Selasa, 27 Desember 2016
Pengetahuan dan Nilai
Pengetahuan dan Nilai
A. Epistemologi dan Pendidikan
Bangunan filosofis yang ada dalam diri seorang guru tentang sesuatu dalam keseluruhan konstelasi realitasnya sangat penting bagi jati diri guru tersebut. Hal ini terutama mengingat tugas-tugas kesehariaannya yang hampir di setiap saatnya selalu dihadapkan dengan pertimbangan-pertimbangan filosofis. Tidak saja ketika ia membuat pertimbangan dalam merumuskan rencana kegiatan pembelajaran, tetapi juga ketika ia melaksanakan dan mengatur strategi dan metode yang tepat guna bagi pembelajaran itu sendiri. Bahkan persoalan epistemologi ini juga diperlukan oleh guru dalam setiap gerak langkah kependidikan yang telah digariskan dan ataupun dalam rangka mengembangkan kemampuan akademik keilmuan guru itu sendiri. Di sinilah letak tanggung jawab tugas seorang guru sebagai orang yang memgang otoritas penyampai, pembina dan bahkan pengembang ilmu pengetahuan untuk subjek didiknya. Jadi dapat dikatakan, bahwa seorang guru akan mengajarkan suatu ilmu itu secara profesional ketika pengetahuannya disertai dengan kemampuannya mendalami dan mengembangkan ilmu pengetahuan untuk subjek didiknya. Jadi dapat dikatakan, bahwa seorang guru akan mengajarkan suatu ilmu itu secara profesional ketika pengetahuannya disertai dengan kemampuannya mendalami dan mengembagkan ilmu pengetahuan itu, baik dalam lingkup sumber, sistem maupun metodologis dan aksiologis. Dan memang, seperti telah dibicarakan sebelumnya , cabang filsafat yang berkaitan dengan persoalan pengetahuan ini disebut dengan epistemologi.
1. Tipe-tipe Pengetahuan
a) Pengetahuan Wahyu
Mengingat pengetahuan wahyu tidak lain adalah kajian terhadap firman-firman Tuhan yang memiliki kebenaran sejati yang akan selalu benar, tanpa terikat oleh ruang dan waktu, maka ada yang berpandangan bahwa kebenaran pengetahuan ini bernilai mutlak karena memang datang dari yang Mutlak, Pemilik kebenaran sejati. Sedemikian rupa, sehingga eksistensinya pun tentu akan selalu diteima secara a priori. Walaupun kebenaran pengetahuan wahyu itu dianggap sebagai suatu yang supernatural, tetapi ketika pengetahuan itu disentuhkan dengan pikiran dan bahasa yang menjadi milik manusia, maka apakah hal ini meniscayaknnya pengetahuan jenis ini akan tetap bernilai mutlak? Persoalan ini kemudian menjadikan banyakpara sarjanawan agama menghabiskan waktu untuk menyuarakan arti yang tepat dari kata-kata yang terekspresi dari teks kitab suci. Hal ini tidak lain adalah bagaimana menjadikan firman-firman Tuhan termanifestasi dalam kehidupan nyata sebagai lambang bahwa manusia telah berupaya untuk senantiasa memperoleh petunjuk dari sang pemilik ilmu dan kenenaran sejati.
b) Pengetahuan Intuitif
Di sini kita mesti membedakan antara perbuatan intuitif dengan pengetahuan intuitif secara jelas. Beberapa insight formatif atau iluminasi kelihatannya membutuhkan kerja keras intelektual. Berbagai tesis filosofis, teori-teori saintifik, dan karya-karya seni, semuanya tampak diatur dan digenaralisasi sedemikian rupa oleh intuisi kita yang kemudian dielaborasi dan ditetapkan. Tetapi apa pun sumbernya, teori saintifik yang kompleks bukanlah sebentuk pengetahuan intuitif. Secara logika, pengetahuan ini memang ada dan dapat teruji melalui data observasi atau eksplorasi atau kedua-duanya. Ketika teori saintifik diajukan sebagai klaim standarisasi suatu pengetahuan di mana dalam banyak hal tidak tunduk pada insight personal dari penemunya, tetapi telah menjadi sebuah hipotesis yang dapat diuji oleh umum, maka pengetahuan intuitif ini tidak dapat dipungkiri, bahwa dalam banyak hal, apa yang dikemukakan seseorang lewat pengalaman insight-nya dapat dibuktikan walau di saat seseorang hendak menelusuri kembali proses peristiwanya, maka ia pun akan mengalami kesulitan. Hal ini disebabkan peristiwanya tidak dapat diulang kembali walau atas kehendak penemunya.
c) Pengetahuan Rasional
Pengetahuan rasional merupakan pengetahuan yang diperoleh melalui latihan akal budi dalam mencerna ragam realitas yang ada dan hal-hal yang mungkin ada, baik melalui dan atau tanpa observasi dari keadaan-keadaan aktual. Prinsip logika formal dan material maupun matematika murni merupakan paradigma pembentukan pengetahuan rasional. Kebenaran pengetahuan jenis ini dapat ditunjukkan melalui upaya pendeskripsian alasan yang abstrak dengan menggunakan tata logik sebagai instrumen. Pengetahuan rasional ini menerima sepenuhnya prinsip dasar logika bahwa dua statement yang kontradiktif tidak pernah dapat keduanya menjadi benar. Hal ini dapat kita jumpai umpamanya dalam ungkapan seperti Mopi adalah seekor anjing dan Mopi adalah bukan seekor anjing, tidak dapat keduanya disebut sebagai objek yang sama pada saat yang sama. Atau menjadikan suatu prinsip bahwa jika A lebih besar dari B, dan B lebih besar dari C, kemudian A lebih besar dari C umpamanya. Kedua prinsip ini dapat diilustrasikan melalui bentuk yang aktual namun keduanya betul-betul terpisah dengan yang lain. Prinsip pembenaran pengetahuan rasional ini dapat diterapkan pada pengalaman indra tetapi tidak dapat direduksi darinya.
d) Pengetahuan Empiris
Paradigma pengetahuan empirik adalah sainss modern. Hipotesis saintifik dites melalui observasi ataupun eksperimentasi untuk mendapatkan hipotesis mana yang paling memuaskan bagi sebuah fenomena tertentu. Namun demikian, sebuah hipotesis tidak pernah diterima dan ditolak secara absolut. Ia hanya menunjukkan ketepatan yang bersifat lebih kurang. Probabilitas empirik dapat menutup suatu saat kepada suatu kepastian, tetapi tidak pernah dapat untuk meraihnya secara aktual. Inilah alasan bahwa kita tidak pernah dapat memastikan bahwa masa datang akan sama dengan masa lalu, sehingga kita tidak pernah menjadi yakin secara absolut bahwa fenomena yang telah diperlakukan dalam cara tertentu juga tidak akan pernah sama dengan fenomena yang akan datang kendatipun melalui perlakuan yang sama. Paham empiris meyakini bahwa pengetahuan manusia terbentuk dari persepsinya tentang sesuatu yang dilihatnya.
e) Pengetahuan Otoritatif
Pengetahuan otoritatif ini adalah suatu pengetahuan dianggap baik dan benar bukanlah karena kita telah membuktikannya sendiri sebagai suatu yang benar, tetapi lebih dikarenakan oleh bukti-bukti yang diperoleh oleh otoritas ahli dalam bidangnya. Saya menerima tanpa ragu-ragu, bahwa Jakarta adalah Ibu Kota Negara Indonesia, bahwa bahasanya adalah juga bahasa Indonesia. Saya menerima bahwa 1 Km sama dengan 1000 m dan lain sebagainya hanya berdasarkan informasi dari bahan-bahan bacaan dan laporan-laporan penelitian yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki otoritas untuk itu. Hal ini dikarenakan kita percaya tanpa ada keraguan bahwa apa yang kita dapati adalah benar karenadikatakan oleh orang-orang yang memiliki otoritas tentang itu, sehingga kita pun menerima begitu saja tanpa perlu lagi mengadakan penyelidikan-penyelidikan ilmiah.
2. Epistemologi Idealisme Tentang Pendidikan
Plato sebagai tokoh idealisme ternama berpendapat bahwa belajar tidak dapat dimaknai hanya dalam pengertian pemberian pengetahuan seluas-luasnya kepada subjek didik. Bagi Plato, perkembangan normal belajar anak manusia selalu diawali dengan penyempurnaan wilayah persepsi, terus melalui konveksi dan pemahaman maka akan diperoleh pemenuhan aktivitas akal. Plato berpandangan bahwa semua orang dapat membentuk pemahaman yang benar tentang dunia dan moral. Oleh karenaitu belajar mestilah juga dipahami sebagai pembiasaan dan pelatihan. Semua manusia memiliki kemampuan untuk mencapai nilai moral, karena memang ia lahir untuk merealisasikan nilai moral itu. Namun mengingat pada tahap pertama dan kedua perkembangan psikologis anak selalu menunjukkan kontemplasinya hanya sebatas apa yang dapat ia observasi dan yang ia dengar dari alam sekitarnya, maka semua aspek pembelajaran pada masa ini mesti diarahkan pada wilayah pembiasaan nilai-nilai moral. Pembinaan moralitas dikatakan idealisme sebagai identitas pembelajaran dalam maknanya yang luas. Hal ini mengingat bahwa orang yang bermoral adalah orang-orang yang dapat memformulasikan ragam realitas empiris ke dalam tata hukum yang dapat diekspresikan dalam kehidupan.
3. Epistemologi Realisme Tentang Pendidikan
Bagi kelompok realis, ide atau proposisi adalah benar ketika eksistensinya berhubungan dengan segi-segi dunia riil. Sebuah hipotesis tentang dunia tidak dapat dikatakan diterima sebagai suatu kebenaran semata-mata hanya karena ia koheren dengan pengetahuan kita. Jika pengetahuan itu berhubungan dengan yang lama, maka hal itu hanyalah lantaran “yang lama” itu memang benar, yaitu disebabkan pengetahuan lama koresponden dengan apa yang terjadi dengan kasus itu. Interaksi rasio manusia dengan alam naural tidak akan memengaruhi sifat dasar dunia. Dan karenanya koherensi tidak melahirkan kebenaran. Ketika dua atau lebih teori tentang keterkaitan segi-segi dunia berhubungan pada segi-segi yang mereka gambarkan, maka secara natural mereka pun secara nyata akan mendukung satu dengan lainnya.
4. Epistemologi Pragmatisme Tentang Pendidikan
Menurut kaum pragmatisme, guru harus mengontruksi situasi belajar dengan menempatkan problem tertentu yang pemecahannya akan membawa siswa kepada pemahaman yang lebih baik akan lingkungan sosial dan fisik mereka. Konsekuensinya, menggantikan struktur tradisional tentang subjek matters bagi guru maupun kelas harus meramalkan apakah pengetahuan itu memberikan manfaat dalam pemecahan problem tertentu yang sedang mereka diskusikan seperti transfortasi sepanjang sejarah, persoalan-persoalan seksual saat ini ataupun persoalan kehidupan di kampung orang Indian. Prosedur yang sama juga diikuti dalam pembelajaran skill reading, writing, dan aritmatik. Semua materi pelajaran ini menjadi lebih bermakna bagi subjek didik dan akan semakin mudah dikuasai ketika mereka dapat memanfaatkannya sebagai alat yang dapat memuaskan kebutuhan dan kepentingan mereka dalam menghadapi realitas.
5. Epistemologi Islam Tentang Pendidikan
Islam memberikan keyakinan bahwa pembentukan pengetahuan erat kaitannya dengan penciptaan hubungan manusia, alam, dan Tuhan dalam siklus yang tidak terputus. Manusia sebagai subjek ilmu dituntut proaktif memainkan peran khalifahnya di dalam membuat garis-garis hubungan yang akan membentuk dirinya sebagai manusia mu’min muttaqin yang diidamkan. Dalam upaya pembentukan hubungan ini, Islam mengajarkan bahwa setiap anak manusia memiliki kebebasan menentukan dirinya yang akan membawanya pada ilm al-yaqin yang memungkinkan ia bertanggung jawabakan apa yang ia hasilkan. Implikasinya dalam aktivitas pembelajaran meniscayakan kebebasan dan tanggung jawab sebagai suatu kondisi yang tidak dilupakan. Kebebasan dan tanggung jawab ini mestilah menjadi azas bagi proses kependidikan islam dalam segala bentuknya. Dan oleh karenaitu, subjek didik mestilah pula dilihat sebagai pribadi utuh yang digiring untuk mampu melihat dirinya dan dunia realitas sekitarnya secara arif dan bertanggung jawab, sehingga ia menjadi individu-individu yang sadar akan eksistensi dirinya yang secara nyata selalu berhubungan dengan alam dan Tuhan.
B. Nilai dan Pendidikan
Sikap apa pun dari pemikiran sesorang yang menetapkan bahwa nilai itu tergantung pada filsafatnya secara umum seperti yang akan saya tunjukkan, kaum filosofis idealis mengatakan bahwa ditemukan adanya hirarkhi nilai yang mana nilai spiritual lebih tinggi dari nilaimaterial. Kaum idealis merangking nilai agama pada posisi yang tinggi, karenamenurut mereka nilai-nilai ini akan membantu kita merealisasikan tujuan kita yang tertinggi, penyatuan dengan tatanan spiritual. Sementara filsuf realis juga meyakini bahwa ditemukan hierarki nilai, tetapi kelompok ini merangking nilai rasional dan empiris pada posisi yang tinggi, karena nilai ini menolong kita untuk mengakui realitas yang objektif, hukum-hukum alam dan hukum-hukum logika. Filsuf pragmatis menyangkal adanya hierarki nilai. Bagi kelompok ini, sebuah aktivitas menjadi baik seperti yang lainnya jika ia dapat memuaskan suatu kebutuhan yang urgen dan memiliki nilai instrumentalis. Kaum pragmatis, sensitif terhadap nilai yang dihargai oleh masyarakat, tetapi kelompok ini percaya bahwa semua nilai-nilai tertentu semata-mata merupakan instrumen bagi pencapaian nilai yang lebih baik.
1. Nilai dan Pendidikan Menurut Aliran Idealisme
Seperti telah diuraikan di atas, kaum idealisme dengan pahamnya bahwa sommum bonum (ide kebaikan tertinggi) kehidupan manusia sesungguhnya telah ada bersamaan dengan kemunculan dirinya ke dunia, menjadikan, bahwa nilai apa pun selalu bersifat tetap dan tidak berubah-ubah, absolut. Niali-nilai kebaikan dan kebajikan; yang benar dan yang cantik sesungguhnya tidak akan berubah secara fundamental dari suatu generasi ke generasi berikutnya, dari masyarakat yang satu ke masyarakat berikutnya. Essensinya tetap konstan dan tidak pernah berubah. Idealisme percaya bahwa nilai sesungguhnya bukanlah produk dari manusia, tetapi lebih merupakan bahagian dari alam jagad raya. Sedemikian rupa maka aliran ini pun mengakui bahwa apa yang senada dengan ini secara fundamental tidak akan pernah berubah dari generasi ke generasi. Dan oleh karena itu, tugas manusia adalah bagaimana agar nilai-nilai kebaikan itu teraplikasi dalam keseluruhan realitas aktivitasnya di dunia.
2. Nilai dan Pendidikan Menurut Aliran Realisme
Kelompok realisme sependapat dengan kelompok idealis bahwa nilai fundamental bersifat permanen, tetapi mereka berbeda pendapat di dalam alasan untuk menyatakan hal itu. Kelompok realisme klasik sependapat dengan Aristoteles bahwa ada hukum-hukum moral yang universal yang memikat manusia sebagai mahluk rasional. Kaum realisme relijius berpendapat bahwa kita dapat memahami banyak hal dari hukum-hukum moral universal ini melalui akal kita, tetapi mereka mengatakan bahwa hukum moral universal ini telah ditetapkan oleh Tuhan yang telah menganugerahi kita dengan akal untuk dapat memahami hukum-hukum moral Tuhan tersebut. Sesunggunya kita dapat memahami hukum moral itu tanpa pertolongan wahyu, tetapi karena hakikat kita telah dirusak oleh dosa waris kita tidak mampu mempraktikannya tanpa bantuan dari Tuhan. Sementara kelompok realisme saintis menyangkal bahwa nilai itu memiliki sangsi supernatural. Sesuatu yang baik adalah yang mendekatkan kita pada lingkungan kita, sedangkan sesuatu yang jahat adalah sesuatu yang menjauhkan kita dari lingkungn kita. Karenahakikat manusia dan hakikat pisik ini adalah tetap, maka nilai yang mendekatkan kita dengan yang lainnya adalah juga konstan atau tetap. Diakui memang benar bahwa institusi dan praktik-praktik sosial sangat beragam di dunia ini, tetapi nilai dasar tetap sama. Berbeda dengan kelompok idealis yang mengatakan bahwa manusia itu dapat menjadi sempurna, sedangkan kelompok saintis realis menerima manusia itu sebagaimana apa adanya alias tidak sempurna.
3. Nilai dan Pendidikan Menurut Aliran Pragmatisme
Bagi kelompok pragmatis nilai itu bersifat relatif. Etik dan aturan-aturan moral tidak permanen tetapi tampil karenaperubahan budaya dan masyarakat. Ini tidak menunjukkan bahwa niali-nilai moral itu bersifat fluktuatif dari masa ke masa. Sehingga dapat dikatakan bahwa tidak ada perintah tertentu yang dianggap sebagai pengikat secara universal tanpa memperhatikan lingkungan dimana ia diakui dan dipraktikkan. Larangan ‘jangan membunh’ umpamanya, bukanlah sebuah prinsip yang absolut. Suatu saat perilaku membunuh, umpamanya, dapat saja menjadi benar ketika dilakukan untuk mempertahankan diri atau mungkin karenamemelihara kehidupan dari orang lain. Oleh karenaitu, bagi kaum pragmatis, anak didik harus diajarkan bagaimana membuat keputusan moral yang sulit yang tidak dengan merujuk pada prinsip moral yang sudah begitu adanya, tetapi dengan memutuskan melalui tindakan yang dapat menghasilkan sesuatu yang terbaik bagi sejumlah besar umat manusia.
4. Nilai dan Pendidikan Islam
Sebagai standar perilaku, nilai-nilai moral pun membantu subjeknya menentukan pengertian sederhana terhadap suatu jenis perilaku. Dalam pengertian yang lebih kompleks nilai akan membantu subjek moral untuk mengindentifikasi apakah sesuatu perilaku itu perlu atau tidak, apakah ia baik atau buruk serta mendorongnya untuk membuat analisis dalam konteks moral reasoning dari suatu perilaku moral tertentu yang menuju pada penyimpulan-penyimpullan sebagai landasan suatu kecenderungan yang akan menjadi sikap yang akan menentukan corak suatu kepribadian.
C. Etika dan Pendidikan
Etika merupakan suatu nilai dalam realita perilaku dan tindakan manusia. Ia meliputi pertanyaan-pertanyaan seperti kehidupan yang bagaimana bagi seseorang yang disebut baik? Bagaimana kita harusberperilaku dalam kehidupan? Bagaimana memilih dan mennetukan bahwa perilaku kita itu baik atau tidakbaik? Kecuali itu, etika juga terkait dengan persoaaln-persoalan nilai benar sebagai basis bagi tindakan yang benar. Pada saat itu, sistem etika terkait dengan nilai-nilai agama. Sekarang sistem etika dunia Barat, walaupun sebahagaian besar diambil dari pengajaran agama, biasanya dijustifikasi didasarkan pada dasar-dasar nilai yang baik. Amerika Serikat telah memisahkan gereja dan negara, sebagai akibat pengajaran agama dilarang di sekolah-sekolah umum, tetapi pelarangan ini sesungguhnya telah menstimulasi suatu keinginan untuk menggantikan jenis pengajaran moral.
D. Estetika dan Pendidikan
Pendidikan dalam segala aktivitasnya selalu terkait dengan wilayah seni, karena memang mendidik itu sendiri adalah pekerjaan seni. Bahkan tidaklah salah jika dikatakan bahwa hampir keseluruhan kualitas aktivitas pendidikan itu ditentukan oleh kualitas seni yang ditampilkan. Pendidikan yang mengikutkan estetika sebagai sesuatu yang penting dalam setiap gerak langkahnya, menjadikan aktivitasnya hidup dalam suasana yang nyaman dan menyenangkan, sehingga subjek didiknya akan betah dalam menjalankan proses belajar, karena memang tidak tersentuh oleh watak keterpaksaan yang akan menyikasa dirinya. Tindakan edukasi apa pun yang dilakukan guru akan enak dipandang, suaranya enak didengar, bahasanya jelas dan mudah dipahami, tidak membosankan subjek didik mengikuti proses pembelajaran yang dilakukan jika dalam keseluruhan entitasnya dibangun di atas niali-niali estetika. Ketika seorang guru mengadakan inetraksi dengan subjek didiknya dengan menerapkan niali estetika yang tinggi, baik dalam penampilan maupun dalam inreraksi pembelajaran, tentu akan lebih disuaki oleh subjek didiknya dari pada yang tampil seadanya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar