Selasa, 27 Desember 2016

Filsafat Manusia

Filsafat Manusia A. Prawacana Filsafat manusia, yang dalam bahasa Inggris disebut philosophy of man, merupakan bagian dari filsafat yang berupaya menelisik eksistensi seorang manusia. Filsafat manusia berupaya melukiskan siapa sebenarnya mahluk yang kita sebut sebagai manusia itu secara total. Penjelasan tentang filsafat manusia akan mencoba menyibak misteri dari seorang manusia dalam keseluruhan dimensinya: hakikat kemanusiaannya, motif-motif yang melandasi setiap aktivitasnya, nilai, tujuan, dan makna hidupnya, serta segala sesuatu yang berhubungan dengan eksistensinya sepanjang napas kehidupannya. B. Metode dan Karakteristik Filsafat Manusia Dalam perspektif Zainal Abidin, filsafat manusai menggunakan metode sintesis dan reflektif, serta mempunyai karakteristik ekstensif, intensif, dan kritis. Penggunaan metode sintesis dalam filsafat manusia, yang menyintesiskan pengalaman dan pengetahuan ke dalam satu visi, tampak misalnya dari sistem-sistem besar filsafat Bergon tentang “daya penggerak hidup (elan vital)”; filsafat Schopenhauer tentang “kehendak”; filsafat Hegel tentang “roh”; filsafat Caisier tentang “Animal simbolicum”; filsafat materialis tentang hakikat “materi” dan sebagainya. Dengan metode sintesis maka tercapailah visi menyeluruh dan rasional tentang (hakikat) manusia. Oleh sebab itu, ketimbang hanya berkisar tentang salah satu aspek atau aspek-aspek tertentu saja dari manusia, baik sebagai individu maupun senagai kelompok sosial, filsafat manusia justru berkenaan dengan totalitas dan keberagaman aspek-aspek yang terdapat pada manusia secara universal. Berdasarkan pengalaman dan berbagai pengetahuan tentang manusia, para filsuf mencoba”menyaring” dan “menggolongkan” isi pengalaman dan pengetahuan tersebut ke dalam satu atau dua kategori realitas paling mendasar, yang diandaikan sebagai hakikat dari semua umat manusia. C. Filsafat Eksistensial Martin Heidegger Statement yang diungkapkan oleh Martin Heidegger dalm karya monumentalnya, Being and Time yang mengantarkan dirinya menjadi salah seorang eksistensialis utama abad ke-20. Bagi Heidegger, pemaknaan terhadap manusia harus dilihat secara ontologis, yakni kehadiran manusia dalam pentas kehidupan sudah menjadikan dirinya sebagai care atau concern (Sorge). Keprihatinan atau keterlibatan dengan segala hal yang berada di sekelilingnya. D. Martin Heidegger : Sekilas Pengahmpiran Biografis Martin Heidegger, namanya dipuja sekaligus dikutuk. Dipuja karena kesuksesan teoritisnya menggeser kekeraskepalaan filsafat Barat. Dikutuk karenaketerlibatan politisnya dalam rezim totaliter Nazi. Namun terlepas dari pro-kontra seputar orientasi politiknya, gagasan orsinil Heidegger tetap saja mengetarkan sejarah filsafat Barat. Getaran yang mungkin hanya bisa ditandingi oleh sang filosof godam: Nietzsche. Heidegger merasa senang hidup dalam kesunyian dan mencurahkan segala waktu dan tenaganya kepada usaha filosofis. Dalam hal ini tidak jarang ia dibandingkan dengan Immanuel Kant. E. Kelupaan Akan Ada Dalam tilikan Heidegger, tradisi filsafat Barat lali membedakan antara “Ada” (Being) dengan “a” besar dan “adaan” (being). “Ada” ditafsirkan sama dengan “adaan”. Rumah, jalan, dan pohon misalnya semuanya “ada”. Namun “Ada” sendiri bukanlah rumah, jalan atau pohon itu sendiri. “Ada” adalah sesuatu yang melampaui sekaligus menyelubungi “adaan”. Filsafat Barat telah terjangkiti gejala “kelupaan Ada”. Amnesia ontologis yang mengakibatkan filsafat Barat terlena lalu lalai akan pertanyaan filosofis sesunguhnya. F. Das Man : Manusia Inautentik Menurut Heidegger, kondisi manusia selalu terentang antara dua eksistensi : autentik dan inautentik. Modus eksistensi autentik adalah keasadaran bahwa akulah yang harus menentukan pilihanku sendiri sementara modus eksistensi inautentik adalah hilangnya kesadaran akan aku yang autentik. Satu kata yang mampu merangkum semua aktivitas keseharian hubungan manusia dengan dunia seisinya adalah Sorge (care atau concern) yang berarti kekhawatiran, perhatian, kepedulian, maupun pemeliharaan. G. Dasein : Manusia Autentik Sebagaimana telah diungkapkan bahwa pengertian Dasein adalah keberadaan manusia yang terlempar di dalam dunia, begitu saja tanpa tahu dari mana dan mau ke mana. Heidegger menyebut fakta ini dengan faktisitas (Faktizitat), yakni kenyataan bahwa kita ada di dunia ini bersifat niscaya. Kita tidak pernah ditanya lebih dahulu mau atau tidak hidup di dunia ini, juga kita diberitahuke mana harus bergerak di dunia ini. Kita ada begitu saja, kita ‘di sana’ di alam dunia. H. Momen Eksistensial : Berjumpa dengan Kecemasan Heidegger membicarakan suatu momen eksistensial atau momen autentik manusia yaitu ketika manusia mengalami apa yang disebut Angst, kecemasan. Dalam makna elementer, kecemasan itu muncul tatkala prahara menyentuh kehidupan kita, entah itu berupa penyakit, kekalahan, kejatuhan, kemiskinan, kegagalan atau kematian. Kecemasan itu menjadi momen saat selubumg-selubung kepalsuan yang menutupi diri kita selama ini terkoyak sehingga kita bertatapan dengan diri sendiri yang autentik. I. Realitas Wajah Masyarakat Era Informasi/Cyberspace Di dalam era informasi atau cyberspace dewasa ini, James Gleick kebanyakan manusia terperangkap pada apa yang disebut kecepatan. Gleick melihat kecepatan sebagai bentuk ekstasi, yaitu hanyutnya manusia di dalam kecepatan dan percepatan perubahan sebagai akibat dari perkembangan teknologi mutakhir. Ekstasi dijelaskan Gleick sebagai kondisi kebebasan dan pemenjaraan dalam waktu yan bersamaan. Artinya kecepatan telah membebaskan manusia dari berbagai hambatan dan konstrain dunia, khususnya hambatan ruang-waktu, dan yang memungkinkan manusia untuk menjalankan model kehidupan yang serba segera, instan, dan cepat, akan tetapi sekaligus memerangkap manusia di dalam arus kecepatan itu sendiri, yaitu dengan menjadikan kecepatan sebagai sebuah bentuk ketergantungan. J. Relevansi Eksistensi Heidegger bagi Masyarakat Abad ke-21 Demikianlah wajah mayoritas masyarakat abad ke-21 terutama di belahan Barat dan sebagian belahan Timur, yang larut dalam gaya hidup instan, pemuasan hasrat konsumtif dan tanpa sadar menjadikan diri mereka sendiri sebagai komoditas sosial sehingga tidak tersisa lagi runag untuk berefleksi, pengambilan jarak terhadap kehidupan dan kemampuan menciptakan makna seperti yang dititahkan oleh Heidegger mengenai kesejatian manusia (Dasein). Mengikuti Heidegger, terbentang pertanyaan eksistensial di sini: apa makna semua keglamoran hidup itu terhadap eksistensi manusia? Mengapa kebanyakan manusia tenggelam dalam irama kecepatan dan tidak mampu lagi mengambil jarak? Akhirnya bagaimana manusia dapat melakukan refleksi agar tidak hanyut dalam logika hasrat tetapi berdasarkan logika kebutuhan. K. Konlusi: Catatan Kritis Demikianlah fenomena masyarakat abad ke-21 yang sudah kehilangan pedoamn moral dan spiritual dalam menjalani kehidupan baik secara individual maupun sosial. Karenanya untuk mengembalikan manusia kontemporer pada dunia kedalamaan spiritual, kompas moral, kehalusan hati nurani dan ketajaman hati di tengah-tengah belantara citraan semu, bujuk rayu, dan kepalsuan masyarakat konsumer dewasa ini, maka sebuah ruang bagi pengasahan spiritual harusdibangun kembali dari puing-puing dan reruntuhannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar