuk mencari kebijkasanaan, mencari kebenaran, dengan cara yang ilmiah. Selain itu, segala aktivitas manusia yang berkenaan dengan pemahaman terhadap dunia secara keseluruhan dengan jiwa dan pikirannya merupakan bagian dari kajian filsafat. Filssafat sama halnya dengan agama, sama-sama mengkaji tentang kebajikan, tentang Tuhan, baik dan buruk, dan lain-lain. Itulah sebabnya maka filsafat mempunyai hubungan yang dekat dengan agama di satu sisi dan ilmu pengetahuan di sisi lain.
Hubungan yang lebih dekat lagi, dapat disaksikan bahwa hal-hal yang tidak terjangkau oleh akal pikiran (filsafat) akan terjawab melalui wahyu atau agama. Begitu juga dengan filsafat, mebahas persoalan – persoalan yang tidak terjawab oleh ilmu pengetahuan.
Dengan demikian, antara ilmu, filsafat, dan agama dapat saling mengisi dan saling melengkapi. Sehingga menjadi lengkaplah sudah kebutuhan manusia untuk memahami keberadaan alam, manusia, dan Tuhan.
Dalam buku Filsafat Umum Sebuah Pendekatan Tematik oleh Dr. Zaprulkhan, M. Si. terdapat subjudul yang membahas :
“Epilog: Perjumpaan Sains dan Agama”. “it has been said that one must see God in everything; it has also been said that one must see everything in God”.
“Seseorang harus mampu melihat Tuhan dalam segala sesuatu, dan juga ia mesti melihat segala sesuatu dalam Tuhan.”
Kalimat pertama ini berarti bahwa dalam memahami sebuah fenomena positif, manusia harus memahami sebab-sebab ketuhanannya. Ia tidak boleh berhenti pada tataran penampakannya semata, ia mesti menyelami tataran internalnya. Ia harus melihat yang prinsip dalam manifestasi, bentuk dasar yang asli dari bentuk yang sementara. Selain yang aksidental, penting pula untuk bisa melihat yang esensial dalam segala sesuatu. Sedangkan frasa kedua di atas, titik tekannya berhubungan degnan subjek yang memahami, bukan objek yang dipahami. Ini berarti bahwa manusia harus mampu melihat segala sesuatu sesuai dengan semangat Sang Pencipta-nya, bukan dengan pandangan dangkal, profan, dan tidak sakral. Itulah perspektif integratif antara sains dan agama, yang diungkapkan oleh Frithjof Schuon secara ekspresif.
Dalam konteks inilah, bercermin pada beragam pendekatan yang telah dieksplorasi di atas, sebagai orang yang beragama kebanyakan kita mungkin lebih cenderung untuk menyepakati pendekatan konfirmasi atau bahkan integrasi. Sains sebagai penjelajahan akal pikiran umat manusia untuk menyibak segala misteri yang terdapat di alam semesta baik pada tatatran kosmos mapun kosmis, sebenarnya merupakan bagaian dari perintah agama. Sehingga dalam perspektif teologis, sejatinya sains merupakan bagian dari keberagaman seseorang. Ketika seorang ilmuwan menyingkap sebuah rahasia tentang tata kerja alam semesta, hakikatnya ia hanya menemukan hukum-hukum alam (sunnatullah) yang sudah diletakkan oleh Tuhan pada wajah alam semesta.
Demikian pula, dengan kacamata keberagaman kita sebenarnya semua peristiwa yang tertoreh pada alam semesta dalam segala aspeknya hakikatnya tidak bisa dipisahkan secara strickdan ketat sebab setiap aktivitaskita senantiasa menghembuskan napas keagamaan. Seseorang yang benar-benar beriman, tidak memilki pengalaman memilah-milah hidupnya menjadi “sakral” dan “sekuler”. Seluruh dimensi kehidupan menjelma pengalaman sakral, seperti yang dapat dilihat pada kenyataan bahwa tindakan –tindakan yang sederhana pun disakralkan dengan menyebut nama Tuhan secara terus-menerus. Dengan demikian, setiap kegaiatan yang kita kerjakan mempunyai keterkaitan dengan seluruh fakta kehidupan, baik sesuatu yang profan (duniawi) maupun sesuatu yang sakral (spiritual/ukhrawi).
Pesan moral keagamaan ini ternyata memang diperkuat dengan penemuan terbaru oleh seorang fisikawan sekaligus filsuf dari abad kita ini juga, Fritjof Capra dalam karyanya The Hidden Connections. Menurut Capra, dalam jagad raya ini bukan hanya terdapat jaring-jaring kehidupan yang saling terkait satu sama lain (interdependency), tapi juga ada napas (roh) kehidupan yang melandasi segalanya. Namun seperti diakui Capra wawasan tersebut memang tidak tampak pada level permukaan. Kita harus menyelam ke dalam palung kehidupan, menerapkan penglihatan seorang filsuf atau sufi yang sudah tercerahkan. Dalam bahasa Capra, itulah yang disebut pengalaman spiritual (spiritual experience).
Masih menurut Capra, denagn penglihatan sakral inilah, kita akan mengetahui bahwa pada tataran alam semesta ini ada semacam the hidden connections, keterkaitan-keterkaitan tersembunyi yang tidak bisa hanya disingkap rahasia-rahasaianya melalui perspektif saintifik semata. Di sini dibutuhkan perspektif lain, yakni perspektif spiritual atau visi mistik yang mau tidak mau terdapat dalam lubuk tradisi keyakinan orang-orang yang beragama. Artinya pada wajah alam semesta memang terdapat jejak-jejak ketuhanan yang bisa terlihat transparan dengan bantuan paradigma spiritual dalam jantung agama.
Dengan terang perspektif ini, tatkala seorang ilmuwan atau saintis tidak merasakan atau enggan mengakui kehadiran Sang Pencipta Yang Maha Akbar, Maha Kuasa, Maha Kreatif, dan Maha Paripurna dalam setiap sketsa yang tampil di semesta, sebenarnya hal itu hanya disebabkan oleh keterbatasan wawasannya, atau ia enggan meneruskan pencariannya karena terjebak ego nalarnya yang terbatas. Pesan ini dilukiskan secara metaforis dengan indah sekali oleh Frithjof Schuon, “ rasionalisme seekor katak yang hidup di dasar sumur mengingkari keberadaan pegunungan; ini bisa saja masuk akal, tapi tidak ada kaitannya dengan realitas”.
Kesimpulan :
1. Kritik Atas Akal Budi Praktis (Immanuel Kant)
a) Isi : “Namun, dalam tujuan praktis akal budi murni, yaitu di dalam pencarian terus-menerus terhadap kebaikan tertinggi, kaitan tersebut didalilkan sebagai sesuatu yang niscaya: kita seharusnya berupaya menemukan kebaikan tertinggi lebih jauh lagi (yang paling tidak mungkin dilakukan).”
b) Pandangan Teori : Teori Consistency
c) Kelebihan : Dalam subjudul ini menjelaskan bahwa mahluk yang mampu bertindak menurut ide hukum adalah mahluk yang pandai dan rasional.
d) Kekurangan : Dalam subjudul ini menjelaskan bahwa asumsi eksistensi Tuhan menjadi bagian dari ranah akal budi teoritik.
2. Filsafat Pendidikan Masa Depan (Dr. Saifur Rohman, M. Hum, M. Si)
a) Isi :“Dalam kebudayaan, sebuah rasionalitas bertujuan bukanlah bagian paling penting karena proses untuk membantun rasionalitas tersebut juga menjadi bagian dari kualitas rasional tersebut”.
b) Kelebihan : Dalam subjudul ini membahas bahwa pentingnya pendidikan berbasis pada nilai-nilai keagamaan karena pendidikan yang berjalan selama ini telah mengalami “demoralisasi”.
c) Kekurangan :“Hal yang mungkin dilakukan dapat membuang waktu dan tenaga secara rasional. Contohnya : sebuah kegiatan ritual menjelang ujian nasional bukanlah tindakan yang rasional.”
3. Filsafat Pendidikan (Prof. Dr. Muhmidayeli, M. Ag)
a) Isi :“Dalam konteks inilah, iman sebagai realisasi ketauhidan manusia memiliki implikasi strategis terhadap penegakan nilai-nilai moral dan agama sebagai lambang humanitas, maka upaya penumbuhkembangan perilaku moral manusia mesti dengan dunia pendidikan ke arah yang membangun kesadaran anak dalam berperilaku”.
b) Pandangan Teori : Teori Kebenaran Religius
c) Kelebihan : Dalam Subjudul ini membahas “Upaya penyadaran tidak dapat dilakukan jika seorang pendidikan dalam mengembangkan sumber daya manusia tidak membuat pengimbangan untuk melatih berpikir kreatif, kritis, dan inovatif.”
d) Kekurangan :“Konsekuensinya, setiap lapisan pengelola pendidikan sekolah mesti senantiasa sadar akan tugas pentingnya untuk membawa subjek-subjek didik ke arah yang telah ditetapkan. Tetapi tidak semua pengelola pendidikan dapat membawa subjek didik ke arah yang sudah ditetapkan.”
4. Filsafat Ilmu Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis (Drs. A. Susanto, M. Pd)
a) Isi :“Titik Singgung : Perbedaan perumusan antara agama (Alquran) pada satu pihak dan ilmu dan filsafat yang benar pada pihak lainnya adalah mungkin saja. Perbedaan formulasi antara ilmu lainnya tentang suatu masalah tertentu adalah lazim dalam dunia ilmu pengetahuan.”
b) Kelebihan :“Dengan demikian, antara ilmu, filsafat, dan agama dapat saling mengisi dan saling melengkapi. Sehingga menjadi lengkaplah sudah kebutuhan manusia untuk memahami keberadaan alam, manusia, dan Tuhan. “
c) Kekurangan : dalam subjudul ini membahas“Mustahil terdapat pertentangan antara agama Islam pada satu pihak dengan ilmu pengetahuan dan filsafat yang benar pada pihak lainnya”. Padahal dalam realitas saat ini masih banyak yang memperdebatkan antara harus menyatukan agama dan pendidikan atau sebaliknya.
5. Filsafat Umum Sebuah Pendekatan Tematik (Dr. Zaprulkhan, M. Si)
a) Isi : “Ini berarti bahwa manusia harus mampu melihat segala sesuatu sesuai dengan semangat Sang Pencipta-nya, bukan dengan pandangan dangkal, profan, dan tidak sakral”.
b) Kelebihan : “Ketika seorang ilmuwan menyingkap sebuah rahasia tentang tata kerja alam semesta, hakikatnya ia hanya menemukan hukum-hukum alam (sunnatullah) yang sudah diletakkan oleh Tuhan pada wajah alam semesta.”
c) Kekurangan : “Kita harus menyelam ke dalam palung kehidupan, menerapkan penglihatan seorang filsuf atau sufi yang sudah tercerahkan”. Sedangkan tidak semua orang dapat mengalami pengalaman spiritual seperti itu.
Setelah saya membaca kelima buku tersebut yang mengambil subjudul tentang pendidikan dan agama saya lebih cenderung sependapat pada buku Filsafat Ilmu Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis (Drs. A. Susanto, M. Pd). Karena dalam buku itu terdapat “Dengan demikian, antara ilmu, filsafat, dan agama dapat saling mengisi dan saling melengkapi. Sehingga menjadi lengkaplah sudah kebutuhan manusia untuk memahami keberadaan alam, manusia, dan Tuhan. “
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar